Indeks Persepsi Korupsi Turun, Presiden: Jadi Bahan Evaluasi
Turunnya skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 menunjukkan strategi pemberantasan korupsi yang diterapkan pemerintah belum efektif. Pendekatan baru mendesak diterapkan untuk memberikan efek jera pada koruptor.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede, MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Presiden Joko Widodo akan menjadikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang turun dari skor 38 pada 2021 menjadi 34 di tahun 2022 sebagai bahan evaluasi bagi strategi pemberantasan korupsi di Tanah Air. Koreksi akan dilakukan tak hanya untuk memperbaiki IPK, tetapi juga mencegah dan memberantas rasuah yang masih marak terjadi.
”Iya, itu (IPK) akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama,” kata Presiden di sela-sela kunjungan kerja di Kabupaten Tabanan, Bali, Kamis (2/2/2023).
Sebelumnya, Transparency International merilis IPK Indonesia tahun 2022 mendapat skor 34. Padahal tahun 2021, skor IPK Indonesia berada di 38 poin. Penurunan itu disebut sebagai penurunan paling drastis sejak tahun 1995 karena skor IPK tahun 2022 sama dengan tahun 2014, yakni 34 poin. Skor itu juga menempatkan Indonesia berada di peringkat ke- 110 dari 180 negara yang disurvei.
Presiden menjelaskan, evaluasi dan koreksi akan dilakukan agar ke depannya, IPK Indonesia membaik. Dengan perbaikan itu juga diharapkan, korupsi dapat dicegah dan diberantas.
Iya, itu (IPK) akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama
Pencegahan dan pemberantasan korupsi sebenarnya menjadi salah satu perhatian Presiden. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). ”Arahan Presiden sangat tegas dan jelas, digitalisasi birokrasi menjadi kewajiban. Dan bukan sekadar digitalisasi, tapi seluruh rangkaian digitalisasi itu harus terintegrasi sehingga semua berbasis digital, mengurangi berbagai celah dan potensi penyalahgunaan,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Anas melalui keterangan tertulis, Kamis (2/2).
Pemerintah, lanjut Anas, meyakini digitalisasi birokrasi dalam skema SPBE sangat efektif untuk mencegah korupsi sekaligus mengakselerasi pelayanan publik. Hal itu setidaknya terlihat dari pengalaman sejumlah negara di mana digitalisasi tak hanya mampu menciptakan pemerintahan yang efisien, tetapi juga berdampak pada IPK.
”Denmark dan Finlandia, misalnya, e-Government Development Index (EGDI) dunia, menempati posisi tertinggi. Ternyata dalam IPK 2022 yang diterbitkan Transparency International, Denmark dan Finlandia juga menjadi negara dengan peringkat IPK tertinggi,” tuturnya.
Anas menjelaskan, pada 2022, EGDI Indonesia berada pada peringkat ke-77 dengan nilai 0,71 dari skala 0-1. Adapun Denmark berada di peringkat pertama dengan angka 0,97, dan Finlandia di ranking kedua pada angka 0,95.
Dari pengalaman kedua negara itu dapat disimpulkan bahwa proses digitalisasi di segala lini menjadi perhatian Presiden akan berperan besar dalam menekan potensi korupsi. Ketika EGDI Indonesia nantinya meningkat, IPK juga akan semakin membaik.
”Karena itu sekarang semua bekerja keras, para menteri koordinator, kementerian/lembaga terkait berupaya mendorong percepatan digitalisasi, terutama untuk memperkuat kaitan dengan akuntabilitas keuangan negara,” ujar Anas.
Belum efektif
Anjloknya skor Indonesia dalam IPK 2022 harus menjadi momentum untuk memikirkan kembali strategi pemberantasan korupsi. Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, mengungkapkan, IPK rendah menunjukkan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia belum efektif. Pendekatan yang mengedepankan penangkapan serta pemidanaan masih belum mampu memenuhi ekspektasi publik untuk Indonesia bebas dari korupsi.
“Operasi tangkap tangan (OTT) dan pemidanaan memang dibutuhkan, tapi harus ada strategi yang lebih efektif, yang dapat memberikan rasa takut kepada para koruptor, yaitu pemiskinan, melalui pengembalian aset-aset korupsi,” ujarnya.
Semestinya, menurut Sudding, pemerintah juga menerapkan pengembalian atau perburuan aset para koruptor, salah satunya melalui sistem Deferred Prosecution Agreement (DPA) yang banyak diadopsi oleh negara-negara di Eropa, dan juga Asia seperti Singapura.
Ia membandingkan, negara-negara yang menggunakan sistem DPA memiliki skor IPK yang relatif cukup baik dibandingkan negara-negara yang tidak seperti Indonesia. Secara sederhana, Sudding menjelaskan, melalui kebijakan DPA, seorang koruptor tidak akan dituntut pidana oleh negara apabila memenuhi ketentuan untuk mengembalikan sejumlah uang atau aset hasil korupsinya.
Meskipun demikian, ia menyarankan angka pengembalian yang harus diberikan wajib dikalikan beberapa kali lipat untuk menimbulkan efek jera. Pemidanaan lebih baik dilakukan dengan asas subsidiaritas saja, atau pidana penjara baru diberikan apabila seorang koruptor tidak mampu memenuhi persetujuan di DPA.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Totok Dwi Diantoro menerangkan, salah satu akar permasalahan yang mendera iklim pemberantasan korupsi di Indonesia adalah hilangnya independensi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini terutama terjadi setelah revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Undang-undang tersebut mengatur perubahan struktur KPK yang kini berada di bawah pemerintahan, dan para pegawainya ditetapkan sebagai ASN.
Selain itu, pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan surat penghentian penyelidikan perkara (SP3) untuk beberapa kasus yang dinilai mangkrak, juga dapat dipahami sebagai bentuk pelemahan sistematis terhadap KPK. ”Pelemahan-pelemahan itu membuat KPK terjebak dalam situasi sekarang, padahal harusnya KPK menjadi leading sector pemberantasan korupsi,” ucapnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai buruknya IPK Indonesia salah satunya disebabkan sikap pemerintah yang cenderung permisif terhadap kejahatan korupsi. Hal itu setidaknya terlihat diperbolehkannya mantan narapidana korupsi menjadi peserta pemilu dan pilkada meski ada skema pembatasan waktu jeda lima tahun.