Polarisasi di Indonesia Dinilai Rendah, tetapi Mitigasi Tetap Diperlukan
Edelman Trust Barometer 2023 menyebutkan Indonesia masuk dalam kategori negara dengan polarisasi sedikit atau rendah bersama negara seperti Singapura, China, Arab Saudi, Malaysia, dan Uni Emirat Arab.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, Raynard Kristian Bonanio Pardede
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di dalam laporan Edelman Trust Barometer 2023, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan polarisasi yang rendah. Namun, kontestasi politik menjelang 2024 dinilai berpotensi memunculkan kembali polarisasi sehingga mitigasi menyeluruh tetap diperlukan.
Edelman Trust Barometer 2023 merupakan survei daring tahunan yang dirilis pada 19 Januari 2023. Survei dilaksanakan di 28 negara dengan lebih kurang 32.000 responden atau 1.150 responden per negara. Di laporan ini, ada empat aspek utama yang digunakan dalam memotret polarisasi, yakni kegelisahan ekonomi, ketidakseimbangan institusional, perbedaan kelas dalam masyarakat, serta pertarungan atas kebenaran. Setiap aspek mencakup beberapa indikator, semisal kegelisahan ekonomi terkait dengan optimisme ekonomi responden, sementara ketidakseimbangan institusional terkait kepercayaan responden terhadap pemerintah dan institusi bisnis.
Salah satu poin utama dalam Edelman Trust Barometer 2023 adalah polarisasi yang terjadi dengan mengacu pada perbedaan yang kemudian mengakar di sebuah negara. Terdapat tiga kelompok, yakni negara yang polarisasinya rendah karena responden menyatakan hanya melihat sedikit perbedaan; kemudian negara dengan polarisasi moderat yang mana responden menyatakan melihat perbedaan yang dalam tetapi masih berpikir bahwa hal itu bisa diatasi; dan yang ketiga berupa negara dengan polarisasi dengan perbedaan mendalam yang dipersepsi hal itu tidak akan pernah teratasi.
Dalam hal ini, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan polarisasi sedikit atau rendah bersama negara seperti Singapura, China, Arab Saudi, Malaysia, dan Uni Emirat Arab. Sementara itu, negara yang dipersepsi sangat terpolarisasi antara lain Argentina, Amerika Serikat, Spanyol, Swedia, dan Kolombia.
Edelman Trust Barometer 2023 menyebutkan, hal yang mendorong polarisasi adalah ketidakpercayaan kepada pemerintah, tatanan sosial yang lemah, kurangnya identitas bersama, ketidakadilan sistemik, pesimisme ekonomi, ketakutan masyarakat, dan ketidakpercayaan terhadap media. Dari beberapa hal tersebut, ketidakpercayaan kepada pemerintah dan tatanan sosial yang lemah merupakan dua faktor yang paling banyak memberikan dampak pada persepsi tentang polarisasi.
Masih dalam laporan itu, dipotret pula kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi bisnis. Di beberapa negara, seperti Afrika Selatan, Argentina, Nigeria, termasuk Jepang, Amerika Serikat, tingkat kepercayaan terhadap pemerintah tergolong rendah, yakni di bawah 50 persen. Sementara itu, di Indonesia, kepercayaan kepada pemerintah dan institusi bisnis cukup tinggi, yakni kepercayaan terhadap institusi bisnis mencapai 83 persen, sedangkan terhadap pemerintah 76 persen.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network Damar Juniarto, Senin (23/1/2023), menerangkan, survei dilakukan Edelman menggunakan empat aspek yaitu, kegelisahan ekonomi, keseimbangan institusi, perbedaan kelas, dan pertarungan kebenaran. Dengan menggunakan empat aspek tersebut, wajar jika hasil survei menunjukkan hasil polarisasi di Indonesia dikategorikan rendah.
”Kepercayaan kepada pemerintah masih kuat dan masyarakat masih optimis dengan keadaan ekonomi sekarang dan di masa mendatang. Kepercayaan yang kuat ini membuat skornya bisa less polarized,” ujarnya.
Mengutip temuan pengajar Sosiologi, Zulfikar Amir, Damar menyebut, tingkat polarisasi di Indonesia bisa tinggi jika menggunakan indikator kohesi sosial. Indikator kohesi sosial adalah indikator yang menunjukkan tingkat kepercayaan satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpandangan, polarisasi yang pernah terjadi di Indonesia dan memuncak pada Pemilu 2019 tidak lepas dari konstelasi politik saat itu. Setelah Pemilu 2019 menghasilkan pemerintahan baru dengan mengakomodasi pihak yang sebelumnya berkompetisi, polarisasi tampak mereda.
”Namun, polarisasi itu dikhawatirkan akan kembali menguat dengan datangnya tahun politik menjelang Pemilu 2024. Bisa jadi situasi akan kembali memburuk,” kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, berkaca dari pengalaman sebelumnya, polarisasi terjadi semakin masif karena peran media sosial. Jika pada Pemilu 2014 peran media sosial, seperti Facebook dan Twitter, turut memperparah terjadinya polarisasi, ke depan perlu diperhitungkan platform media sosial baru yang kini banyak dipakai masyarakat, seperti Tiktok.
Oleh karena itu, menurut Wahyudi, polarisasi yang berpotensi muncul kembali tersebut mesti dimitigasi secara menyeluruh. Selain melalui penegakan hukum, pemerintah atau otoritas terkait perlu melibatkan platform media sosial untuk mengembangkan algoritma agar konten yang berpotensi mempertajam polarisasi dapat dibatasi.
Damar juga mengingatkan, pekerjaan rumah Indonesia sekarang adalah mencegah polarisasi di tahun politik. Di platform sosial media, hal ini bisa dilakukan salah satunya mengajak pihak platform untuk ikut mengawasi konten yang ada di dalamnya.
”Di UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) kita berharap ada aturan agar platform juga ikut bertanggung jawab untuk mengawasi konten yang berpotensi memolarisasi masyarakat. Mereka juga harus ikut dilibatkan dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Kepercayaan masyarakat
Wahyudi juga menekankan, persepsi tentang ketidakpercayaan terhadap pemerintah patut dicermati karena terkait dengan transparansi pemerintah kepada publik, khususnya mengenai kebijakan yang bisa menimbulkan polarisasi di masyarakat. Meski Edelman Trust Barometer 2023 mencatat bahwa institusi pemerintah masih dipercaya masyarakat, tetapi pemerintah harus memastikan bahwa setiap proses pembentukan kebijakan harus tetap partisipatif, terbuka, dan bisa diakses oleh publik. Dengan demikian, kepentingan publik terjembatani.
”Terkait dengan polarisasi, penggunaan pendengung ini akan sangat berpengaruh. Jangan sampai pemerintah tidak membuka ruang partisipasi publik secara luas, tetapi justru berupaya melegitimasi kebijakan yang diambil dengan memanfaatkan para pendengung,” terang Wahyudi.
Terkait dengan posisi Indonesia yang ditempatkan sebagai negara dengan polarisasi rendah, menurut Wahyudi, Indonesia memiliki modalitas sosial dengan keberagaman yang tinggi dan nilai sosial yang dianut bersama. Namun, hal itu bisa jadi akan mudah tergerus oleh masifnya penetrasi media sosial yang dapat memberikan perspektif berbeda. Dalam hal ini, literasi digital untuk meningkatkan nalar kritis sangat diperlukan.
Selain itu, publik perlu didorong untuk lebih banyak mengakses media arus utama sebagai sarana penyedia informasi yang akurat. Di sisi lain, media diharapkan tidak hanya sekadar memberikan informasi, tetapi juga memastikan akurasi informasi, bersikap independen, serta memiliki peran yang determinan.