Tak Ada Pengawas, MK Dituntut Segera Bentuk Majelis Kehormatan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 mengamanatkan MK untuk membentuk Majelis Kehormatan sebagai pengawas internal. Namun hingga kini, Majelis Kehormatan MK belum juga terbentuk.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan pengubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022 terkait pencopotan hakim konstitusi Aswanto dinilai menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap internal Mahkamah Konstitusi atau MK. Oleh karena itu, Ketua MK dituntut untuk segera membuat aturan pembentukan Majelis Kehormatan yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Untuk kepentingan itu, sejumlah advokat telah merencanakan untuk mengajukan upaya hukum berupa Keberatan Administratif kepada Ketua MK. Upaya hukum berupa keberatan administratif tersebut di antaranya akan diajukan oleh dirinya bersama advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Eliadi Hulu yang menurut rencana akan dilakukan pada Selasa (31/1/2023).
Viktor menuturkan, upaya hukum tersebut mendesak dilakukan setelah muncul dugaan pengubahan substansi putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 terkait pencopotan hakim konstitusi Aswanto. Di situ tampak adanya perbedaan substansi antara yang dibacakan di dalam sidang dengan yang tertulis di dalam risalah dan salinan putusan, yakni Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.
Sebelumnya, advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menemukan putusan perkara 103/2022 berubah, antara yang dibacakan di ruang persidangan dan disiarkan di akun Youtube MKRI dengan yang tertera dalam salinan putusan dan risalah persidangan. Ada perubahan frasa ”Dengan demikian” menjadi ”Ke depan” dalam pertimbangan putusan di halaman 51 putusan MK. Perubahan frasa tersebut dinilai membawa dampak signifikan karena maknanya yang sangat berbeda.
”Masalahnya, kalau ini mau dilaporkan, mau dilaporkan ke mana? Dewan Etik sudah tidak ada dan Majelis Kehormatan MK belum terbentuk. Maka kami meminta hal ini ditindaklanjuti,” kata Viktor saat dihubungi, Minggu (29/1/2023).
Viktor menuturkan, pada 2021, pihaknya pernah beraudiensi dengan MK untuk menanyakan tentang pengisian Dewan Etik MK. Sebab, melalui Dewan Etik, keluhan atau aduan masyarakat terhadap adanya dugaan pelanggaran etik dapat disalurkan. Saat itu, Viktor mendapatkan penjelasan bahwa Majelis Kehormatan MK akan dibentuk secara permanen untuk menggantikan Dewan Etik.
Sebagaimana diketahui, saat ini, Dewan Etik tinggal memiliki satu anggota, yaitu Sudjito, Guru Besar Ilmu Hukum UGM, yang masa jabatannya akan berakhir pada 2023. Anggota lainnya, Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii meninggal pada Mei 2022 dan belum ada penggantinya, serta mantan hakim konstitusi Achmad Sodiki berakhir tugasnya pada 2021.
Masalahnya, kalau ini mau mau dilaporkan, mau dilaporkan ke mana? Dewan Etik sudah tidak ada dan Majelis Kehormatan MK belum terbentuk. Maka kami meminta hal ini ditindaklanjuti.
Namun, sudah dua tahun Majelis Kehormatan MK tidak kunjung dibentuk. Sementara, Peraturan MK yang mengatur Majelis Kehormatan MK belum juga diterbitkan oleh Ketua MK. Setelah dugaan pengubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022 mencuat, pembentukan Majelis Kehormatan MK dirasa semakin mendesak.
Menurut Viktor, pertama-tama mereka akan mengajukan upaya hukum administratif berupa Keberatan Administratif kepada Ketua MK. Hal itu, menurut rencana, akan dilakukan pada Selasa (31/1/2023). Apabila keberatan administratif itu tidak direspons atau ditanggapi Ketua MK dalam waktu 10 hari, pihaknya akan mengajukan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
”Tujuan kami adalah menjaga marwah Mahkamah Konstitusi, karena tidak ada pengawas internal maupun eksternal MK saat ini. Hakim bisa bebas bertindak tanpa khawatir terkena sanksi hukum,” ujar Viktor.
Terkait dengan pengubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 103/PUU-XX/2022, menurut rencana, lanjut Viktor, akan diajukan permohonan ulang terhadap pasal yang sama. Sebab, hanya dengan mekanisme itu, MK dapat melakukan koreksi atas putusan yang terdahulu.
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berpandangan, pengubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022 merupakan pelanggaran yang serius. Untuk itu, sudah seharusnya MK menelusuri dan mendalami dugaan pelanggaran tersebut.
Di sisi lain, anggota Dewan Etik yang kini hanya tersisa seorang dinilai juga merupakan hambatan untuk mendalami persoalan tersebut. Meski, lanjut Feri, dia menilai keberadaan Dewan Etik tersebut juga bukan berarti tanpa masalah mengingat kedudukannya sebagai bagian dari internal MK.
”Akhirnya, mau tidak mau kita berharap kepada penerapan peradilan etik di Majelis Kehormatan MK. Dan kalau memang ditemukan buktinya, segera saja publik melaporkan ke Majelis Kegormatan MK untuk kemudian disidangkan sesegera mungkin,” kata Feri.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil, melalui keterangan tertulis menilai, pengubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022 terkait pencopotan hakim konstitusi Aswanto sangat membahayakan masa depan dan integritas MK. Sebab, hal itu berpotensi menjadikan MK sebagai alat bagi segelintir kelompok dalam memenuhi ambisi politiknya.
”Saya menduga ada kesengajaan terhadap perubahan redaksi dalam salinan putusan itu. Tidak seperti biasanya, MK selalu cermat dan prudent dalam menyalin putusan hukumnya,” kata Nasir.
Untuk menelusuri dugaan kesengajaan tersebut, menurut Nasir, MK perlu membentuk Dewan Etik. Melalui pembentukan Dewan Etik, pertanyana publik tentang dugaan tersebut dapat dijawab. Selain itu, pembentukan Dewan Etik tersebut diharapkan dapat menjaga kewibawaan MK dan hakimnya yang berpredikat negarawan.