Substansi Putusan Diduga Diubah, MK Didesak Segera Bentuk Dewan Etik
Sejumlah pakar hukum tata negara mendesak MK segera membentuk Dewan Etik untuk menyikapi dugaan pengubahan substansi putusan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi didesak untuk serius menyikapi dugaan pengubahan substansi putusan nomor 103/PUU-XX/2022 terkait pencopotan hakim konstitusi Aswanto. MK diminta segera menghidupkan kembali Dewan Etik yang saat ini mati suri.
Langkah MK dalam menindaklanjuti kasus dugaan pengubahan substansi putusan itu dinilai amat menentukan bagaimana publik akan memandang lembaga penafsir tunggal konstitusi tersebut. “Taruhannya adalah kepercayaan (publik kepada) MK,” kata pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, saat dihubungi Jumat (27/1/2023).
Sebelumnya, advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menemukan putusan perkara 103/2022 berubah, antara yang dibacakan di ruang persidangan dan disiarkan di akun youtube MKRI dengan yang tertera dalam salinan putusan dan risalah persidangan. Ada perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan putusan di halaman 51 putusan MK. Perubahan frasa tersebut dinilai membawa dampak signifikan karena maknanya yang sangat berbeda.
Adapun bunyi pertimbangan putusan yang dibacakan adalah “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…” Namun, dalam salinan putusan dan risalah persidangan, kata "dengan demikian" sudah berubah menjadi "ke depan".
Perkara tersebut terkait dengan penggantian Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat di tengah masa jabatannya. Putusan itu dibacakan beberapa jam setelah pengganti Aswanto yang dipilih DPR, Guntur Hamzah yang semula merupakan Sekretaris Jenderal MK, mengucapkan sumpah dan janji sebagai hakim konstitusi di Istana Kepresidenan, disaksikan Presiden Joko Widodo pada 23 November 2022.
Persoalan penggantian Aswanto menjadi Guntur Hamzah hingga kini belum tuntas. Keputusan Presiden terkait pengangkatan Guntur Hamzah saat ini tengah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta oleh Priyanto Hadisaputro. Pada Kamis (26/1), PTUN Jakarta menetapkan Guntur Hamzah sebagai tergugat II intervensi.
Selain Priyanto, tiga advokat Viktor Santoso Tandiasa, Zico, dan Eliadi Hulu akan mendaftarkan gugatan yang sama ke PTUN. Mereka akan membawa kasus pengubahan substansi putusan MK nomor 103/2022 tersebut sebagai salah satu bukti dalam persidangan di PTUN.
Menurut Bivitri, dugaan pengubahan substansi putusan MK 103/2022 tak boleh secara naif dipandang secara legal formal dan prosedural. Namun, peristiwa itu harus dilihat dalam situasi darurat kepercayaan terhadap MK sehingga aspek-aspek politisnya harus dipertimbangkan.
Oleh karena itu, dia menilai Ketua MK Anwar Usman perlu mengambil langkah cepat dengan mengisi atau membentuk Dewan Etik untuk kemudian dilanjutkan dengan Pembentukan Majelis Kehormatan MK jika dipandang perlu tindak lanjut serius. “Karena ini etik. Jadi dimulainya adalah bukan dengan asumsi kesalahan teknis, tapi dimulai dengan adanya asumsi bahwa memang ada permainan di balik ini. Kalau ketemu sebaliknya, ya Alhamdulilah. Puji Tuhan,” ujar Bivitri.
Sebelumnya, MK memiliki Dewan Etik sebagai forum bagi masyarakat yang memiliki keluhan atau aduan terhadap adanya dugaan pelanggaran etik oleh hakim konstitusi. Sejumlah pihak pernah melaporkan beberapa hakim konstitusi atas dugaan pelanggaran etik yang kemudian ditindaklanjuti Dewan Etik dengan permintaan keterangan dan penjatuhan sanksi.
Saat ini, Dewan Etik tinggal memiliki satu anggota, yaitu Sudjito, guru besar ilmu hukum, yang akan berakhir masa jabatannya pada 2023. Anggota lainnya, almarhum Buya Syafii Ma’arif belum ada penggantinya dan mantan hakim konstitusi Achmad Sodiki berakhir tugasnya pada 2021.
Saat dihubungi Jumat terkait tindak lanjut atas dugaan perubahan substansi putusan, juru bicara MK yang juga Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menuturkan, tidak bisa langsung merespons. "Karena harus disampaikan ke RPH (rapat permusyawaratan hakim). Kebetulan kemarin sore (Kamis) saya dan beberapa hakim sudah ada agenda di luar kantor. Baru bisa ketemu Senin," tuturnya.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, mengaku tidak terkejut mendengar dugaan pengubahan substansi putusan MK terkait pencopotan Aswanto dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. Dugaan itu, kata dia, semakin membuktikan integritas MK sudah rapuh.
“Saya kira itu makin menebalkan ketidakpercayaan publik terhadap MK dan itu justru mengonfirmasi problem integritas yang selama ini dipertanyakan oleh publik ketika ada proses-proses yang menciderai konstitusi,” katanya.
Ia sepakat dugaan pengubahan substansi putusan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. MK harus menggunakan mekanisme Dewan Etik untuk mengusut persoalan tersebut secara tuntas. Hanya saja, ia memberikan catatan terkait pemilihan anggota Dewan Etik yang harus dilaksanakan secara hati-hati sehingga nantinya dihasilkan Dewan Etik yang betul-betul independen dengan integritas yang tak diragukan.
Penanganan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Dewan Etik di masa lalu harus menjadi pelajaran sehingga proses etik dapat berjalan secara efektif. Mengenai anggota Dewan Etik, ia mengusulkan tak harus ahli hukum tata negara atau bahkan tak harus ahli hukum.
"Yang pasti, orang tersebut adalah orang yang berjarak dengan kekuasaan serta tidak mau tunduk pada intervensi dan punya integritas. “Ini penting. Selain itu, saya ingatkan mengenai komposisi gender. Harus ada perempuan.” kata Herlambang.