MK Tegaskan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Hanya Dua Periode
MK, dalam putusan sidang uji materi UU Pemilu, menolak permohonan yang diajukan oleh Partai Berkarya yang diwakili Muchdi Purwopranjono selaku Ketua Umum dan Fauzan Rachmansyah selaku Sekretaris Jenderal.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. MK menyatakan dua ketentuan di dalam Undang-Undang Pemilu, yaitu Pasal 169 Huruf n dan Pasal 227 Huruf i UU No 7/2017, konstitusional dan harus diikuti oleh penyelenggara pemilu.
MK dalam putusan sidang uji materi UU Pemilu, Selasa (31/1/2023), menolak permohonan yang diajukan oleh Partai Berkarya yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono selaku Ketua Umum dan Fauzan Rachmansyah selaku Sekretaris Jenderal dalam perkara yang teregister nomor 117/PUU-XX/2022. Partai tersebut mempersoalkan persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden, khususnya terkait ketentuan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakilpPresiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Ketentuan tersebut ada pada Pasal 169 Huruf n UU No 7/2017 tentang Pemilu, serta Pasal 227 Huruf i UU yang sama terkait syarat berupa surat keterangan mengenai hal yang sama saat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Partai Berkarya mendalilkan, kedua pasal tersebut tidak sesuai dengan norma Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan dan bahkan membuat norma baru mengenai syarat seseorang menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Oleh karena itu, kedua pasal tersebut dinilai menimbulkan adanya ketidakpastian hukum yang adil yang dijamin dan dilindungi oleh Pasal 22E Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Dalam pertimbangannya, MK kembali merujuk pada Pasal 7 UUD 1945 terkait masa jabatan presiden dan Pasal 6 UUD 1945 terkait syarat menjadi calon presiden dan cawapres. Keduanya merupakan hasil perubahan pertama konstitusi tahun 1999 oleh MPR. Adapun tujuan pokok reformasi konstitusi 1999-2022 adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
Kompas
Hakim konstitusi Henny Nurbaningsih (kiri) berbincang dengan hakim Saldi Isra di sela-sela sidang putusan uji materi UU ITE terkait pemblokiran internet di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/10/2021).
Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, norma Pasal 7 UUD 1945 merupakan salah satu norma yang diubah untuk pertama kali dalam agenda reformasi konstitusi tahun 1999. Pasal 7 UUD 1945 (sebelum perubahan) mengatur, ”Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pasal tersebut tidak mengatur untuk berapa kali periode seseorang dapat menjadi presiden atau wakil presiden. Tidak ada pembatasan periode secara jelas.
”Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 inilah yang digunakan sebagai basis atau dasar argumentasi untuk mengangkat presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru,” kata Saldi.
Perubahan konstitusi pada tahun 1999 akhirnya mengubah Pasal 7 UUD 1945 tersebut menjadi ”Presiden dan wakil presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”. Namun, perubahan tersebut ternyata bukan pertama kali norma masa jabatan presiden/wapres diubah. Sidang Istimewa MPR 1998 sepakat untuk membatasi periodisasi masa jabatan presiden melalui Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
”Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan dinilai telah membuka celah (loophole) bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi presiden lebih dari 32 tahun,” kata Saldi.
Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia berunjuk rasa dengan melakukan long marc di Jalan Kyai Tapa, Jakarta, Jumat (1/4/2022). Mereka menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap rekayasa yang dilakukan oleh para elite politik yang memiliki rencana buruk. Aksi ini tidak akan berhenti di Jakarta, tetapi juga akan dilakukan di beberapa daerah lainnya. Aksi ini juga sebagai bentuk perlawanan terhadap mereka yang mengkhianati reformasi dan konstitusi.
MPR kemudian mengadopsi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tersebut menjadi salah satu materi perubahan UUD 1945 dalam perubahan pertama tahun 1999. Salah satu alasannya, pengaturan di bawah konstitusi dinilai tidak memadai untuk materi yang sangat mendasar, seperti pembatasan periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Selama pembahasan perubahan Pasal 7 UUD 1945 ditemukan beberapa original intent yang terkait langsung dengan pembatasan masa jabatan presiden/wakil presiden. Misalnya terkait dua kali masa jabatan itu apakah secara berturut-turut atau tidak.
”Berkenaan dengan hal tersebut, para pengubah UUD 1945 bersepakat, substansi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksudkan baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut (vide Naskah Komprehensif UUD 1945 Buku IV Jilid 1, hlm.477). Bahkan, apabila diletakkan dalam konteks demokrasi presidensial, batasan dua kali berturut-turut dimaksudkan merupakan batasan maksimal seseorang untuk dapat menjadi presiden atau wakil presiden,” kata Saldi.
Terkait syarat-syarat menjadi presiden dan wakil presiden, Pasal 6 UUD 1945 mengaturnya secara umum. Pengaturan lebih lanjut dilakukan dalam UU Pemilu. Salah satunya Pasal 169 Huruf n yang berbunyi: belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Sementara Pasal 227 Huruf i mengatur tentang perlunya surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua periode.
Kedua pasal tersebut merupakan norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. ”Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 Huruf n dan Pasal 227 Huruf i UU No 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud,” ujar Saldi.