Izil Azhar, buron KPK sejak 2018, ditahan pada Rabu (25/1/2023) malam. KPK mengingatkan kepada buron kasus korupsi lainnya agar kooperatif dalam proses penegakan hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah SabangIzil Azhar ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan dugaan korupsi penerimaan gratifikasi untuk proyek pembangunan infrastruktur di Aceh. Izil merupakan orang kepercayaan bekas Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, terpidana kasus penerimaan suap. Izil berperan sebagai perantara penerima uang.
Izil ditahan untuk 20 hari pertama terhitung mulai 25 Januari hingga 13 Februari 2023 di Rutan KPK pada Kavling C1 Gedung Anti Corruption Learning Centre (ACLC), Jakarta.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengungkapkan, Izil dinyatakan masuk daftar pencarian orang (DPO) KPK sejak 30 November 2018. KPK dan Polda Aceh berkoordinasi sehingga pada Selasa (24/1/2023), Tim Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Aceh menangkap Izil di salah satu tempat di Banda Aceh.
”Upaya paksa ini dilakukan karena yang bersangkutan ketika dipanggil sebagai saksi di tahap penyidikan dan di persidangan maupun sebagai tersangka tidak kooperatif dan tidak pula disertai alasan hukum yang sah,” kata Johanis dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Upaya paksa ini dilakukan karena yang bersangkutan ketika dipanggil sebagai saksi di tahap penyidikan dan di persidangan maupun sebagai tersangka tidak kooperatif. (Johanis Tanak)
Johanis menjelaskan, Izil merupakan orang kepercayaan Irwandi untuk menjadi perantara penerima uang suap dari bekas Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Aceh Heru Sulaksono dan Zainuddin Hamid. Penerimaan suap itu terkait dengan pelaksanaan proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang (Aceh) yang pembiayaannya dari APBN.
Izil menjadi orang kepercayaan Irwandi karena sebelumnya pernah menjadi bagian tim sukses Pilkada Gubernur Aceh tahun 2007. Ia juga dikenal sebagai bekas petinggi GAM wilayah Sabang.
Ketika proyek itu berjalan, Irwandi diduga menerima uang sebagai gratifikasi dengan istilah jaminan pengamanan dari pihak Board of Management (BOM) PT Nindya Sejati Joint Operation, yaitu Heru dan Zainuddin.
”Penyerahan uang melalui tersangka IA (Izil Azhar) dilakukan secara bertahap dari tahun 2008 sampai dengan 2011 dengan nominal bervariasi mulai dari Rp 10 juta sampai dengan Rp 3 miliar hingga total berjumlah Rp 32, 4 miliar,” kata Johanis.
Lokasi penyerahan uang tersebut di antaranya di rumah Izil dan di jalan depan Masjid Raya Baiturahman Kota Banda Aceh. Uang gratifikasi yang berjumlah Rp 32,4 miliar tersebut dipergunakan untuk dana operasional Irwandi dan juga ikut dinikmati Izil.
Adapun sumber uang suap yang diserahkan Heru dan Zainuddin diduga dari dana biaya konstruksi serta operasional proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang Aceh.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, penangkapan salah satu DPO ini adalah bentuk nyata keseriusan KPK menyelesaikan setiap perkara yang menjadi prioritas untuk dapat segera dibawa ke proses persidangan. KPK mengingatkan kepada DPO lainnya agar kooperatif dalam proses penegakan hukum yang harus dipatuhi. Alhasil, penanganan setiap perkara tindak pidana korupsi dapat berjalan efektif dan segera memberikan kepastian hukum bagi para pihak terkait.
Seusai konferensi pers, Izil menyatakan permohonan maaf. Namun, ia enggan menjawab pertanyaan dari wartawan.
Uang gratifikasi yang berjumlah Rp 32,4 miliar tersebut dipergunakan untuk dana operasional Irwandi dan juga ikut dinikmati Izil.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mengatakan, salah satu indikator serius keberhasilan kinerja KPK adalah efektivitas dalam proses penyelidikan hingga di pengadilan. Menurut Alvin, KPK saat ini justru kerap mengalami berbagai kendala, mulai dari gagal mengamankan barang bukti hingga maraknya kebocoran informasi. Bahkan, ada tersangka yang menjadi buron.
”Artinya penangkapan Izil belum menghapuskan nilai buruk publik pada kinerja penindakan lembaga anti-rasuah itu secara keseluruhan,” kata Alvin.
Ia juga menyoroti relasi tiga lembaga penegak hukum, yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan, yang tak berjalan ideal bekerja sama dalam memberantas korupsi. Dalam konteks DPO, KPK kurang optimal menjalankan fungsi penindakan.
Terkait dengan perkara Irwandi, kasus ini menegaskan pentingnya pengelolaan konflik kepentingan dan keterbukaan informasi pengadaan barang dan/jasa. Kasus ini juga menjadi momentum untuk kembali mendorong Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa.