Selain Etik, Usut Dugaan Pidana di Kasus Perubahan Putusan MK
MK membentuk Majelis Kehormatan untuk mengusut dugaan perubahan dalam putusan MK. Namun, tak hanya etik, sejumlah pihak mendesak agar dugaan pidana di kasus itu juga diusut.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, KURNIA YUNITA RAHAYU
·2 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman diapit Hakim Konstitusi sekaligus juru bicara MK Enny Nurbaningsih (kiri) dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam konferensi pers di aula MK, Jakarta, Senin (30/1/2023)
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi pada Senin (30/1/2023) mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan guna mengusut dugaan perubahan substansi putusan terkait pencopotan hakim konstitusi Aswanto. Namun, sejumlah pihak menilai penyelesaian secara etik oleh Majelis Kehormatan dinilai tidak cukup. Perubahan substansi putusan bisa memenuhi unsur pidana sehingga harus dilaporkan dan diusut oleh aparat penegak hukum.
”Sudah semestinya dilakukan penegakan hukum untuk memastikan tindak pidana pemalsuan atau yang terkait bisa menguatkan proses penegakan etik,” kata pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, saat dinyatakan komentarnya terkait dugaan perubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan langkah MK membentuk Majelis Kehormatan untuk mengusut dugaan perubahan itu.
Putusan perkara nomor 103/2022 yang substansinya diduga diubah terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Ada perubahan frasa ”Dengan demikian” menjadi ”Ke depan” dalam pertimbangan putusan di halaman 51. Perubahan frasa itu dinilai membawa dampak signifikan karena maknanya sangat berbeda (Kompas, 27/1/2023).
Perkara itu terkait dengan penggantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR di tengah masa jabatannya. Putusan dibacakan beberapa jam setelah pengganti Aswanto yang dipilih DPR, Guntur Hamzah, yang semula merupakan Sekretaris Jenderal MK, mengucapkan sumpah dan janji sebagai hakim konstitusi, 23 November 2022.
Guntur Hamzah saat disetujui diangkat menjadi Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023, di Ruang Sidang Paripurna DPR, Jakarta, Kamis (29/8/2022).
Herlambang melihat, penegakan hukum kasus ini tidak rumit karena kronologi peristiwa sudah jelas. Hanya diperlukan pelacakan aktor-aktor yang terlibat mengubah salinan putusan setelah dibacakan majelis hakim. Jika ditemukan keterlibatan hakim konstitusi dalam peristiwa tersebut, dia harus mundur. Hal itu penting karena merupakan pelanggaran berat yang bisa mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga.
Untuk pemulihan kepercayaan publik, lanjutnya, para hakim konstitusi semestinya menunjukkan dukungan terhadap penyelesaian kasus melalui mekanisme hukum yang ada.
Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang menemukan dugaan perubahan substansi putusan dalam putusan perkara nomor 103/2022 menyatakan akan melaporkan temuannya ke Polda Metro Jaya pada Rabu (1/2). Menurut Zico, upaya hukum pidana diperlukan guna mendorong MK segera memproses masalah ini.
”Seperti perkara Ferdy Sambo, harus ada putusan etik dulu sebelum pidana. Karena itu, Majelis Kehormatan harus bekerja cepat mengusut sebelum ada penetapan tersangka di kepolisian,” ujarnya.
Pembentukan Majelis Kehormatan diumumkan dalam jumpa pers oleh Ketua MK Anwar Usman di MK, Jakarta, Senin sore. Usman mengatakan, pembentukan Majelis Kehormatan disepakati sembilan hakim MK dalam Rapat Permusyawaratan Hakim sebelum jumpa pers. Kini, pembentukan Majelis Kehormatan tinggal menunggu penandatanganan peraturan MK.
”Mulai Rabu (1/2), Majelis Kehormatan akan bekerja. Harapannya, dalam 30 hari, Majelis Kehormatan menyelesaikan tugas atau amanat yang diberikan kepada mereka,” ucapnya.
Hakim konstitusi yang juga juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, mengatakan, penyelesaian dugaan pengubahan substansi putusan tidak bisa dilakukan sendiri oleh para hakim. Oleh karena itu, mereka sepakat membentuk Majelis Kehormatan untuk mengusut dugaan tersebut.
”Supaya lebih adil, kami serahkan kepada Majelis Kehormatan untuk menyelesaikan persoalan ini. Jadi, pada prinsipnya, kami akan segera ada SK penunjukan hal itu untuk segera bekerja secepat mungkin supaya sesuatunya menjadi terang benderang,” ujar Enny.
SUSANA RITA KUMALASANTI
Tangkapan layar sidang pembacaan putusan 103/PUU-XX/2022 saat Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan putusan pada 23 November 2022
Ada tiga orang yang masuk dalam keanggotaan Majelis Kehormatan. Selain Enny, ada Guru Besar Ilmu Hukum UGM Sudjito, yang sebelumnya merupakan satu-satunya anggota Dewan Etik MK yang masih aktif, serta mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pembentukan Majelis Kehormatan sesungguhnya merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Perangkat yang diamanatkan untuk dibentuk oleh MK itu bertugas untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Namun, sejak 2020, MK tak kunjung membentuknya.
Terkait hal ini, Enny beralasan pembahasan pembentukan Majelis Kehormatan sudah dimulai sejak Desember 2022. Namun, karena perkara yang harus ditangani oleh MK menumpuk, maka MK memilih untuk memprioritaskan penanganan perkara agar tidak memperlambat penyelesaian.