Buron Teroris Ditangkap, Dalami Jaringan dan Perannya
Polisi diminta mendalami peran dan jaringan dari tiga tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 Antiteror Polri. Dari kedua tersangka yang ditangkap, dua orang di antaranya buron.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pasukan Densus 88 Polri melakukan penggerebekan salah satu lokasi tersangka teroris di Jalan Delima, Kompleks Kuncir Mas, Kota Tangerang, Rabu (16/5/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap tiga tersangka teroris yang dua orang di antaranya merupakan buron. Peran dan jaringan para tersangka tersebut diharapkan terus didalami, dan tidak hanya mengaitkan mereka dengan organisasi kemasyarakatan yang sudah dibubarkan pemerintah.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan, Sabtu (21/1/2023), mengatakan, Densus 88 Antiteror Polri pada Jumat (20/1/2022) menangkap tiga tersangka tindak pidana terorisme. Penangkapan ketiganya disertai dengan penggeledahan.
Mereka adalah AS, berasal dari kelompok NII (Negara Islam Indonesia) yang ditangkap di Jakarta Utara. Tersangka berikutnya adalah ARH yang ditangkap di Jakarta Selatan dan SN yang ditangkap di Tangerang Selatan. ”Dua yang terakhir merupakan DPO (daftar pencarian orang) penangkapan Maret 2021, dari kelompok ormas yang sudah dibubarkan,” kata Ahmad.
Pada Maret 2021, Densus 88 Antiteror Polri menangkap empat terduga teroris di daerah Condet, Jakarta Timur, dan di Bekasi, yakni ZA, BS, AJ, dan HH. Penangkapan tersebut terkait dengan aksi bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar pada akhir Maret 2021.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan dalam keterangan pers virtual, Senin (19/12/2022).
Dari penangkapan tersebut, Densus 88 Antiteror Polri mengamankan barang bukti berupa bom yang siap untuk digunakan. Selain itu, petugas menemukan atribut Front Pembela Islam (FPI), organisasi kemasyarakatan yang telah dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah pada akhir Desember 2020 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Maklumat Kapolri pada 1 Januari 2021.
Menurut Ahmad, tersangka ARH dan SN turut termasuk dalam kelompok Condet yang berencana membuat bom yang kemudian akan dilakukan dalam aksi teror. Namun, aparat keamanan menggagalkan rencana tersebut dengan melakukan penangkapan pada Maret 2021. Pada saat itu, kedua tersangka ditetapkan masuk DPO.
Secara terpisah, pengamat terorisme Al Chaidar berpandangan, keterlibatan para tersangka tersebut dalam jaringan terorisme perlu didalami aparat. Sebab, dari sisi waktu, pengungkapan dan penangkapan kelompok Condet terjadi setelah ormas FPI dibubarkan. Meski pembubaran tersebut berdampak pada munculnya kekecewaan, tidak semua eks anggota FPI lantas bergabung dengan ormas baru yang didirikan sebagai pengganti FPI.
”Kalau dia sudah masuk jaringan lain atau yang baru maka dia memang tidak terkait lagi dengan FPI. Sebab, organisasi seperti JAD (Jamaah Ansharut Daulah), JAK (Jamaah Ansharut Khilafah), itu memang suka membajak orang atau mengklaim orang. Jadi, saya kira ini perlu hati-hati. Harus dilihat afiliasi kelompok teroris yang paling terbaru,” tutur Al Chaidar.
Petugas mengumpulkan atribut-atribut yang dibongkar saat menutup markas DPP Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (30/12/2020). Polri dan TNI menutup markas FPI setelah pemerintah memutuskan untuk membubarkan organisasi tersebut.
Menurut Al Chaidar, di dalam ormas seperti FPI bisa jadi ada kelompok-kelompok yang merasa tidak puas atau kecewa. Kemudian, mereka mengambil langkah ekstrem dengan masuk ke jaringan teroris. Sebaliknya, jika mereka berpaham radikal, tetapi tidak berbuat pidana, maka mereka tidak bisa disebut teroris.
Terkait dengan seorang tersangka teroris yang disebut berasal dari kelompok NII, Al Chaidar berharap agar aparat keamanan terus menangkap kelompok tersebut. Sebab, kelompok tersebut memang menghasilkan ”bibit-bibit” teroris yang selama ini melakukan aktivitas yang meresahkan masyarakat, semisal memaksa orang untuk berbaiat dengan kelompok tersebut. Dengan demikian, cara dan aktivitas mereka selain berbahaya juga telah mempermalukan umat Islam.