Keterlibatan Teddy Minahasa dalam kasus narkoba mengindikasikan perlunya pembenahan pada pengawasan di internal penegak hukum,
Oleh
ERIKA KURNIA, Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diperkarakannya keterlibatan Inspektur Jenderal Teddy Minahasa dalam peredaran narkoba di persidangan menjadi langkah awal yang harus diikuti dengan aksi serius pemberantasan narkoba di kalangan aparat penegak hukum. Untuk itu, pengawasan di internal penegak hukum harus diperkuat dengan diisi perwira berintegritas.
Mengingat, bukan kali ini saja pejabat tinggi di kalangan aparat penegak hukum terungkap terlibat dalam peredaran ataupun penggunaan narkoba. Apalagi perputaran uang dari bisnis haram ini mencapai triliunan rupiah.
Selama 2019-2022, setidaknya Teddy menjadi orang keempat di kalangan petinggi institusi penegak hukum yang terungkap terlibat kasus narkoba. Sebelumnya ada bekas Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kalianda Muchlis Adjie, bekas Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Kalimantan Barat Ajun Komisaris Besar Hartono, dan bekas hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung Yudi Rozadinata yang terlibat peredaran ataupun memiliki narkoba. Selain itu, ada pula tiga anggota TNI ditangkap karena terlibat peredaran ganja.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan total nilai perputaran uang terkait transaksi narkotika di Indonesia sepanjang 2016-2021 bisa mencapai Rp 400 triliun. Selama 2021, contohnya, Badan Narkotika Nasional mengungkap sejumlah kasus pencucian uang dari bisnis narkoba dengan total nilai mencapai Rp 108,9 miliar. Pada 2021, PPATK juga melaporkan bahwa tindak pidana pencucian uang dari tiga jaringan narkoba internasional saja mencapai Rp 214,4 triliun.
Ditukar tawas untuk dijual
Sementara pada perkara Teddy, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (2/2/2023), jaksa Arya Wicaksana mendakwa Teddy telah memerintahkan Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara mengambil 10 kilogram sabu dari barang bukti sabu seberat 41,4 kg. Barang bukti itu diperoleh dari hasil penangkapan di wilayah Bukittinggi, Sumatera Barat, pada pertengahan 2022 saat Teddy menjabat sebagai Kepala Polres Bukittinggi.
Dakwaan itu disampaikan dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Jon Sarman Saragih. Teddy disidangkan seorang diri. Sementara enam terdakwa lainnya dalam perkara ini, temasuk Dody, telah disidangkan pada Rabu (1/2/2023). Selain Teddy dan Dody, terdakwa lainnya adalah Linda Pujiastuti alias Anita, Muhammad Nasir, Syamsul Ma’arif, Ajun Inspektur Satu Janto Situmorang, dan Komisaris Kasranto.
Jaksa kemudian menyebutkan bahwa barang bukti sabu yang diambil itu sebagai bonus bagi para anggota Polres Bukittinggi. Dalam pertemuan tatap muka di sebuah hotel di Bukittinggi, Teddy menyarankan Dody agar sabu yang diambil ditukar dengan tawas. Namun, kemudian Dody menyampaikan kepada Teddy bahwa ia tidak berani mengambil barang bukti sabu sebanyak 10 kg. Hingga akhirnya Dody tetap mengupayakan perintah Teddy itu dengan dibantu ajudannya, Syamsul Arif, mengambil barang bukti sabu seberat 5 kg dan menukarnya dengan tawas.
Teddy selanjutnya memberi Dody kontak terdakwa lainnya dalam perkara ini, Linda Pujiastuti yang dinamai Anita Cepu, dengan tujuan agar barang bukti sabu yang diambilnya itu bisa dijual Linda yang berada di Jakarta Barat. Sesuai saran Teddy, sabu itu dibawa Dody dan Syamsul Arif, menumpangi mobil Dody, menuju Jakbar.
Begitu sampai, 5 kg sabu diserahkan ke Linda dan di hari itu juga Linda berhasil menjual 1 kg sabu seharga Rp 400 juta. Dari penjualan itu, Rp 100 juta diambil Linda untuk dirinya dan seorang perantaranya dengan pembeli. Sisanya Rp 300 juta yang ditukarkan dengan 27.300 dollar Singapura diserahkan ke Teddy di rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Adapun dari 4 kg sabu yang tersisa, sebanyak 1 kg disimpan di rumah Linda, 1 kg dijual Linda kepada Kepala Kepolisian Sektor Kalibaru (Jakarta Utara) Komisaris Kasranto. Lalu, 2 kg lainnya disimpan di rumah Dody di Depok, Jawa Barat. Sabu itu ditemukan pada 12 Oktober 2022.
Teddy pun didakwa Pasal 114 Ayat 2 UU Narkotika juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling berat seumur hidup dan paling ringan 5 tahun penjara. ”Atau dakwaan kedua melanggar Pasal 112 Ayat 2 UU Narkotika juncto Pasal 11 Ayat 1 ke-1 KUHP,” ujar jaksa.
Setelah seluruh dakwaan dibacakan, Teddy mengatakan kepada majelis hakim bahwa ia mengerti dakwaannya. Namun, ketika itu juga, ia mengajukan pembelaan. ”Kami mengajukan eksepsi, yang selebihnya akan kami serahkan ke jaksa,” kata Teddy.
Tim penasihat hukum Teddy yang dipimpin Hotman Paris pun membacakan empat surat eksepsi dalam sidang tersebut. Mereka antara lain menguraikan adanya konspirasi dalam proses penyidikan hingga penahanan terhadap Teddy.
Salah satu hal yang dinilai sebagai konspirasi adalah penggunaan pasal-pasal penyalahgunaan narkotika yang dinilai dipaksakan karena Teddy tidak terbukti memiliki atau menggunakan narkoba sampai akhirnya diperiksa pada pertengahan Oktober 2022.
Kedekatan personal
Guru Besar Bidang Keamanan FISIP Universitas Padjadjaran Muradi menjelaskan, ada beberapa penyebab yang membuat aparat penegak hukum kerap jatuh di kasus-kasus seperti yang menjerat Teddy. Salah satunya, lemahnya pengawasan internal yang dilakukan oleh pengawas internal kepolisian, yaitu dari Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan Inspektur Pengawas Umum Polri.
Untuk itu, pemilihan jabatan di dua posisi ini harus dilakukan dengan cermat dan meminimalkan politik personal dalam pengisiannya. ”Pengawasan terkadang tidak berjalan baik karena ada kedekatan personal dengan para jenderal. Ini membuat kepolisian sulit kadang dilematis jika kasus yang akan diusut melibatkan perwira tinggi. Jabatan propam itu harus minimal kapolda karena kapolda mengerti cara berjejaring sampai bawah,” ujar pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.