Buntut Pengubahan Putusan, Sembilan Hakim Konstitusi Dilaporkan ke Polisi
Sembilan hakim konstitusi dan panitera MK dalam perkara 102/PUU-XX/2022 dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pemalsuan dokumen.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan pengubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pencopotan Aswanto menginjak tahap berikutnya. Sembilan hakim konstitusi serta panitera MK dalam perkara 103/PUU-XX/2022 Nurlidya Stephanny Hikmah dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan dokumen.
Pelaporan dilakukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku pemohon uji materi 103/2022 yang merasa dirugikan atas pengubahan putusan tersebut pada Rabu (1/2/2023).
”Laporan klien kami sudah diterima oleh penyidik Polda Metro Jaya. Tindak lanjut berikutnya nanti akan dikabari dan dikoordinasikan,” ujar salah satu kuasa hukum Zico, Angela Foekh.
Selain sembilan hakim konstitusi, Panitera MK Muhidin, dan panitera pengganti dalam perkara 103/PUU-XX/2022 Nurlidya Stephanny Hikmah dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Mereka dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 263 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pemalsuan surat/dokumen dan/atau menggunakan surat/dokumen palsu.
Kasus ini bermula ketika Zico menemukan adanya perubahan frasa dalam salinan putusan 103/2022 dan risalah persidangan, yang berbeda dengan putusan yang dibacakan di ruang sidang pada 23 November 2022. Frasa ”Dengan demikian,…” di salah satu bagian pertimbangan putusan 103 diubah menjadi ”Ke depan,…”.
”Artinya berbeda. Kalau frasa ”Dengan demikian,…” artinya pemberhentian hakim (Aswanto) itu tidak sah. Harus dianggap inkonstitusional. Kalau ”Ke depan,…” (pemberhentian) sekarang jadi sah. Baru tidak sah nanti. Itu jelas merugikan,” kata Angela. Pihaknya berharap Polda Metro Jaya segera mengusut kasus tersebut.
Ditanya mengapa semua hakim konstitusi dilaporkan, Angela mengungkapkan, pihaknya belum mengetahui siapa yang diduga melakukan perubahan substansi putusan tersebut. Oleh karena itu, pihaknya melaporkan semua pihak yang terkait dengan putusan 103.
Itu hak dia. Silakan saja. Majelis Kehormatan MK tetap bekerja independen.
Terkait dengan pelaporan tersebut, Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa pelaporan pidana dalam kasus dugaan pengubahan putusan 103 merupakan hak yang bersangkutan. ”Itu hak dia. Silakan saja. Majelis Kehormatan MK tetap bekerja independen,” ujar Enny yang juga anggota Majelis Kehormatan dari unsur hakim konstitusi aktif.
Seperti diketahui, Ketua MK Anwar Usman mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan pada Senin (30/1/2023) untuk memeriksa kasus dugaan pengubahan putusan 103 secara etik. Selain Enny, anggota Majelis Kehormatan lainnya adalah mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Soedjito.
Palguna jadi Ketua
Sementara itu, Majelis Kehormatan yang dibentuk MK menggelar rapat perdana pada Rabu siang. Salah satu agenda dalam rapat tersebut adalah penunjukan Ketua Majelis Kehormatan MK, yaitu mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna.
”Tadi MK-MK langsung rapat pertama. Karena MK-MK ini Lembaga yang baru (dulu adanya Dewan Etik) dan ada ketentuan penjelasan Pasal 27A Ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (tentang MK), Peraturan MK (MK-MK) harus mendapat persetujuan MK-MK sebagai instrumen kerja MK-MK,” kata Enny saat ditanya mengenai apakah Peraturan MK tentang Majelis Kehormatan MK sudah ada.
Ditanya lebih lanjut mengenai tahapan kerja selanjutnya, Enny belum bersedia memberikan informasi lebih detail, termasuk siapa saja yang akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan. ”Tunggu saja,” ucap Enny.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura berpendapat, pemeriksaan dugaan pengubahan substansi putusan mesti dilakukan dengan permintaan keterangan terhadap semua hakim MK untuk pertama kali.
”Majelis Kehormatan itu, kan, pembentukannya ditujukan untuk hakim. Maka, mestinya hakim dulu yang diklarifikasi, di bawah sumpah. Ada yang berubah atau tidak dengan putusan itu, lalu baru siapa drafter-nya,” ujarnya.
Apabila diakui ada perubahan, tambah Charles, perlu dikejar apakah perubahan tersebut dilakukan atas perintah pihak-pihak tertentu termasuk hakim. Menurut dia, perubahan itu gampang ditelusuri dengan audit forensik oleh kepolisian. ”Cari jejak digital, kan, gampang. Laptop siapa yang dipakai (untuk mengubah putusan). Itu bisa ditelusuri. Gampang sekali kalau pake teknologi kepolisian untuk mencari pelakunya,” katanya.