Wapres Amin: Konstruksi Fikih Baru Dibutuhkan untuk Menghadapi Perubahan Zaman
Dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengajak para ulama untuk merespons setiap masalah baru yang muncul sehingga tercipta fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh
IQBAL BASYARI, MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa para ulama harus mampu menjawab dinamika peradaban baru yang muncul akibat globalisasi. Ketentuan dalam hukum Islam atau fikih yang merupakan respons terhadap peradaban sebelumnya bisa jadi tidak cocok lagi untuk merespons peradaban saat ini. Oleh karena itu, dibutuhkan konstruksi fikih baru yang lebih sesuai dengan peradaban saat ini.
”Saya ingin mengajak para ulama semua untuk terlibat lebih aktif dalam merespons setiap permasalahan baru dan terbarukan yang muncul sehingga tercipta fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman,” ujar Wapres Amin di gelaran Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Surabaya, Senin (6/2/2023).
Acara yang merupakan rangkaian agenda Peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) tersebut juga dihadiri antara lain Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas.
Wapres Amin yang merupakan mantan Rais Aam PBNU menuturkan, fikih baru tersebut harus dibangun di atas akar metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. NU sebagai sebuah organisasi keagamaan kemasyarakatan dinilai telah memiliki cukup syarat untuk merumuskan fikih baru. Sebab, NU selama ini dikenal memiliki prinsip pemahaman keagamaan yang dinamis dan kontekstual.
NU sejak 1992 melalui Munas Alim Ulama di Lampung telah memiliki sistem dan prosedur pengambilan hukum yang lengkap, termasuk manhaj istinbath. Dengan demikian, NU dalam merespons berbagai masalah juga dapat menggunakan fikih manhaji.
Selain itu, lanjut Wapres, melalui Munas Alim Ulama tahun 2006 di Surabaya, NU telah menetapkan karakteristik (khashaish) cara berpikir NU (fikrah nahdliyah), yaitu tawassuthiyah, ishlahiyah, tathawwuriyah, dan manhajiyah. Oleh karena itu, sudah pada maqam-nya NU ikut aktif mengurai dan memberikan jawaban terhadap masalah-masalah global yang terjadi pada era peradaban modern dewasa ini.
Wapres juga mengajak ulama di dunia agar ikut ambil bagian dalam perumusan tatanan global demi terwujudnya dunia yang lebih adil dan damai. Ulama juga harus bisa menyelesaikan persoalan global, terutama kemiskinan, konflik, perang, dan kerusakan lingkungan. Para ulama diminta terus mendorong terwujudnya substansi etika global, yakni saling memahami, saling menghormati, saling ketergantungan, dan kerja sama di antara bangsa-bangsa di dunia.
Wapres Amin menambahkan, kitab fikih belum memberikan penjelasan yang kokoh yang mampu memberikan landasan keagamaan terkait dengan hubungan internasional. Dalam perspektif Islam, lembaga PBB dapat dinyatakan sebagai lembaga yang memiliki legitimasi karena telah disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia. Menurut pandangan Islam, kesepakatan tersebut merupakan konsensus internasional yang keputusannya mengikat dan harus dipatuhi oleh semua negara yang menjadi anggota.
Namun, perjanjian internasional yang telah ditetapkan PBB tidak sedikit yang dilanggar. Akibatnya, seringkali terjadi konflik antarnegara, seperti pendudukan Israel di Palestina, serangan multinasional terhadap Irak, dan perang Rusia-Ukraina, yang kemudian berdampak secara global.
Oleh karena itu, PBB harus diperkuat dengan memberikan kesetaraan hak antaranggota dan menambah representasi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai hak veto dari negara berkembang. Selain itu, perlu diperbanyak forum-forum internasional yang memberi pengaruh kuat terhadap PBB.
Ilmu pengetahuan
Dalam upaya pembangunan peradaban, peran ilmu pengetahuan dinilai sangat penting yang berfungsi sebagai kunci peradaban. ”Tidak benar anggapan bahwa ilmu pengetahuan merupakan penyebab terjadinya kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini. Sumber kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini adalah nafsu serakah manusia yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan,” kata Wapres Amin, menambahkan.
Permasalahan yang menjadi perhatian peradaban modern antara lain pola hubungan antarkelompok masyarakat dalam sebuah negara, khususnya hubungan antarkelompok agama. Pada masa lalu, prinsip hubungan antagonis banyak digunakan sesuai kondisi saat itu. Namun, mayoritas ulama saat ini berpendapat bahwa hubungan antara Muslim dan non-Muslim didasarkan pada prinsip hubungan damai, bukan hubungan berhadapan secara antagonis.
Terkait dengan hal itu, Wapres menegaskan bahwa konsep jihad pun perlu ditinjau ulang (i’adatun nazhar). Mayoritas ulama pada masa lalu mendukung konsep jihad dengan arti ofensif, karena kondisi kehidupan pada waktu itu banyak diliputi oleh konflik dan perang antar-kelompok masyarakat. Di samping belum ada badan/lembaga tingkat nasional ataupun internasional yang mengatur dan mengawasi hubungan antar-kelompok dan antar-bangsa.
Sebaliknya, mayoritas ulama pada masa kini lebih mendukung konsep jihad dalam arti defensif (difa’iyyah), yang juga tidak terlepas dari kondisi dunia modern. Konsep ini mengedapankan prinsip perdamaian dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan antar-bangsa.
KH Miftachul Akhyar menuturkan, NU secara khusus mendorong umat Islam untuk kembali membangkitkan hati nurani dalam membangun tanggung jawab sosial. Hal itu dilakukan bukan hanya melalui wacana, melainkan juga dengan tindakan dan membangun opini publik tentang tanggung jawab sosial. Sebab, masyarakat telah dijangkiti kesalahpahaman terhadap konsep kebebasan individu dan tidak menghiraukan tanggung jawab publik.
”Kita semua menyaksikan gejala penyakit ini, yaitu kebebasan yang individualistik, buah dari pemahaman yang tidak benar,” ucapnya.
Oleh karena itu, Miftach menilai peradaban Islam mesti dibangun kembali dengan menghindari karakter-karakter kebebasan yang negatif tersebut. Jihad dan ijtihad harus menjadi sebuah kesatuan pemahaman atas Islam dalam membangun peradaban. ”Mengombinasikan antara jihad dan ijtihad, yaitu mencurahkan segenap tenaga dan berusaha keras dalam memahami Islam dan mengamalkannya,” ujarnya.
KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya mengatakan, pada November 2022 NU telah menginisiasi G20 Religion Forum atau R20, sebuah forum internasional yang menghadirkan para pemimpin agama, sekte, dan kepercayaan dari berbagai negara. Dalam forum tersebut, telah tercapai kesepakatan bahwa semua pemimpin agama akan membangun gerakan untuk menggalang kekuatan agama-agama bagi perjuangan dalam mewujudkan dunia yang lebih damai dan harmonis.
Selepas R20 tersebut, komunitas agama di seluruh dunia mulai bekerja untuk mengupayakan inisiatif-inisiatif dari sisi agama masing-masing. Begitu pula dengan NU yang hari ini menginisiasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban sebagai sumbangan bagi perjuangan untuk membangun peradaban manusia yang lebih mulia.
”Kami mulai dengan membedah apa yang ada diri kita, apa yang ada dalam wacana keagamaan kita agar ke depan Islam sungguh-sungguh hadir sebagai bagian dari solusi masalah, tidak lagi dianggap sebagai bagian dari masalah,” ucapnya.
Menurut Gus Yahya, gelaran ini merupakan langkah awal yang sederhana, tetapi diharapkan bisa menjadi awal dari perjuangan yang panjang. Ia juga berharap agar muktamar kali ini bukanlah muktamar fikih peradaban yang pertama dan terakhir, tetapi bisa digelar rutin tiap tahun.
Wakil Imam Akbar Al Azhar Muhammad al-Dhuwaini berharap konferensi kali ini bisa menghasilkan sebuah konsep dan rencana kerja yang mampu menghadapi tantangan-tantangan riil. Hasil muktamar mestinya tidak hanya sekadar teori, tetapi bisa diterapkan secara nyata dan memberikan manfaat bagi umat. ”Jangan sampai tenggelam pada teks parsial tanpa memahami konteksnya,” ucapnya.
Terkait perkembangan fikih peradaban, ia menilai perdamaian tidak bisa dilakukan kecuali oleh institusi yang dipimpin oleh pemimpin yang jujur, memiliki visi, dan didukung oleh kapasitas organisasi yang stabil. Marjinalisasi harus dihilangkan karena mengancam kebebasan orang lain. Oleh karena itu, umat Islam harus mengambil peran dalam memprakarsai kebaikan, mencegah keburukan, dan menciptakan perdamaian.