Jabatan Kepala Desa yang Terlalu Lama Tingkatkan Risiko Korupsi
BPS mencatat masyarakat desa lebih berperilaku koruptif daripada masyarakat perkotaan. Catatan ini diperkuat oleh data KPK. Selama 2015-2022 terdapat 601 kasus korupsi di desa dengan jumlah tersangka 686 orang.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Salah satu spanduk tuntutan massa aksi yang terpasang di depan gerbang utama Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2022). Ribuan kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia berunjuk rasa meminta pemerintah merevisi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 39 Ayat (1) tentang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Usulan perpanjangan masa jabatankepala desa harus ditolak karena bisa meningkatkan risiko korupsi di desa. Presiden dan DPR diharapkan fokus menata pemerintahan desa untuk menghilangkan peluang korupsi dan memperbaiki kehidupan demokrasi di tingkat desa.
Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat desa lebih berperilaku koruptif daripada masyarakat perkotaan. Data pada 2021 menunjukkan, perilaku koruptif masyarakat desa berada di angka 3,83. Catatan ini diperkuat oleh data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak 2015 hingga 2022 terdapat 601 kasus korupsi di desa dengan jumlah tersangka 686 orang.
Ketika korupsi masih marak terjadi di desa, wacana perpanjangan masa jabatan yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun terus digulirkan. Bahkan, kepala desa bisa menjabat hingga 27 tahun karena bisa menjabat sampai tiga periode sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa harus ditolak karena meningkatkan risiko terjadinya korupsi di desa yang dilakukan oleh kepala desa ataupun aparat pemerintah desa.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman.
Kekuasaan itu cenderung korup, sedangkan kekuasaan yang absolut itu absolut korupsinya. Pembatasan masa jabatan kepala desa itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut.
”Kekuasaan itu cenderung korup, sedangkan kekuasaan yang absolut itu absolut korupsinya. Pembatasan masa jabatan kepala desa itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut,” kata Zaenur, Rabu (25/1/2023).
Ia menjelaskan, ketika seseorang bercokol dalam satu jabatan pada waktu lama tanpa ada konfirmasi dari rakyat melalui pemilihan, pejabat tersebut akan bisa mengakumulasi kekuasaan seperti mengondisikan pejabat-pejabat di bawahnya. Hal itu juga akan membuat lembaga pengawasan seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak berfungsi.
Menurut Zaenur, masa jabatan kepala desa yang diatur di dalam UU Desa sudah lebih longgar daripada jabatan lain di Indonesia, seperti presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, yang hanya 5 tahun serta hanya bisa dipilih lagi sampai dua periode.
Ia mengingatkan, alasan efisiensi biaya penyelenggaraan pemilihan kepala desa setiap 6 tahun sekali tidak tepat. Sebab, biaya tersebut tidak akan sebesar biaya kekuasaan absolut kepala desa yang bisa merugikan rakyat.
FAKHRI FADLURROHMAN
Beberapa perwakilan kepala desa dari sejumlah kota di Indonesia berdiri di atas panggung di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2022). Menurut massa aksi, masa jabatan 6 tahun tidak cukup untuk membenahi desa. Polarisasi warga yang sulit diredam dan cenderung memanjang akibat pemilihan kepala desa juga membuat pekerjaan kepala desa terpilih menjadi sulit untuk terealisasi dalam 6 tahun.
Alasan perpanjangan jabatan kepala desa agar menekan biaya politik yang dikeluarkan calon kepala desa untuk membeli suara pada akhirnya juga akan melahirkan banyak korupsi di desa. Jika sejak awal calon kepala desa sudah menggunakan politik uang, ketika sudah menjabat akan berusaha mengembalikan modal.
Kalau jabatannya sampai 9 tahun, setiap tahun akan semakin digunakan oleh kepala desa yang sejak awal menggunakan politik uang untuk mengembalikan modal plus memupuk kembali modal yang akan digunakan untuk pertarungan berikutnya yang dia punya kesempatan, bahkan sampai 3 periode.
”Kalau jabatannya sampai 9 tahun, setiap tahun akan semakin digunakan oleh kepala desa yang sejak awal menggunakan politik uang untuk mengembalikan modal plus memupuk kembali modal yang akan digunakan untuk pertarungan berikutnya yang dia punya kesempatan, bahkan sampai 3 periode,” ucap Zaenur.
Menurut dia, seharusnya yang diberantas adalah politik uang, bukan memperpanjang masa jabatan kepala desa. Jika seorang kepala desa bisa menjabat hingga 27 tahun, rakyat tidak memiliki kesempatan untuk melakukan koreksi. Waktu 9 tahun adalah masa yang sangat lama bagi masyarakat desa untuk menunggu kepala desa yang bermasalah tidak lagi menduduki jabatannya.
Hal itu berbeda dengan jabatan 6 tahun. Ketika kepala desa tidak bisa menyalurkan aspirasi atau kinerjanya tidak baik, rakyat bisa melakukan koreksi dengan tidak lagi memilihnya.
FAKHRI FADLURROHMAN
Ribuan kepala desa dari sejumlah daerah di Indonesia berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Mereka meminta pemerintah merevisi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Selain potensi korupsi semakin tinggi, demokrasi di desa juga akan tergerus jika perpanjangan masa jabatan kepala desa dilakukan. Selama ini, kata Zaenur, pemerintahan di desa dibangun atas kehendak rakyat dan berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun.
Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), M Nur Ramadhan. Masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun.
Rentang masa jabatan yang saat ini berlaku sepanjang 6 tahun sudah tercipta perilaku koruptif dan potensinya akan semakin tinggi jika masa jabatan diperpanjang. Ia mendorong presiden dan DPR fokus menata pemerintahan desa untuk menghilangkan peluang korupsi dan memperbaiki kehidupan demokrasi di tingkat desa.
Dana desa
Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwijanto Sudjadi mengungkapkan, hingga saat ini tata kelola di desa masih jauh dari harapan. Buruknya tata kelola dan minimnya partisipasi masyarakat membuat desa menjadi salah satu lahan tindak pidana korupsi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwijanto Sudjadi menyampaikan materi saat sosialisasi penerapan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) di Kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia, Jakarta, Jumat (16/4/2021). Sosialisasi ini diharapkan bisa membuat partai politik menjadi bagian dari agenda pemberantasan korupsi. Sebelumnya KPK juga melakukan kegiata serupa ke PDI-P, PPP, Gerindra, dan PKS.
Padahal, upaya pemerintah dalam membangun desa tidak pernah main-main. Hal ini terlihat dari kucuran dana desa sejak tahun 2015 hingga 2022 yang nilainya mencapai Rp 468,9 triliun. Pada tahun 2023, pagu anggaran dana desa sebesar Rp 70 triliun yang akan dialokasikan kepada 74.854 desa di 34 kabupaten/kota.
Setelah ditelaah, kata Kumbul, besarnya dana desa belum dikelola dengan baik dan menjadi sumber pemicu korupsi di desa. Ketidakprofesionalan pengelolaan dana tersebut berasal dari minimnya pengetahuan kepala desa dan aparat desa untuk mengonversi dana desa menjadi program atau kegiatan yang dapat menyejahterakan masyarakat.
Ketidakefektifan pengelolaan dana desa juga terlihat dari angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada tahun 2020, masyarakat miskin Indonesia tercatat 13,2 persen, tahun 2021 sebesar 12,59 persen, dan tahun 2022 sebesar 12,2 persen. Jumlah tersebut masih jauh dari target nasional, yakni 8,5 persen sampai 9 persen.
Artinya pengelolaan anggaran, sistem pemerintahan desa masih ada korupsi.
”Artinya pengelolaan anggaran, sistem pemerintahan desa masih ada korupsi,” ujar Kumbul.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Seorang tersangka korupsi dana desa diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Aceh Utara, Aceh, Selasa (23/2/2021). Dana desa rawan dikorupsi karena tata kelola yang tidak transparan dan moralitas aparatur masih rendah.
Karut-marut ini mendorong KPK untuk turun dan mengurai beragam persoalan yang ada di desa. Salah satu caranya, dengan menjalankan program Desa Antikorupsi yang memiliki tujuan membangun integritas dan nilai antikorupsi pada pemerintah dan masyarakat desa.
Selain itu, lanjut Kumbul, memperbaiki tata kelola pemerintahan desa yang berintegritas sesuai indikator dalam buku panduan desa antikorupsi. KPK juga memberikan pemahaman dan peningkatan peran serta masyarakat desa dalam upaya mencegah korupsi dan memberantas korupsi.
Adapun komponen dan indikator penilaian untuk menjadi Desa Antikorupsi meliputi area penilaian penguatan tata laksana, pengawasan, kualitas pelayanan publik, partisipasi masyarakat, dan kearifan lokal.