Revisi UU ITE diharapkan menjadi momentum mengubah aturan ini sesuai dengan pembentukan awalnya. UU ITE diharapkan bisa berfokus pada tata kelola dan administrasi di ranah digital bukan pemidanaan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE meminta DPR menjadikan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE sebagai momentum untuk mereformasi pasal-pasal bermasalah di dalamnya. Proses pembahasannya juga diharapkan memakai perspektif hukum dan kemanusiaan, tidak hanya soal keamanan data semata.
Anggota Komisi I DPR Fraksi Nasdem, Farhan menerangkan, revisi UU ITE yang akan diproses di komisinya memang bersifat terbatas, yaitu hanya proses harmonisasi pasal-pasal yang sudah diatur di KUHP. ”Substansi yang direvisi yang sudah ada di dalam KUHP yang baru. Revisinya terbatas menyesuaikan dengan KUHP saja,” ujarnya singkat di Jakarta, Senin (23/1/2023).
Menanggapi hal itu, anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE, yang juga Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengatakan, ia berharap agar revisi bisa dilakukan menyeluruh. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan fungsi awal dari pembentukan aturan ini sebagai aturan hukum yang mengawal jalannya transaksi elektronik di era digital sekarang.
”Dari informasi yang kami dapat, total pasal yang diubah tidak banyak, konsekuensinya, dinamikanya akan sangat cepat. Revisinya terbatas. Harusnya ini jadi momentum mengubah total, karena ini sudah revisi kedua kalinya, sejak 2016,” tambahnya.
Damar menerangkan, pihaknya sudah memetakan pasal-pasal bermasalah yang diharapkan menjadi pembahasan utama dalam proses revisi nanti. Koalisi sudah bertemu dengan perwakilan DPR untuk menyampaikan saran terkait pasal yang perlu menjadi perhatian utama. Untuk itu, DPR diminta untuk tidak terburu-buru dan melibatkan para praktisi termasuk Koalisi Serius Revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam pembahasannya.
”Kita sudah audiensi dengan Fraksi Demokrat di DPR dan ke depannya bisa dengan fraksi-fraksi lainnya,” ujarnya.
Salah satu pasal yang perlu direvisi adalah Pasal 26 Ayat 2 UU ITE mengenai hak untuk dilupakan atau right to be forgotten, yang kini sudah secara rinci diatur di Undang-Undang Nomor 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Hak untuk dilupakan di UU PDP dinilai lebih tegas pengaturannya ketimbang dalam UU ITE. Di UU ITE, penghapusan data hanya sebatas informasi elektronik saja, tetapi di UU PDP sudah mencakup definisi mengenai penghapusan data pribadi juga.
Pasal lain yang perlu disesuaikan adalah di Pasal 27 Ayat 1 UU ITE yang berbicara mengenai sanksi kepada setiap orang yang menyebarkan atau membuat konten asusila. Pasal ini perlu dihapus karena sudah lebih baik dan rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, karena adanya mekanisme mengenai pelindungan terhadap korban yang disebarkan kontennya.
Revisi jangan hanya terbatas, tapi total menyeluruh.
”UU ITE harus fokus mengatur soal administrasi dan tata kelola transaksi elektronik dan konten internet saja, jangan terlalu berat ke masalah pemidanaan,” katanya.
Hal lain yang perlu menjadi tambahan dalam revisi aturan ini pula adalah mekanisme pertanggungjawaban platform media sosial dalam mengelola konten di internet. Selama ini, platform sosial media seakan lepas tangan untuk konten yang ada di dalamnya. Pengaturan mekanisme pertanggungjawaban platform dibutuhkan karena konten sosial media kerap menimbulkan masalah, salah satunya polarisasi yang mengakibatkan perpecahan di masyarakat.
Agar pembahasan revisi UU ITE bisa berlangsung dengan baik, dan hasilnya memuaskan, DPR diminta memperluas sudut pandang serta perspektif dalam memandang masalah di ranah digital.
”Karena ini dibahas di Komisi I jadi sudut pandangnya soal keamanan saja. Pembahasan soal aspek hukum dan kemanusiaan jadi kurang efektif. Harusnya revisi ini juga melibatkan Komisi III DPR, agar ada unsur-unsur hukum dan kemanusiaan yang bisa menjadi bahan masukan dalam perencanaanya revisinya,” katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menerangkan, Koalisi Serius Revisi UU ITE berharap agar mekanisme pertanggungjawaban platform bisa menjadi poin pembahasan penting dalam proses revisi. Ada dua model pertanggungjawaban yang bisa menjadi acuan bagi DPR dalam revisi UU ITE, yaitu model strict liability dan safe harbor.
Di model strict liability, platform harus mematuhi undang-undang atau aturan yang berlaku di suatu negara. Bila gagal menaatinya, atau mengawasi konten yang dilarang oleh undang-undang, platform akan dikenai sanksi administrasi oleh pemerintah. Model kedua adalah safe harbor, yaitu memberi kewenangan lebih kepada platform namun dengan aturan atau syarat yang disepakati terlebih dahulu. Bila melanggar kesepakatan, akan dikenai sanksi administrasi juga.
”Pertanggungjawaban platform masih diatur di aturan yang selevel peraturan menteri saja, jadi kurang tegas. Harusnya aturan ini bisa dimasukkan ke aturan di level undang-undang,” jelasnya.