Seluruh proses, termasuk pemanggilan saksi ataupun terduga pelaku pengubahan substansi putusan MK, harus terbuka dan dapat diakses oleh publik secara luas. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik pada MK.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akan mulai bekerja dengan menggelar rapat perdana pada Rabu (1/2/2023). Sejumlah kalangan mendesak agar seluruh proses yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan, termasuk pemanggilan saksi-saksi ataupun terduga pelaku pengubahan substansi putusan nomor 103/PUU-XVIII/2020, dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara luas.
Hal tersebut penting untuk menjaga kepercayaan publik pada Majelis Kehormatan dan juga Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu anggota Majelis Kehormatan MK, I Dewa Gede Palguna, yang juga mantan hakim konstitusi, mengonfirmasi akan digelarnya rapat perdana Majelis Kehormatan tersebut saat ditanya Kompas, Selasa (31/1/2023). Rapat tersebut akan membahas mengenai jadwal dan tahapan kerja Majelis Kehormatan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, M Ali Safa’at, mengaku prihatin terhadap dugaan pengubahan substansi putusan MK. Jika betul terjadi, hal itu menunjukkan bahwa ada masalah dalam sisi integritas dan mekanisme pengamanan putusan. Mulai terjadi penurunan integritas MK sehingga ada pihak yang memandang mengubah putusan mungkin dilakukan. Padahal, putusan merupakan mahkota pengadilan. Dari sisi mekanisme, Ali Safa’at menilai perlu adanya perbaikan dan pengamanan agar putusan tidak dapat diubah lagi setelah dibacakan.
”Langkah awal adalah memastikan proses penanganan kasus ini tuntas dan transparan. Majelis Kehormatan harus membuka kepada publik bagaimana perubahan itu terjadi. Pihak yang melakukan perubahan harus diberi sanksi tegas, diberhentikan. Dapat ditindaklanjuti dengan proses pidana,” ujar Ali Safa’at.
Seperti diketahui, menyusul terkuaknya dugaan pengubahan substansi putusan, Ketua MK Anwar Usman dalam jumpa pers Senin lalu mengumumkan Pembentukan Majelis Kehormatan MK. Keanggotaan Majelis Kehormatan terdiri dari mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada Soedjito. Majelis Kehormatan akan bekerja selama 30 hari untuk menangani kasus ini terhitung sejak 1 Februari.
Proses yang terbuka
Desakan agar Majelis Kehormatan bekerja secara terbuka dan transparan juga disampaikan oleh pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana.
Majelis Kehormatan diminta membuka seluruh proses pemeriksaan secara terbuka sehingga bisa diakses oleh seluruh pihak, termasuk masyarakat luas. Ini penting agar publik bisa mengontrol proses pengusutan pengubahan substansi putusan perkara terkait pencopotan Aswanto dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. Lagi pula, kasus tersebut bukan permasalahan asusila yang harus dilakukan dalam sidang-sidang yang tertutup.
”Terbuka itu tidak hanya saat membacakan putusan, tetapi dari proses pemeriksaan saksi, terduga, dan pengucapan putusan harus terbuka. Ini bagian dari informasi publik dari kegiatan pengawasan atas dugaan pelanggaran yang terjadi,” ujar Allan.
Proses yang transparan juga penting mengingat di dalam keanggotaan Majelis Kehormatan ada hakim konstitusi aktif, yakni Enny Nurbaningsih. Allan berharap Enny dapat bekerja secara independen terutama dalam memeriksa dan memutus kasus tersebut. Sebab, ada pertaruhan yang cukup besar, yaitu kepercayaan terhadap MK yang belakangan ini kian merosot akibat berbagai isu.
Majelis Kehormatan diharapkan nantinya tidak memberi semacam harapan palsu kepada masyarakat. Menurut Allan, masyarakat sipil sudah memiliki pengalaman yang cukup tidak mengenakkan dengan Dewan Etik MK—institusi pengawas hakim yang dibentuk oleh MK sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK berlaku—saat melayangkan berbagai pengaduan. Selain proses yang dilakukan Dewan Etik yang tertutup, sanksi yang dijatuhkan pun cenderung kurang memuaskan publik karena hanya berupa teguran lisan atau tertulis. Tidak ada sanksi tegas bagi pelanggar etik dengan alasan masih bisa diperbaiki.
”Padahal, jika sudah terbukti ada pelanggaran etik, itu artinya sudah cacat etik. Etik itu berkaitan dengan integritas. Untuk menjadi hakim MK, harus memiliki integritas. Apalagi kasus terakhir ini tidak remeh, karena berkaitan dengan penyelenggaraan ketatanegaraan terutama dalam proses seleksi hakim konstitusi,” katanya.
Untuk itu, Allan berharap Majelis Kehormatan tidak ragu untuk menjatuhkan sanksi tegas, termasuk pemberhentian tetap dengan tidak hormat terhadap pelaku pengubahan substansi putusan nomor 103/2020. ”Majelis kehormatan harus mengungkap auktor intelektual di balik pengubahan putusan itu. Sebab, kalau pegawai MK sendiri, mana mungkin berani melakukannya,” katanya.
Motif
Menurut pengajar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, untuk mengungkap siapa pelaku dan dalang pengubahan substansi putusan nomor 103/2020, tidaklah sulit jika secara internal MK serius untuk mengungkapnya. Majelis Kehormatan tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan pihak-pihak yang perlu dimintai pertanggungjawabkan.
”Melacak siapa yang paling berkepentingan dengan perubahan, kan, sudah jelas. Kalau melacak motifnya, sudah dapat, yaitu dengan mencari siapa yang paling berkepentingan dengan putusan itu dan siapa yang diuntungkan. Saya pikir tidak sulit mencari siapa yang mesti bertanggung jawab. Sudah jelas,” tuturnya.
Lebih lanjut Herdiansyah mengatakan, urut-urutan dari putusan dibuat hingga putusan diunggah di laman resmi MK sudah jelas. ”Urut-urutannya, RPH (rapat permusyawaratan hakim), sudah selesai, clear putusannya, sebelum dibacakan. Kalau kemudian ada salinan putusan yang berubah, risalah sidang yang juga berubah, kan, tidak terlalu sulit melacaknya. (Tinggal mencari) siapa yang punya kewenangan atau bertanggung jawab dengan salinan putusan dan siapa yang bertugas untuk meng-upload,” katanya.
Ia juga sepakat bila kasus ini dibawa ke ranah pidana. Sebab, pengubahan salinan putusan merupakan pelanggaran serius berupa pemalsuan dokumen negara. Ia berharap proses pidana dan etik perlu berjalan bersama-sama. Setidaknya proses pidana yang dilakukan aparat kepolisian dapat memberikan pressure kepada Majelis Kehormatan untuk bekerja lebih cepat dan serius.
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku pemohon uji materi yang salinan putusannya diubah, menurut rencana, akan melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya pada Rabu (1/2/2023).