Secara normatif partai pasti bicara antikorupsi, lepas dari bagaimana realitasnya. Politisi muda pun mengakui, sistem politik saat ini membutuhkan biaya tinggi. Hal itu membuat politisi tersandera penyandang modal.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·1 menit baca
KOMPAS/EDNA CAROLINE PATTISINA
Ray Rangkuti memandu diskusi yang dihadiri Zebi Magnolia dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Setyawati Molyna dari DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Bona Simanjuntak dari Partai Kebangkitan Nusantara (PSN), Abe Tandetasik dari PDI Perjuangan, dan Pitria Nopa Asriani dari Partai Demokrat, di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun semangat antikorupsi dan pentingnya transparansi menjadi isu yang diidam-idamkan publik, realitasnya politisi terbebani oleh politik berbiaya tinggi. Para politisi muda yang akan menjadi calon legislatif pun mengakui, sistem politik saat ini yang membutuhkan biaya tinggi membuat semua politisi tersandera penyandang modal. Walaupun mungkin ada hati kecil yang menolak, situasi membuat seorang politisi punya utang kepada pemodalnya.
Politisi muda mengaku rawan tersandera cukong karena biaya politik sangat besar.
Tingginya biaya politik, bahkan dapat menjerat politisi idealis sekali pun.
Pada pemilihan caleg atau pun kepala desa, alih-alih yang dimenangkan oleh gagasan, tetapi uang.
Hal ini mengemuka dalam Talkshow Politik Gagasan, Teladan dari Guru Bangsa, Sabtu (28/1/2023), di Jakarta, yang diadakan Sumbu Kebangsaan bekerja sama dengan Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. ”Karena dalam politik ada janji-janji, kita tersandera bohir dan cukong karena biaya politik sangat besar dalam pencalegan (pencalonan anggota legislatif),” kata Setyawati Molyna, politisi muda dari DPP Partai Amanat Nasional (PAN) yang menjadi salah satu pembicara.
Bincang-bincang itu turut dihadiri Zebi Magnolia dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Bona Simanjuntak dari Partai Kebangkitan Nusantara (PSN), Abe Tandetasik dari PDI Perjuangan, dan Pitria Nopa Asriani dari Partai Demokrat.
Setyawati mengatakan, tokoh-tokoh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Syafii Maarif sangat peduli pada upaya antikorupsi. Ia merujuk ucapan Nurcholish yang mengatakan, ”Islam yes, partai Islam no.” Sebab, ketika ada politisi Islam tersangkut korupsi, bisa agama Islam yang terkena nodanya. Padahal, yang salah adalah oknum pribadi, bukan agama.
Perilaku korupsi oleh elite yang masih merajalela di Tanah Air menjadi keprihatinan masyarakat yang diwujudkan melalui mural, seperti terlihat di kawasan Keranggan, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (18/12/2021). Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International menyebutkan, posisi Indonesia cenderung mengalami penurunan. IPK Indonesia tahun 2020 berada di skor 37, turun tiga poin dibandingkan dengn tahun 2019. Dengan skor 37, Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.
Selain faktor pribadi, Setyawati menilai, para politisi terjebak dalam sistem. Bahkan, politisi yang idealis pun, ketika dia naik ke tingkat yang lebih tinggi, terjebak pada kebutuhan modal dalam politik. Akibatnya, ia butuh dukungan pemodal. Ketika terpilih, walau mungkin secara pribadi tidak ingin menjalankan sebuah program pesanan, tetapi ia sudah punya janji politik kepada sang pemodal.
Zebi mengatakan, memang tugas masyarakat memantau penggunaan uang pejabat. ”Anak-anak muda sekarang kurang trust dengan politik,” kata Zebi.
Sistem tertutup
Abe juga menggarisbawahi poltik biaya tinggi. Ia mengatakan, PDI-P mengajukan sistem proporsional tertutup untuk mencegah politik perorangan yang sangat liberal. Sistem politik perorangan membuat yang dimenangkan bukan gagasan, melainkan uang. Ia mengutip pernyataan Syafii Maarif yang mengatakan, banyak orang pura-pura dermawan, tetapi sebenarnya pencuri. ”Jangankan caleg, untuk kepala desa saja butuh (dana) miliar (rupiah),” kata Abe.
Boa mengatakan, perlu juga didefinisikan lagi soal korupsi. Pasalnya, ada pejabat yang dianggap korupsi, padahal masalah administrasi. Menurut dia, secara normatif partai pasti ngomong antikorupsi, lepas dari bagaimana realitasnya. Sementara itu, Pitri menyoroti, selain masalah personal, perlu ada hukum yang kuat.