Indeks Persepsi Korupsi 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor Indonesia memburuk empat poin dari 38 menjadi 34 poin.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada 2022 mengalami penurunan empat poin hingga berada di skor 34. Penurunan yang signifikan ini dinilai menjadi salah satu bukti strategi dan program pemberantasan korupsi yang diterapkan tidak efektif. Hal itu dikhawatirkan bisa mengirim sinyal risiko tinggi kepada investor dan dunia usaha.
IPK 2022 yang diluncurkan Transparency International pada Selasa (31/1/2023) menunjukkan, Indonesia mendapat skor 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. IPK merupakan indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Pada 2021, Indonesia mendapat skor 38 sehingga capaian pada 2022 disebut sebagai penurunan paling drastis sejak 1995. Capaian tahun 2022 ini sama dengan skor IPK Indonesia tahun 2014, yakni 34 poin.
”Indonesia hanya menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak tahun 2012. Situasi ini memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat, bahkan memburuk, akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pemangku kepentingan,” kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam peluncuran IPK 2022 di Jakarta.
Peluncuran IPK 2022 dihadiri sejumlah penanggap, yakni Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan; Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Yusuf Hakim Gumilang; pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; ekonom dan pengajar Universitas Indonesia, Faisal Basri; serta Direktur Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 berada di skor 34 dan berada di peringkat ke-110 ketika diluncurkan oleh Transparency International Indonesia di Jakarta, Selasa (31/1/2023). Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Penurunan tertajam terjadi pada indikator korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor.
Menurut Sekretaris Jenderal TII J Danang Widoyoko, penurunan drastis skor IPK Indonesia 2022 membuktikan strategi dan program pemberantasan tak efektif. Revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 merupakan perubahan strategi pemerintah untuk mengurangi penegakan hukum dan menggeser ke pencegahan korupsi.
Berbagai program pemberantasan korupsi dalam pelayanan publik dan bisnis dilakukan dengan digitalisasi pelayanan publik. Bahkan, UU Cipta Kerja diklaim sebagai strategi besar untuk memberantas korupsi melalui pencegahan. Namun, merosotnya skor IPK menunjukkan strategi tersebut tak berjalan.
Penurunan drastis
Penurunan paling tajam pada IPK tampak pada indikator Political Risk Service (PRS) Internasional Country Risk Guide, yakni dari 48 poin pada 2021 menjadi 35 pada 2022. PRS terkait dengan korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor.
Selain itu, penurunan lima poin juga terjadi pada indikator IMD World Competitiveness Yearbook dari 44 menjadi 39 poin. Indikator ini menganalisis negara berdasarkan bagaimana mereka mengelola kompetensi untuk mencapai penciptaan nilai dalam jangka panjang. Beberapa aspek yang dikaji ialah performa ekonomi, efektivitas pemerintah, efektivitas bisnis, dan infrastruktur.
Pada Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide, skor Indonesia turun dari 32 menjadi 29. Indeks ini melihat variabel, seperti korupsi, risiko pelindungan kekayaan intelektual, kualitas tenaga kerja, serta kekuatan dan kekuatan sistemik negara-negara di Asia.
Ada tiga indikator stagnan dan ada dua naik tipis, yakni World Justice-Project-Rule of Law Index (dari 23 jadi 24) dan Varieties of Democracy Project (dari 22 menjadi 24 poin).
Sulit cari investor
Pahala Nainggolan menyoroti PERC Asia Risk Guide yang nilainya hanya 29. Menurut dia, dengan nilai yang sangat rendah tersebut, akan sulit mencari investor.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021).
”Jadi, kalau kita mengharapkan investor, saya setuju. Namun, siapa yang datang kalau country risk-nya setinggi itu. Kita tahu siapa yang datang dan akan lebih susah lagi kita menegakkan pemberantasan korupsi kalau dari awal dia sudah tahu lahan tumpang tindih, tetapi dia tetap datang berinvestasi,” katanya.
Menurut Pahala, harus ada terobosan guna mengatasi memburuknya IPK. Dalam pengadaan, banyak politisi yang menjadi pebisnis sehingga terjadi konflik kepentingan. ”Sekarang yang kita butuhkan siapa yang bisa membuat terobosan mendudukkan semua lembaga itu dan pemerintah,” kata Pahala.
Dia mendorong pelayanan pegawai negeri diperbaiki. Begitu juga partai politik agar ada perbaikan karena mereka berkontribusi menghasilkan kader di lembaga pemerintahan.
Menurut Yusuf Hakim Gumilang, pemerintah melakukan perbaikan ketika pertama kali pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ada penurunan IPK tahun 2020 dari 40 menjadi 37 poin. Pada 2021, Presiden melakukan rapat terbatas untuk meningkatkan indeks antikorupsi dan pelayanan publik.
Pemerintah juga melakukan percepatan Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Korupsi, reformasi di pelabuhan, dan memperkuat digitalisasi. ”Digitalisasi tidak mencegah seluruhnya, tetapi menutup celah korupsi sampai tahap minimal,” kata Yusuf.
Selain itu, ada juga penguatan pengawasan di internal pemerintah. Aparat penegak hukum, kata Yusuf, juga melakukan tugasnya dalam penindakan dan penegakan hukum.
Sementara itu, menurut Faisal Basri, dari IPK terlihat adanya risiko politik yang tinggi sehingga investor tidak mau lama di Indonesia. Ironisnya, investor memilih proyek dengan keuntungan cepat tanpa membangun infrastruktur.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Ahli ekonomi Faisal Basri
Adapun Ahmad Khoirul Umam melihat ada catatan serius dari kalangan dunia bisnis terhadap penegakan hukum dan kualitas demokrasi di Indonesia. Rendahnya nilai IPK menjadi pesan bahwa saat ini terjadi kemunduran demokrasi yang diperparah dengan pembayaran ekstra dan suap terkait izin ekspor-impor, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta adanya korupsi di sistem politik.
Menurut Umam, ada kekuatan politik tertentu yang mengooptasi sistem kekuasaan supaya mengalami keberlanjutan dan tidak mengalami koreksi signifikan dalam proses demokrasi yang berjalan. Indikasi tersebut terlihat mulai dari KPK yang menjadi korektor kekuasaan telah terdelegitimasi, orkestrasi wacana perpanjangan masa jabatan presiden, penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan kepala desa, hingga wacana pemberlakuan sistem pemilu proporsional tertutup.
Bivitri Susanti menegaskan, IPK Indonesia yang kembali ke angka awal saat Presiden Joko Widodo menjabat terjadi karena banyaknya state capture corruption atau korupsi melalui peran negara.
Berdasarkan catatan Transparency International, penurunan skor IPK umumnya terjadi pada negara yang demokrasinya rendah karena ada upaya mencegah atau menekan perbedaan pendapat, tetapi pada satu titik hal ini akan terbuka.
”Dibutuhkan upaya serius memangkas benturan kepentingan yang luar biasa dan dibukanya ruang sipil dalam pembentukan kebijakan,” kata Bivitri.