Peringatan Satu Abad Fatmawati diperingati keluarga Bung Karno secara sederhana pada Minggu (5/2/2023) di kediaman pribadinya di Kemang, Jakarta. Di acara itu, putra sulungnya, Guntur Soekarno potong tumpeng.
Oleh
SUHARTONO
·3 menit baca
”Ya Allah ya Rahim, kami bersaksi bahwa Ibunda Fatmawati adalah pahlawan nasional yang berjasa untuk negeri ini. Beliau menjahit bendera pusaka dalam kondisi hamil tua dengan fisik yang rentan. Karena itu, jadikan setiap tetes air matanya yang jatuh itu penghapus dosa dan cintanya buat negeri tercintanya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa para pahlawan....”
Demikian sepenggal doa di acara pembuka Satu Abad Ibu Negara pertama RI, Fatmawati, Minggu (5/2/2023), di kediaman putra sulung Fatmawati dengan Ir Soekarno, Guntur Soekarno, di Jakarta. Doa disampaikan Helmi Hidayat, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga staf khusus Wakil Ketua MPR Achmad Basarah.Seperti diungkapkan cucu pertama Fatmawati—dari Guntur dan Henny Soekarno—Puti Guntur Soekarno, saat memberi pengantar sebelum pemotongan tumpeng penanda Satu Abad Fatmawati, neneknya tak hanya mencintai negerinya, tetapi juga mencintai Tuhan. ”Cinta yang diajarkan Mbuk bukan hanya cinta kepada Bung Karno, tetapi juga cinta kepada negeri dan terutama kepada Tuhan,” kata Puti saat mengenang neneknya menjahit bendera Merah Putih di kala hamil tua.
"Mbuk" adalah panggilan sayang Puti kepada neneknya yang sudah seperti ibunya sendiri. Fatmawati lahir pada 5 Februari 1923 di Kota Bengkulu.
”Cinta yang diajarkan Mbuk bukan hanya cinta kepada Bung Karno, tetapi juga cinta kepada negeri dan terutama kepada Tuhan”
Fatmawati, bagi Puti, benar-benar seorang perempuan hebat, punya sikap dan sangat menyayangi keluarga. ”Waktu kecil dulu, saya diajari membaca buku-buku tentang pahlawan, wayang seperti perang Bharatayudha, dan tentang Tanah Air. Bukunya dibeli dari tukang loak yang bukunya dulu dibungkus gembolan kain,” kata Puti seraya terisak.
Makam Fatmawati ada di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. ”Keluarga meminta ibu dimakamkan di situ dan, oleh Presiden Joko Widodo, makamnya telah direnovasi,” kata Guntur, yang akrab disapa Mas To, belum lama ini.
Menurut Guntur, sebelum Bung Karno diangkat menjadi Presiden RI, Ibu Fatmawati sudah menjahit bendera Merah Putih yang pertama kalinya digunakan dalam Proklamasi Kemerdekaan RI. Bendera itu kemudian digunakan hingga bertahun-tahun di Istana Merdeka, setiap 17 Agustus.
”Ibu Fatmawati adalah sosok perempuan yang tak hanya punya sikap, tetapi juga monumental"
”Ibu Fatmawati adalah sosok perempuan yang tak hanya punya sikap, tetapi juga monumental. Bangsa Indonesia tak tahu detail apa yang dilakukan Fatmawati. Siapa yang menata interior dan taman-taman di Istana Merdeka dan Istana Negara sejak Presiden Soekarno kembali dan masuk ke Istana Jakarta pada 1949? Istana dan halamannya waktu itu sangat kotor dan berantakan setelah ditinggal Belanda dan Jepang. Bapak didampingi Ibu bahu-membahu membersihkan dan menata interior gedung, halaman, dan taman-taman Istana. Bapak dan Ibu dibantu beberapa petugas dan pegawai Istana,” tambah Mas To.
Menurut Guntur lagi, Ibu Fatmawati pada 1954 juga mendirikan rumah sakit yang kemudian dinamakan RS Fatmawati. ”Ibu yang menggagas dan meletakkan batu pertama pembangunannya. Di awal pendiriannya bagi warga tak mampu dan kemudian dikhususkan bagi penderita TBC anak dan rehabilitasi. Apakah itu bukan monumental?” kata Mas To lagi.
Guntur mengingatkan, salah satu yang monumental lagi sikap Ibu Fatmawati sebagai Ibu Negara yang menolak dimadu karena Bung Karno menikah lagi dengan Hartini.
Menolak poligami
Sebagaimana ditulis dalam buku "Fatmawati, Catatan Kecil bersama Bung Karno", yang diedit Guntur Soekarno (Penerbit Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, 2014), juga buku "Sukaduka Fatmawati", yang diterbitkan Yayasan Bung Karno (2008), Fatmawati memang sosok perempuan yang sejak awal menolak poligami.
”Sebagai sikap dan prinsipnya menolak, Ibu tinggal di paviliun istana yang terletak di sebelah barat Istana Merdeka (kini ruang vvip di dekat Masjid Baiturrachim). Ibu tinggal di sana sambil diam-diam membangun rumah sendiri di Jalan Sriwijaya. Tanah dibeli oleh ayahnya, almarhum Hasan Din, dan dibangun secara bertahap dari gaji Bapak karena gaji Bapak sebagai presiden tidak besar-besar banget,” ungkapnya.
Meski demikian, Bung Karno tetap menghormati sikap Fatmawati sebagai ibu negara. ”Jadi, kalau ada acara-acara resmi kenegaraan, Bapak selalu ajak Ibu hadir. Namun, Ibu tidak mau datang kalau di acara itu ada Ibu Hartini. Misalnya, pembukaan Asian Games di Gelora Senayan dulu. Tapi, datang saat bersama Bapak menyambut tim bulu tangkis Indonesia yang menang Thomas Cup,” tuturnya. Itulah peranan Fatmawati yang tidak kecil.
”Sebagai sikap dan prinsipnya menolak, Ibu tinggal di paviliun istana yang terletak di sebelah barat Istana Merdeka (kini ruang vvip di dekat Masjid Baiturrachim). Ibu tinggal di sana sambil diam-diam membangun rumah sendiri di Jalan Sriwijaya"
Menurut Achmad Basarah, Fatmawati sebenarnya salah satu pahlawan perempuan Indonesia yang sangat berjasa. ”Peringatan Satu Abad Fatmawati menemukan makna historisnya agar bangsa Indonesia yang kini hidup menikmati alam kemerdekaan hingga ke-78 tahun pada 2023 dapat menghormati jerih payah dan perjuangannya,” ujarnya.
Achmad Basarah menambahkan, berkat jasa Fatmawati, yang menyiapkan bendera Merah Putih, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi paripurna. ”Hingga kini, bangsa dan negara Indonesia menjadi negara merdeka yang dihormati oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia,” katanya.
Fatmawati, tambah Basarah, bukan hanya layak memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Fatmawati juga patut mendapatkan apresiasi atas jasa-jasanya menjadi inspirasi kaum perempuan Indonesia yang telah mengambil peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia.