Politik identitas merupakan ancaman serius terhadap keutuhan dan harmoni di antara masyarakat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah meminta kontestan pemilu dan pilkada serentak nasional 2024 tidak menggunakan politik identitas sebagai senjata merebut kemenangan. Kontestasi harus melahirkan pemilih yang cerdas dan rasional agar mampu menghasilkan pemimpin yang membawa kemajuan bangsa. Organisasi kemasyarakatan juga diminta untuk memberikan pendidikan politik agar bisa mencegah potensi politik identitas kembali terulang.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya mengatakan, politik identitas sering kali membayangi dinamika politik di berbagai tingkatan. Situasi yang pernah terjadi di beberapa pemilu dan pilkada sebelumnya kemungkinan bisa kembali muncul di 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Oleh karena itu, NU sebagai salah satu organisasi masyarakat menjadikan politik identitas sebagai perhatian utama di Pemilu 2024. Sebab, imbas dari politik identitas merupakan sesuatu yang tidak mudah diatasi. Terlebih, tradisi politik masyarakat Indonesia pada awalnya juga dibangun atas dasar politik identitas sehingga hal ini dianggap menjadi warisan yang sulit dihapus.
Pada masa Orde Baru, lanjut Gus Yahya, kecenderungan politik identitas coba dinetralkan oleh pemerintah. Namun, cara yang digunakan cenderung represif sehingga tidak bisa sepenuhnya dihilangkan. Setelah era Orde Baru berakhir, politik identitas yang sebelumnya tersumbat akhirnya muncul kembali.
”Kami dalam kepemimpinan NU menyadari bahwa di lingkungan NU sendiri kecenderungan politik identitas masih cukup kuat, terutama karena ada syahwat politik. Sampai Pemilu 2019, kami melihat ada mobilisasi dukungan dengan menjadikan identitas NU sebagai senjata,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Partisipasi Organisasi Kemasyarakatan dalam Pendidikan Pemilih Cerdas untuk Mewujudkan Pemilu Berkualitas Tahun 2024”, Rabu (25/1/2023).
Webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri itu turut menghadirkan pembicara anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin; Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Izzul Muslimin; dan Tenaga Profesional Bidang Strategi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Heru Winarko.
Menurut Gus Yahya, politik identitas merupakan ancaman serius terhadap keutuhan dan harmoni di antara masyarakat.
Maka, NU secara kelembagaan berkomitmen untuk mencegah penggunaan politik identitas NU sebagai senjata dalam kontestasi 2024. NU pun mengajak masyarakat agar berpikir rasional dalam menentukan pilihan politik dan tidak terpancing dengan artikulasi-artikulasi yang menjadikan identitas sebagai senjata politik.
Di sisi lain, Gus Yahya mengajak seluruh ormas untuk ikut berperan mencegah munculnya politik identitas pada Pemilu 2024. Pimpinan dan anggota ormas mesti ikut memberikan pendidikan politik kepada pemilih agar bersikap rasional dalam menentukan pilihannya. Dengan demikian, pemilih tidak terjebak pada perilaku irasional yang berorientasi pada sentimen-sentimen identitas.
Munculnya koalisi pencapresan, lanjutnya, memberikan peluang untuk mencegah timbulnya politik identitas. Sebab, keberagaman parpol pendukung akan menghambat konsolidasi identitas karena pengelompokan yang cair.
Namun, kondisi itu belum menjadi jaminan tidak adanya politik identitas di Pemilu dan Pilkada 2024.
”Butuh kerja sama kita semua, seluruh organisasi masyarakat, terutama dengan partai politik dan aktor yang terlibat dalam kompetisi, untuk membangun satu dinamika politik dengan menjauhi artikulasi-artikulasi politik identitas,” ujar Gus Yahya.
Izzul menuturkan, secara natural, politik identitas ada di bangsa Indonesia karena masyarakatnya yang plural dan beragam dari sisi suku, agama, dan ras. Namun, pemanfaatan identitas demi kepentingan pribadi dan golongan bisa mencederai pemilu, bahkan merusak toleransi yang ada di masyarakat tersebut. Oleh karena itu, segala bentuk pemanfaatan identitas untuk pemenangan harus disingkirkan agar keutuhan masyarakat tidak goyah.
”Politik identitas akan menguat ketika ada yang menjadikan pemilu sebagai sarana mewujudkan kepentingan pribadi maupun kelompok,” ucapnya.
Izzul melanjutkan, Muhammadiyah berharap politik identitas tidak digunakan oleh kandidat pada Pemilu 2024. Hal ini untuk memastikan agar pemilu menghasilkan eksekutif dan legislatif yang aspiratif terhadap seluruh kepentingan rakyat tanpa membedakan identitas. ”Penyakit-penyakit yang dapat merusak pemilu harus disingkirkan pada 2024,” katanya.
Menurut Heru, Pemilu dan Pilkada 2024 harus menjadi ajang konsolidasi demokrasi agar demokratisasi di Indonesia semakin matang. Seluruh peserta pemilu tetap menjaga persatuan dan kesatuan dalam merebut hati pemilih. Siapa pun pemenangnya, seluruh peserta pemilu harus bisa menerima hasil yang ditetapkan oleh KPU dan bisa bahu-membahu membangun negeri.
Afifuddin mengatakan, pemilu merupakan sarana integrasi bangsa. Oleh karena itu, jangan sampai pemilu menjadi sarana untuk memecah belah bangsa. Sekalipun ada kontestasi dalam perebutan kekuasaan, persaingannya harus sehat. ”Pemilu harus jadi sarana yang menyatukan dan mengintegrasikan seluruh kekuatan meskipun ranahnya saling berebut kekuasaan,” ujarnya.
KPU berharap, organisasi masyarakat bisa menjalankan fungsi pendidikan pemilih kepada anggotanya. Jumlah ormas dan anggotanya yang sangat besar akan memberikan kontribusi terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.
Menurut Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, jumlah ormas yang mencapai 514.252 ormas merupakan kekuatan yang sangat besar dalam menyukseskan pemilu. Ormas tersebut bisa mendorong mobilisasi anggotanya untuk meningkatkan partisipasi pemilih yang ditargetkan mencapai 79,5 persen di Pemilu 2024. Namun, pemilih yang dihadirkan juga seharusnya merupakan pemilih cerdas agar mampu menghasilkan pemimpin yang membawa kemajuan bangsa.
”Kehadiran pemilih di tempat pemungutan suara tidak sekadar mobilisasi, tetapi mesti bisa menghadirkan pemilu yang berkualitas dari pemilih cerdas yang menggunakan pilihannya secara obyektif dan rasional,” ucapnya.