Mahfud: Presiden Akan Beri Arahan Khusus Merespons Penurunan IPK
Pemerintah akan melakukan sejumlah perbaikan menyusul penurunan Indeks Persepsi Korupsi dari 38 ke 34. Presiden Jokowi dalam waktu dekat akan memberi arahan khusus sebagai kebijakan negara terkait hal tersebut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo, Senin (6/2/2023), memimpin pertemuan internal dengan mengundang kementerian dan lembaga terkait untuk membahas respons terhadap turunnya skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari 38 ke 34. Dalam waktu dekat, Presiden juga akan kembali membahas hal itu, sebelum menyampaikan arahan terkait langkah yang akan diambil.
Dalam pertemuan bersama Presiden, hadir Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin; Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo; dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri.
”Kami berdiskusi dengan tetap menghormati, menghargai, serta mengapresiasi terhadap apa yang dilakukan TII (Transparency International Indonesia). Maka kita menyampaikan, tentu kita akan melakukan perbaikan-perbaikan. Dan, dalam waktu dekat nanti akan mendapat arahan khusus sebagai kebijakan negara dari Presiden (Jokowi),” kata Mahfud saat memberi keterangan kepada media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Adapun, dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022, Indonesia mendapat skor 34 atau turun empat poin dibandingkan tahun 2021. Indonesia di tahun 2022 berada pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Capaian skor di tahun 2022 ini, yakni 34, sama dengan skor Indonesia tahun 2014.
Mahfud menuturkan, sejumlah langkah akan dilakukan pemerintah. ”Nanti mungkin dalam dua atau tiga hari ke depan akan dipanggil lagi oleh Presiden, kami berempat, untuk (kemudian) Presiden menyampaikan arahan-arahan tentang apa yang akan kita lakukan,” kata Mahfud.
Kami berdiskusi dengan tetap menghormati, menghargai, serta mengapresiasi terhadap apa yang dilakukan oleh TII. Maka kita menyampaikan, tentu kita akan melakukan perbaikan-perbaikan. Dan, dalam waktu dekat nanti akan mendapat arahan khusus sebagai kebijakan negara dari Presiden (Jokowi).
Pada kesempatan tersebut Mahfud menuturkan, dalam penyusunan IPK 2022, pemerintah menemukan dari 13 lembaga sigi internasional, ada delapan lembaga yang dipakai untuk Indonesia. “Dan, (lembaga) yang biasanya dipakai, tahun ini tidak dipakai untuk Indonesia, padahal perbaikan kita menuju ke situ, yaitu lembaga sigi yang sangat terkenal, World Economic Forum. Di situ kita tinggi, tapi tidak dipakai untuk menghitung kali ini. Jadi, tidak apa-apa. Kami hanya ingin menyatakan bahwa itu semua bukan fakta, tapi persepsi, dan baru terbatas pada hal-hal tertentu,” katanya.
Mahfud juga menuturkan, Indonesia justru mengalami kenaikan di bidang-bidang tertentu, seperti demokratisasi serta penegakan hukum dan keadilan. ”Tapi di sektor-sektor tertentu, misalnya perizinan, kemudahan berinvestasi, kemudian adanya kekhawatiran dari para investor tentang kepastian hukum, macam-macam, memang itu memengaruhi agak turun. Tapi kalau penegakan hukum, pemberantasan korupsi, demokrasi itu naik meskipun kecil,” ujarnya.
Mahfud mengatakan, sekarang ini hampir semua negara mengalami penurunan Indeks Persepsi Korupsi, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei Darrussalam, dan seterusnya.
Menurut Mahfud, sekarang pemerintah sedang menyiapkan satu langkah lebih konkret tentang sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE).
Melalui sistem pemerintahan berbasis elektronik itu, kata Mahfud, semua yang terjadi di daerah maupun setiap kementerian dan lembaga akan terkontrol setiap hari oleh pemerintah pusat.
Mahfud juga mengingatkan, memberantas korupsi dan menegakkan hukum itu tidak bisa cepat seperti orang melakukan kejahatan. Penegakan hukum agak lambat karena untuk menegakkan hukum harus ikut aturan, prosedur, waktu, dan sebagainya.
Semua pihak
Sebelumnya, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK sekaligus Koordinator Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Pahala Nainggolan mengatakan, semua pihak ikut bertanggung jawab terhadap perbaikan IPK.
Menurut Pahala, tidak banyak yang paham secara penuh siapa yang harus bertanggung jawab untuk perbaikan IPK. Bahkan, ironisnya banyak kementerian yang tidak paham dengan IPK. ”Karena ini disebut Indeks Persepsi Korupsi, maka ditunjukkan aparat hukum semua. Aparat hukumnya malah jadi beban IPK. Kementerian lain tidak merasa bertanggungjawab,” kata Pahala.
Padahal, di sumber data IPK disebutkan bahwa penilaian itu juga mencakup seperti persepsi korupsi sektor publik dalam hal ini pimpinan politik nasional dan lokal, serta aparatur sipil negara pusat dan daerah. Begitu juga dengan persepsi korupsi pada institusi tertentu seperti kepolisian, pengadilan, bea dan cukai, pajak, perizinan, pengawasan, dan militer.