Tangkal Bahaya Politik Identitas dengan Penguatan Dialog Lintas Iman
Politik identitas dinilai akan mengancam sendi-sendi kemajemukan Indonesia dan merobek tenun kebangsaan. Untuk itu, praktik politik identitas perlu diantisipasi.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·2 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari (kanan) disalami Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom saat hadir untuk audiensi antara KPU dan PGI di Kantor PGI Pusat, Salemba, Jakarta, Senin (16/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Dialog lintas iman dinilai perlu diperkuat demi menangkal bahaya praktik politik identitas yang bisa semakin menguat menjelang Pemilihan Umum 2024. Sebab, apabila tidak diantisipasi, praktik politik identitas dikhawatirkan akan mengancam kemajemukan bangsa.
”Oleh karena itu, kerja lintas iman di tengah masyarakat majemuk Indonesia harus semakin ditingkatkan. Dialog antar-agama dan kepercayaan harus dilihat sebagai kebutuhan nyata dan bukan sekadar kenikmatan intelektual,” kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Sabtu (28/1/2023).
Gomar menyampaikan imbauan itu dalam forum Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI 2023 di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu. Menurut Gomar, dialog lintas agama dan kepercayaan, bahkan harus dibebaskan dari jebakan basa-basi sosial-politik. Ia juga mengimbau agar kegiatan tersebut tidak hanya berupa sikap reaksioner ketika menghadapi gejolak sosial politik.
Imbauan itu diutarakan Gomar lantaran ia melihat upaya banyak pihak menjadikan agama sebagai komoditas politik dan ekonomi demi mendulang dukungan. Ia menyadari bahwa agama sudah lama dijadikan komoditas dalam kontestasi politik. Agama juga sangat diminati para elite politik untuk mendulang dukungan untuk kepentingannya.
Hanya saja, Gomar mengingatkan, penggunaan agama ataupun bentuk politik identitas lainnya itu akan mengancam kemajemukan bangsa. ”Tahun politik 2023-2024 diprediksi akan menjadi tahun yang cukup berat kita hadapi. Salah satu hal yang mengemuka saat ini adalah menguatnya politik identitas yang mengancam sendi-sendi kemajemukan kita dan akan merobek tenun kebangsaan kita,” ujar Gomar.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural foto-foto presiden RI tergambar di kawasan Cibuluh, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/8/2022).
Untuk menyikapi dinamika menjelang Pemilu 2024, Gomar juga mengatakan, masyarakat membutuhkan landasan etik dan moral. Peran lembaga keagamaan, termasuk gereja, dibutuhkan untuk menanamkan moralitas politik kepada warga.
Dengan demikian, masyarakat tidak memilih wakilnya di parlemen atau pemerintahan dengan hanya pertimbangan primordial atau sektarian. ”Masyarakat diharapkan memilih karena nurani yang digerakkan oleh rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat banyak,” ucapnya.
Sebelumnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga mengingatkan bahaya penggunaan politik identitas pada Pemilu 2024. Politik identitas dinilai sebagai ancaman serius terhadap keutuhan dan harmoni di antara masyarakat.
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Izzul Muslimin menuturkan, secara natural, politik identitas ada di bangsa Indonesia karena masyarakatnya yang plural dan beragam dari sisi suku, agama, dan ras. Namun, pemanfaatan identitas demi kepentingan pribadi dan golongan bisa mencederai pemilu, bahkan merusak toleransi yang ada di masyarakat tersebut.
NINO CITRA ANUGRAHANTO UNTUK KOMPAS.
Acara pertemuan antara pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta, Jumat (23/3).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya mengatakan, NU mengajak masyarakat agar berpikir rasional dalam menentukan pilihan politik dan tidak terpancing dengan artikulasi-artikulasi yang menjadikan identitas sebagai senjata politik. NU secara kelembagaan juga berkomitmen mencegah penggunaan politik identitas sebagai senjata dalam kontestasi 2024.
”Butuh kerja sama kita semua, seluruh organisasi masyarakat, terutama dengan partai politik dan aktor yang terlibat dalam kompetisi, untuk membangun satu dinamika politik dengan menjauhi artikulasi-artikulasi politik identitas,” ujar Gus Yahya (Kompas.id, 25/1/2023).