Memburu Suara Kaum Nahdliyin
Dengan jumlah anggota hingga 150 juta jiwa, NU selalu menjadi incaran partai-partai politik. Namun, bukan perkara mudah memikat kaum nahdliyin karena preferensi beragam dalam memilih dan kembalinya ke Khittah 1926.
- Sejumlah elite partai politik beramai-ramai memasang baliho untuk mengucapkan selamat satu abad NU, ormas Islam dengan anggota sekitar 150 juta jiwa.
- Para ketua umum partai politik menyempatkan diri datang ke Resepsi Puncak Satu Abad NU, meski harus berdesakan dengan warga lain.
- Beberapa partai, seperti PKB dan PDI-P, menggelar acara khusus untuk memperingati satu abad NU.
Jumberareka jumberareka/ arena majeng jeng//
Jumberareka jumberareka/ arena majeng jeng//
Majeng jeng he mereketehe/ he mereketehe//
Majeng jeng he mereketehe/ he mereketehe//
Yel-yel Barisan Ansor Serbaguna atau Banser, ”Jumberareka”, menggema di seantero Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023). Mereka kompak bernyanyi dan menari di acara Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama yang dihadiri jutaan nahdliyin dari berbagai penjuru negeri itu.
Atraksi pasukan Banser tidak hanya memukau warga nahdliyin, tetapi juga para undangan yang hadir, tak terkecuali Presiden Joko Widodo. Dari panggung utama, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan elite politik lainnya juga menikmati berbagai atraksi yang ditampilkan Banser.
Sebelumnya, untuk sampai ke panggung utama, para politisi harus berdesakan dengan lautan nahdliyin yang juga ingin hadir. Mengenakan sarung, peci, dan jas hitam berlogo NU khas santri, Agus harus menunggu di depan pintu masuk bersama ribuan warga lain.
Zulkifli Hasan juga terpaksa nebeng mobil warga karena kendaraan yang ditumpanginya terjebak macet. Ia sampai harus melewati parit dan pagar tol agar bisa menuju mobil yang menantinya di ruas jalan di tepi tol.
Sejumlah ketua umum partai politik (parpol) lain, bahkan, tak berhasil sampai ke lokasi resepsi lantaran terjebak macet. Mereka, di antaranya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhamad Mardiono.
NU yang berusia satu abad pada 16 Rajab 1444 H merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia. Dengan anggota sekitar 150 juta orang, sekitar 59,2 persen dari total penduduk Muslim Indonesia, tidak mengherankan jika NU selalu diincar oleh partai-partai politik. Apalagi, tak sedikit kader NU yang terjun ke politik praktis, baik di legislatif maupun eksekutif.
Sejarah juga mencatat, sejak Indonesia merdeka, pada Muktamar Palembang 1952, NU memutuskan mendirikan partai bernama Partai NU. Sempat memutuskan kembali ke Khitah 1926 setelah Partai NU dilebur Orde Baru menjadi PPP, NU kembali memasuki politik praktis di awal reformasi. Para ulama NU bersepakat mendirikan PKB. Semenjak itu, PKB menjadi saluran politik sebagian warga nahdliyin dan selalu identik dengan NU.
Ilman Nafi’a dalam buku berjudul Dinamika Relasi Nahdlatul Ulama dan Negara mengungkapkan alasan KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU kala itu. Gus Dur menyampaikan bahwa warga NU saat ini ”seolah-olah sakit” jika tidak berpolitik. Mereka perlu diwadahi agar tidak gentayangan. Maka dari itu PBNU memberikan peluang kepada mereka untuk berpolitik dalam wadah PKB.
Namun, lagi-lagi, menjelang usia satu abad, NU menyatakan komitmen kembali ke Khitah 1926. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan, NU tidak boleh menjadi pihak yang berkompetisi. Namun, nahdliyin tetap bisa maju dalam kontestasi politik, tetapi tidak atas nama NU.
Magnet politik
Meski kembali menegaskan tidak berpolitik praktis, NU tetap menjadi magnet bagi parpol. Jumlah anggota yang sangat banyak menjadikan pemilih NU sebagai ceruk suara potensial. Terlebih saat ini tidak ada parpol resmi yang ditunjuk sebagai saluran politik warga nahdiyin.
Resepsi satu abad NU yang digelar besar-besaran otomatis dijadikan momentum bagi parpol untuk menarik simpati nahdliyin. Baliho dan spanduk ucapan selamat satu abad NU dari para elite politik bertebaran di Sidoarjo. Di sekitar Stadion Delta, misalnya, terpasang baliho Ketua Umum PKB Muhaimin, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Ketua Umum PAN Zulkifli. Dalam baliho itu, ketiga pimpinan parpol itu tampil mengenakan peci khas warga nahdliyin.
Bukan hanya itu, sejumlah parpol juga menggelar acara untuk memperingati hari lahir NU. PKB menggelar tasyakuran di kantor DPP Jakarta pada 5 Februari. Sehari kemudian, DPW PKB Jatim menggelar kirab kebangsaan dari Surabaya menuju Sidoarjo. Ratusan kader PKB dengan mengenakan kaus ”Aku NU, Aku PKB” berkonvoi menggunakan mobil dan sepeda motor.
PDI-P tak mau ketinggalan. Partai pimpinan Megawati itu menggelar dialog nasional khusus untuk memperingati satu abad NU. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan, diskusi digelar sebagai apresiasi untuk NU yang telah menjaga Khitah 1926 dan keteguhannya dalam menjaga Indonesia.
PDI-P memang tidak hanya sekali memperingati hari lahir NU. Pada 2022, misalnya, PDI-P secara khusus memperingati hari lahir ke-96 NU menurut penanggalan masehi dengan menggelar dialog bertajuk ”Bersama Merawat Indonesia”. Acara itu juga dihadiri Gus Yahya.
Persahabatan sejati untuk Indonesia Raya itulah yang menciptakan kerja sama harmonis dan itu abadi, jauh lebih penting dari aspek elektoral
Hasto beberapa kali mengungkapkan, PDI-P melihat NU sebagai saudara tua mengingat kelahiran NU dan PNI sebagai akar PDI-P hanya berselisih satu tahun. Relasi dengan NU dibangun PDI-P secara natural, tidak didasarkan pada kepentingan elektoral. ”Persahabatan sejati untuk Indonesia Raya itulah yang menciptakan kerja sama harmonis dan itu abadi, jauh lebih penting dari aspek elektoral,” katanya.
Baca juga: Tekad Bulat PDI-P Mengejar ”Hattrick” Kemenangan Pemilu
Demokrat merasa memiliki konstituen besar di kalangan NU. Jika merujuk survei Litbang Kompas pada Oktober 2022, sedikitnya 14,7 persen pemilih NU akan memberikan suara pada Demokrat. Demokrat menjadi parpol peringkat tiga yang dipilih nahdliyin setelah PDI-P (18,6 persen) dan Gerindra (17,1 persen).
Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menuturkan, banyak penggawa NU dan pengasuh pondok pesantren yang berlabuh ke Demokrat sebagai caleg ataupun kepala daerah. Mereka mampu menarik suara dari santri dan kalangan NU.
Demokrat merasa perlu menjaga NU, bukan hanya karena kepentingan elektoral, melainkan juga karena ada kesamaan nilai yang diperjuangkan. Karena itu, Agus selalu mengagendakan sowan ke para kiai saat keliling daerah. Ia tidak sungkan berdiskusi, beribadah, makan, dan berkeliling pesantren sembari mendengarkan petuah dari para kiai.
PAN yang identik dengan Muhammadiyah juga berupaya mendekati nahdliyin. Sekjen PAN Eddy Soeparno mengatakan, untuk meningkatkan dukungan nahdliyin, PAN terus membangun jembatan komunikasi dengan warga NU. Salah satunya dengan bersilaturahmi ke pesantren di basis-basis massa NU, seperti Jatim.
Baca juga : Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
PKB juga semakin serius mewujudkan cita-cita untuk mengangkat harkat dan derajat kehidupan warga NU. Menurut Muhaimin, PKB akan lebih aktif terlibat mencari jalan keluar dari masalah-masalah warga NU. ”Dengan lahir dari rahim NU, PKB harus berpegang teguh pada tujuan pendirian NU, yakni menjadi bagian penting untuk mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan warga bangsa secara keseluruhan,” katanya.
Peneliti pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengungkapkan, arahan kembali ke Khitah 1926 membuat nahdliyin menjadi pemilih terbuka, tidak terikat secara ideologis ke salah satu partai. Karena itu, perlu pendekatan berbeda kepada para nahdliyin karena preferensi mereka berbeda. Ada yang mengandalkan preferensi kiai, sayap organisasi NU, dan ada pula nahdliyin yang terikat secara kultural dengan pesantren.