Richard menyerahkan putusan atas perkara yang melibatkannya pada kebijaksanaan majelis hakim. Ia menyatakan, kejujuran adalah segalanya dan keadilan nyata bagi yang mencarinya.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, REBIYYAH SALASAH
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Richard Eliezer Pudihang Lumiu, terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, saat menyampaikan nota pembelaannya berjudul ”Apakah Harga Kejujuran Harus Dibayar 12 Tahun Penjara?”, menyatakan, tak menyangka kejujurannya tidak dihargai. Sementara itu, Putri Candrawathi saat menyampaikan pembelaannya, kembali menyatakan bahwa ia adalah korban kekerasan seksual yang dilakukan Nofriansyah.
Kedua terdakwa pembunuhan berencana Nofriansyah itu menyampaikan nota pembelaan dalam persidangan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (25/1/2023). Adapun tiga terdakwa lainnya dalam pembunuhan berencana itu telah menyampaikan nota pembelaan pada Selasa (24/1/2023), yakni Ferdy Sambo, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.
Pada persidangan sebelumnya, jaksa menuntut agar Richard dihukum 12 tahun penjara meski ia menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap perkara sesungguhnya. Sementara itu, Sambo dituntut penjara seumur hidup. Terhadap Putri, Ricky, dan Kuat, jaksa menuntut masing-masing 8 tahun penjara.
Selain tak menduga kejujurannya tak dihargai, Richard mengaku ia dimusuhi akibat kejujurannya itu. Hal itu membuat perasaan dan mentalnya menjadi goyah. ”Apakah saya harus bersikap pasrah terhadap arti keadilan atas kejujuran? Saya akan tetap berkeyakinan bahwa kepatuhan, kejujuran adalah segala-galanya dan keadilan nyata bagi mereka yang mencarinya,” kata Richard.
Sebagai anggota Brigade Mobil, Richard mengatakan, ia dididik untuk taat dan patuh serta tidak mempertanyakan perintah atasan. Sebelumnya jaksa menyebutkan bahwa Richard terbukti turut bekerja sama dengan empat terdakwa lain menghilangkan nyawa Nofriansyah dengan berperan sebagai eksekutor. Seperti halnya Nofriansyah, Richard dan Ricky merupakan ajudan Ferdy Sambo saat menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
”Apabila ada yang menganggap ketaatan dan kepatuhan saya membabi buta, maka hari ini, saya menyerahkan kepada kebijaksanaan majelis hakim,” tutur Richard di hadapan majelis hakim yang diketuai Wahyu Imam Santosa.
Apabila ada yang menganggap ketaatan dan kepatuhan saya membabi buta, maka hari ini, saya menyerahkan kepada kebijaksanaan majelis hakim. (Richard Eliezer)
Kekerasan seksual
Sementara itu, Putri saat menyampaikan pembelaan kembali menyatakan bahwa ia adalah korban kekerasan seksual yang dilakukan Nofriansyah. Ia juga menolak dinyatakan terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah.
Putri juga menyatakan segala tuduhan yang telah dilayangkan kepadanya tidak pernah dia lakukan. Dalam sidang dengan agenda tuntutan beberapa waktu lalu, jaksa menyimpulkan tidak ada pelecehan seksual oleh Nofriansyah terhadap Putri. Sebaliknya yang terjadi adalah perselingkuhan Putri dan Nofriansyah. Jaksa juga menilai Putri secara licik mengikuti skenario sang suami, yakni Ferdy Sambo, untuk merampas nyawa Nofriansyah (Kompas.id, 16/1/2023).
Pembelaan Putri itu pun diperkuat nota pembelaan yang disampaikan penasihat hukumnya, Handayani. Dalam nota pembelaan untuk kliennya, Handayani menyampaikan, unsur kesengajaan dan unsur dengan rencana lebih dahulu yang terkandung dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana yang didakwakan kepada Putri Candrawathi tidak terpenuhi.
Untuk membuktikan tidak terpenuhinya unsur dengan sengaja, misalnya, penasihat hukum membacakan analisis yuridis atas fakta persidangan dengan mengungkapkan bantahan mereka atas pernyataan penuntut umum soal kekerasan seksual. Menurut penasihat hukum, kekerasan seksual benar terjadi dan didukung setidaknya lima alat bukti. ”Pada pokoknya, bukti-bukti tersebut menunjukkan peristiwa kekerasan seksual terhadap Putri adalah sesuatu yang benar terjadi,” kata Handayani.