Waspadai Terwujudnya Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden masih mungkin direalisasikan. Ada sejumlah peristiwa yang dinilai mengarah pada terwujudnya wacana itu.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Diskusi bertajuk Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa ahli hukum tata negara mengimbau masyarakat untuk mewaspadai wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Sebab, menurut mereka, wacana yang berhembus sejak 2021 itu sangat mungkin terealisasi dengan banyaknya indikasi mengarah ke sana.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Selasa (24/1/2023), mengatakan, wacana tersebut perlu direspons dengan hati-hati. Ia pun mengimbau masyarakat untuk mewaspadainya lantaran tidak tertutup kemungkinan kedua wacana itu terwujud.
”Wacana itu sangat mungkin terjadi. Terlebih, sekarang partai yang mengusung presiden merupakan partai mayoritas di parlemen, presiden juga sudah dua periode, kekuatan politik pun sudah dipegang. Tidak ada alasan tidak bisa diterapkan. Maka, kita memang harus mewaspadainya,” kata Feri dalam diskusi bertajuk ”Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu” di Jakarta.
Diskusi tersebut digelar oleh aktivis lintas generasi seperti S Indro Tjahjono, Jumhur Hidayat, dan Paskah Irianto. Selain itu, diskusi diikuti ahli hukum tata negara lain, seperti Zainal Mochtar Arifin, Fajlurrahman Jurdi, Refly Harun, dan Denny Indrayana.
Hadir pula rektor Universitas Ida Bayumi (UIBA), Palembang, Tarech Rasyid; Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthoni Budiawan, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu.
Feri menjelaskan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden diwaspadai karena merupakan suatu ancaman. Terlebih, sejarah Indonesia membuktikan bahwa kekuatan politik dapat memengaruhi periodisasi dan masa jabatan pemimpin negara. Ia merujuk pada Soekarno, Presiden pertama Indonesia, yang pernah ”tergoda” dengan perpanjangan masa jabatan dengan dekrit presiden.
Begitu juga Presiden kedua RI, Soeharto, yang menurutnya lebih tergoda lagi. Bahkan, kata Feri, Soeharto menafsirkan bahwa presiden dapat dipilih kembali setelah lima tahun. Alhasil, ia menjadi presiden dalam enam periode lebih.
Adapun, menurut Feri, wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini terdiri dari dua kelompok. Pertama, kelompok yang spesifik membicarakan soal presiden tiga periode. Kedua, kelompok yang berbicara penundaan pemilu yang juga berarti perpanjangan masa jabatan presiden.
”Dua kelompok berbeda ini berjalan beriringan. Mana yang bisa jalan duluan, itu yang akan dipakai. Ini berbahaya. Jika terwujud, ini pasti akan berlanjut. Siapa menjamin kalau berhasil tiga periode tidak akan menjadi empat periode? Padahal, secara konstitusional, Pasal 7 dan 22 e UUD jelas sudah membatasi,” ujar Feri.
REBIYYAH SALASAH
Diskusi bertajuk Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Penundaan pemilu pun, kata Feri, tidak masuk akal. Sebab, tidak ada istilah penundaan dalam kepemiluan. Yang ada ialah pemilu lanjutan dan susulan. Artinya, pemilu wajib dilaksanakan, bahkan dalam kondisi paling berbahaya sekalipun.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Refly Harun, menegaskan, biaya mahal tidak bisa dijadikan alasan penundaan pemilu. Sebab, pemilu merupakan kewajiban konstitusional. Begitu pula dengan membiayai rakyat. Maka, keduanya tidak bisa dikotomikan.
Sementara itu, pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, upaya memperpanjang masa jabatan itu belum selesai. Itu terlihat dari adanya indikasi kemunculan gerakan untuk mengganggu pemilu dan seringnya penggunaan istilah ”kedaruratan” oleh pemerintah.
Terkait gangguan terhadap pelaksanaan pemilu, Zainal menyoroti temuan-temuan masyarakat sipil atas dugaan kecurangan dalam verifikasi faktual partai politik peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilu. Dengan adanya dugaan ini, maka muncul desakan mengganti anggota KPU yang dinilai terlibat kecurangan.
Spanduk ketidaksetujuan atas penundaan pemilu terlihat di kawasan Mampang, Jakarta, Jumat (11/9/2022).
”Namun, betulkah masih bisa mengganti anggota KPU sekarang? Jangan-jangan itu nantinya menjadi alasan bahwa kalau mau ganti anggota KPU, tunda pemilunya,” kata Zainal.
Publik juga dinilainya berada dalam situasi dilematis. Sebab, di satu sisi, berusaha melawan gangguan terhadap pemilu. Di sisi lain, berupaya agar tidak terjadi penundaan pemilu. Maka dari itu, masyarakat perlu menjaga keseimbangan di antara keduanya.
Ia juga menekankan, kondisi Indonesia belakangan kerap menggunakan alasan kedaruratan untuk menerabas demokrasi itu sendiri. Misal, pemerintah membenarkan penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dengan alasan kedaruratan.
Padahal, penerbitan perppu itu membuat pembubaran ormas bisa dilakukan oleh pemerintah kapan saja. Dengan demikian, pembubaran yang awalnya harus dibawa pengadilan sebagai rezim HAM menjadi sesuatu yang dibawa ke pengadilan sebagai rezim administrasi saja.
”Selain itu, revisi UU KPK yang berlangsung sangat cepat. Itu terus berulang. Terakhir, Perppu Cipta Kerja. Filsuf Giorgio Agamben mengingatkan untuk hati-hati pada kebiasaan rezim demokrasi yang mendaruratkan sesuatu demi melanggar prinsip demokrasi itu sendiri,” ujar Zainal.
HARIS FIRDAUS
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Fajlurrahman Jurdi, menambahkan, sebenarnya banyak survei menunjukkan bahwa publik menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Salah satunya hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan 71 persen publik menolak perpanjangan masa jabatan.
Ia juga menekankan, tidak sedikit akademisi yang menyuarakan ketidaksetujuannya. Namun, kata Fajlurrahman, suara-suara itu seolah tidak didengar.
Apabila wacana itu terwujud, katanya, sudah jelas terjadi pelanggaran terhadap konstitusi. Padahal, konstitusi merupakan kitab suci dalam bernegara sehingga tidak boleh dilanggar.
”Bagi mereka yang melanggar, maka bisa dibilang makar terhadap konstitusi. Untuk itu, kita harus memberikan perlawanan. Kalau ini dibiarkan, maka akan menimbulkan despotisme (pemerintahan dengan satu penguasa),” kata Fajlurrahman.
KRISTIAN OKA PRASETYADI UNTUK KOMPAS
Anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu, menyatakan akan mendorong legislasi undang-undang yang menggantikan PKPU No 20/2018.
Masinton Pasaribu mengatakan, partainya sudah jelas-jelas melawan wacana perpanjangan masa jabatan melalui penegasan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam HUT partai. Menurut Masinton, Megawati berangkat dari pengalaman masa lalu ketika Soekarno dikelilingi puja-puji dan godaan untuk menjadi presiden seumur hidup.
Ia pun mengajak semua pihak secara bersama-sama melawan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, terutama akademisi. Terlebih, wacana itu tidak muncul dengan alasan mendasar yang terjelaskan ke publik.
”Sekarang tidak muncul di publik alasannya apa. Ini menurut saya tidak bisa kita diamkan. Soal publik bersikap apa, itu urusan nanti. Terpenting, ada transparansi terhadap ide atau wacana tertentu,” ujar Masinton.