Resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa Timur, disambut sukacita banyak orang. Tak hanya nahdliyin, tetapi juga anggota ormas Islam lain dan juga kalangan non-Muslim terlibat dalam hajatan besar itu.
Oleh
DAHLIA IRAWATI, IQBAL BASYARI, RUNIK SRI ASTUTI, MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
Jutaan orang dari berbagai penjuru negeri, Selasa (7/2/2023), datang bergelombang dan memadati jalanan di sekitar GOR Delta, Sidoarjo, Jawa Timur. Di gelanggang olahraga itu, acara Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama digelar.
Acara dimulai dengan ritual keagamaan, istigasah, karnaval Nusantara, panggung hiburan rakyat, hingga bazar UMKM dan kuliner nusantara. Selama 24 jam nonstop, nahdliyin yang hadir diajak mengingat kembali semangat dan nilai-nilai Nahdlatul Ulama (NU).
Di luar acara inti, masyarakat dihibur dengan karnaval budaya dengan berbagai tema, mulai dari reog Ponorogo, tari saman Aceh, barongsai, tari gambyong Jawa Tengah, tari piring Sumatera Barat, jaipong Jawa Barat, hingga ul daul Madura. Rombongan bergerak dari kawasan Alun-alun Kabupaten Sidoarjo hingga finis di GOR Delta, Sidoarjo.
Hiburan bernuansa religi juga ada. Salah satunya tari sufi terpanjang, sepanjang 2 kilometer, yang kemudian mendapat penghargaan pemecahan rekor dari Muri. Ada pula pemecahan rekor Muri untuk doa dalam sticky note terbanyak.
Acara karnaval dibuka dengan sambutan dari Ketua Pengurus Besar NU Bidang Budaya Alissa Wahid. Dalam sambutannya, Alissa mengatakan bahwa NU dibangun para muaziz dengan tidak lepas dari budaya Nusantara. ”Budaya selalu jadi jalan dakwah ulama NU. Budaya dan seni jadi bagian sangat penting. Kita bukan model-modelan memusuhi semua. Tapi, kalau seni dan budaya bisa digunakan untuk menyuburkan nilai-nilai baik dan cinta Tanah Air, maka itu akan terus kita kembangkan,” kata Alissa.
Menurut dia, NU terkenal dengan sikap terbuka. ”Kami membuka hati dan pikiran dengan semangat menghormati satu sama lain. Mungkin itu bukan budaya saya, tapi kalau untuk orang lain itu dianggap baik, ya, sudah kami saling hormati,” katanya.
Budaya selalu jadi jalan dakwah ulama NU. Budaya dan seni jadi bagian sangat penting. Kita bukan model-modelan memusuhi semua. Tapi, kalau seni dan budaya bisa digunakan untuk menyuburkan nilai-nilai baik dan cinta Tanah Air, maka itu akan terus kita kembangkan.
Lebih lanjut, Alissa mengajak warga NU untuk tidak takut dengan perkembangan terkini, yaitu budaya digital. ”Sekarang kita kenal budaya digital. Itu juga perubahan. Orang NU tidak takut perubahan. Karena para ulama terus mempertajam tradisi baik, tapi juga kita ambil yang lebih baik dari perkembangan zaman. Tidak melupakan akar tradisi, tapi juga tidak takut modernitas,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia mengajak semua orang yang ada saat itu untuk menikmati sajian berbagai seni budaya. ”Itu semua bukan gaya-gayaan dan tontonan semata, tapi itu adalah bagian dakwah kita untuk mencintai agama dan Nusantara, mencintai bangsa Indonesia. Dengan semangat merawat jagat membangun peradaban, kita cintai tradisi dunia,” katanya.
Karnaval budaya itu benar-benar dinikmati masyarakat. Mereka berjubel di sepanjang jalan untuk sekadar menonton, menyapa kenalan, atau mengabadikan momen yang entah kapan akan terulang. Dan tentu saja, acara itu juga dinanti oleh para peserta karnaval.
”Senang kalau ada acara seperti ini, karena kami bisa tampil. Sejak pandemi, kami menantikan kembalinya saat-saat kami bisa tampil seperti ini,” kata Wanto (23), peserta karnaval dari rombongan reog Ponorogo.
Wanto saat itu bertugas menyunggi mahkota singo barong. Berjalan sepanjang 2 km dari Alun-alun Sidoarjo menuju GOR Delta Sidoarjo bukanlah hal mudah. Jarak sejauh itu dengan cuaca panas tentu cukup berat bagi mereka yang tidak biasa. Namun, Wanto melakoninya dengan sukacita. ”Membawa singo barong seperti ini kalau tidak biasa tentu sulit. Namun, saya sudah latihan sejak kecil, makanya sudah terbiasa. Tampil seperti ini butuh latihan panjang,” katanya.
Peserta lain, grup wushu dan barongsai Lima Naga dari Surabaya, menampilkan barongsai dan naga.
”Kami senang dengan acara ini, paling tidak kami bisa menunjukkan bahwa barongsai dan lima naga ini eksis di Indonesia. Kami senang bisa berpartisipasi dalam acara-acara budaya seperti ini,” kata Kiswanto (57), koordinator rombongan.
Salah seorang penonton penikmat karnaval adalah Ari (57), seorang guru asal Surabaya, yang saat itu datang merayakan acara seabad Nu berombongan. Ia tampak dengan semangat menanyai satu per satu peserta karnaval atau sekadar ngobrol dan berfoto dengan orang-orang yang ditemui.
”Ini adalah kesempatan kita mengenal saudara-saudara kita dari mana-mana. Kebahagiaan bersama-sama merayakan seabad NU ini sama bahagianya dengan saya menyambung silaturahmi dengan saudara-saudara saya se-Indonesia, yang pada hari-hari biasa mungkin sulit untuk ketemu,” tuturnya.
Gotong royong
Dari semua sukacita itu, ada hal menggembirakan patut untuk dijaga. Termasuk, munculnya kembali akar budaya bangsa sesungguhnya, seperti tolong-menolong, gotong royong, dan toleransi. Sukacita acara juga dialami ”tuan rumah”.
Guna menyukseskan acara resepsi puncak seabad NU, misalnya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo yang berjarak 2,6 km dari GOR turut memeriahkan acara. Jemaat GKI Sidoarjo secara swadaya memasang sembilan bendera NU dan empat bendera Merah Putih di depan gedung gereja. Pendeta GKI Sidoarjo Leonard Andrew Immanuel mengatakan bahwa pihaknya juga membuka posko untuk singgah jemaah nahdliyin.
”Kami juga membuka tempat istirahat. Di sini, jemaah ini akan mendapat makan dan minum, juga fasilitas toilet serta Wi-Fi secara gratis,” ucap Pendeta Leonard. Senin sore, dua bus nahdliyin asal Kendal, Jawa Tengah, sudah dijadwalkan datang dan transit sebelum mengikuti puncak acara.
Di lokasi berbeda, keluarga besar Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kabupaten Sidoarjo turut berbahagia atas capaian 100 tahun NU. Sebagai saudara yang saling mendukung, keluarga besar Muhammadiyah Sidoarjo menyiapkan beberapa layanan dan fasilitas gratis bagi peserta resepsi satu abad NU yang berasal dari semua daerah di Indonesia.
Layanan gratis yang disiapkan keluarga besar Muhammadiyah Sidoarjo meliputi parkir kendaraan, masjid untuk istirahat, ribuan nasi bungkus, air minum, bakso, makanan ringan, teh hangat, dan ambulans gratis. Fasilitas dan pelayanan tersebut dipusatkan di Kampus Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Perguruan Muhammadiyah Sidowayah, Sidoarjo.
Masih banyak bentuk gotong royong semua pihak untuk menyukseskan resepsi satu abad NU. Mulai dari desa dan kecamatan yang membiarkan kantornya dipakai untuk nonton bareng acara resepsi puncak hingga pengemudi ojek daring yang menyediakan tenaganya untuk membantu mobilitas peserta selama acara berlangsung.
Sungguh, acara Resepsi Puncak Satu Abad NU tersebut bukan sekadar pesta, melainkan seolah meneguhkan persaudaraan dengan sesama. Bukan hanya nahdliyin, melainkan juga masyarakat secara umum. Keguyuban ini semoga jadi modal bangsa untuk menatap cerahnya kehidupan kebangsaan ke depan.