Penggunaan politik rasial merupakan bentuk kemunduran bangsa dalam berdemokrasi.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang tahun politik, sentimen ras kerap digunakan untuk menyerang kelompok tertentu, salah satunya etnis Tionghoa. Cara semacam ini merupakan kemunduran bangsa dalam berdemokrasi. Membuka informasi dan sejarah memori kolektif kebangsaan di masa lalu diharapkan mengikis isu-isu negatif itu hadir di kehidupan berbangsa Indonesia.
Dalam webinar ”Peran Tionghoa dalam Membangun Nasionalisme Indonesia” di Jakarta, Jumat (20/1/2023), Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Imam Gunarto menerangkan, di tahun-tahun menjelang Pemilu 2024, pertarungan politik diprediksi memanas. Panasnya suhu politik ini juga kerap kali diakibatkan penggunaan politik rasial untuk mendelegitimasi kelompok tertentu, salah satunya etnis Tionghoa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Untuk itu, diperlukan usaha agar hal-hal tersebut tidak terjadi, salah satunya kembali melihat sejarah pembentukan negara Indonesia, yang dalam prosesnya melibatkan berbagai suku dan ras.
Imam menjelaskan, berdasarkan arsip yang disimpan di ANRI, para warga negara Indonesia etnis Tionghoa selalu menjadi bagian dalam menghiasi sejarah Indonesia, khususnya di saat perjuangan kemerdekaan. Untuk itu, kontribusi mereka tercatat dengan baik dalam sejarah.
”Politik kita sering diboncengi dengan politik latar belakang ras. Agar hal-hal seperti ini tidak terjadi kita harus melihat kembali ke memori-memori kebersamaan kita sebagai bangsa saat perjuangan kemerdekaan dahulu,” ujarnya.
Isu-isu politik yang kerap menggunakan sentimen ras dinilai sebagai bentuk kemunduran Indonesia dalam berbangsa. Mengacu pada sejarah, pendekatan politik berbasis ras ini pertama kali digunakan oleh Belanda, dengan memisahkan kelompok masyarakat menjadi tiga, yaitu golongan kulit putih/orang Eropa, golongan Asia Timur yang di dalamnya termasuk Tionghoa, dan golongan inlander atau penduduk asli Indonesia.
Kebijakan ini dimaksudkan agar penduduk Indonesia saat itu mudah diatur dan tidak ada persatuan diantar mereka.
”Kebijakan itu dipakai Belanda mengapitalisasi orang Indonesia agar tidak bersatu. Jadi, kalau hari ini masih ada yang memakai isu ras dalam politik, alam pikirannya masih tinggal di zaman kolonial,” ucapnya.
Imam berharap, membuka informasi sejarah mengenai peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lalu yang melibatkan etnis Tionghoa bisa menjadi salah satu cara mengikis paham-paham busuk seperti itu.
Pendiri Persaudaraan Peranakan Tionghoa dan Warga Indonesia (Pertiwi) Udaya Halim menjelaskan, kelahiran Indonesia sebagai entitas bangsa pertama kali tercetus lewat Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 di rumah milik seorang Tionghoa bernama Sie Kong Lian, di Kramat Raya, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Tidak hanya soal tempat, beberapa pemuda Tionghoa terlibat dalam ikrar Sumpah Pemuda, yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kang Sing, Liauw Tjoan Kok, dan Tjio Djien Kwie.
Udaya menambahkan, ada seorang Tionghoa lain yang memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yaitu Yo Kim Tjan, yang merekam lagu ”Indonesia Raya” atas permintaan Wage Rudolf Supratman. Tak sampai di situ, setelah lagu ”Indonesia Raya” dirilis, majalah mingguan Tionghoa, Sin Po, menjadi media pertama yang mencetak partitur lagu ”Indonesia Raya” di majalahnya.
”Saat itu belum ada media dari bumiputra yang berani melakukannya, tapi di sinilah keberanian orang-orang Tionghoa untuk melakukan sesuatu bagi Indonesia,” tambahnya.
Menjelang kemerdekaan Indonesia di Agustus 1945, beberapa warga negara Indonesia etnis Tionghoa terlibat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang bertugas untuk mempelajari beberapa hal-hal penting untuk mempersiapakn kemerdekaan Indonesia saat itu. Beberapa dari mereka adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa.
”Dengan fakta-fakta tersebut, Tionghoa mengintegrasikan diri kepada kebangsaan Indonesia bukan asimilasi. Indonesia adalah rumah bagi setiap bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. Ini yang harus ditanamkan kepada semua orang, tanamkan kebanggaan menjadi Indonesia,” ujarnya.
Berkaca pada sejarah kemerdekaan Indonesia, menurut pengajar sejarah Universitas Gadjah Mada, Ravando Lie, kelompok Tionghoa kerap menjadi kambing hitam dalam transisi kekuasaan, mulai dari periode kolonial Belanda ke periode pendudukan Jepang, lalu ke periode revolusi, hingga periode paska 1965 dan reformasi 1998.
Hal-hal tersebut biasanya terjadi karena adanya ketidaktahuan masyarakat Indonesia tentang kehidupan dan sejarah etnis Tionghoa, dan adanya segelintir oknum yang memanfaatkan tensi politik yang tinggi pada saat itu.
Menghadapi tahun politik ini, ia berharap hal-hal tersebut tidak lagi terjadi dengan membuka ruang edukasi dengan kembali merefleksikan diri kepada momen-momen kolektif bangsa Indonesia di masa lalu.
”Isu-isu anti-Tionghoa setiap transisi kekuasaan itu selalu menjadi komoditas politik yang sangat laku. Hal-hal ini perlu diantisipasi ke depannya untuk itu acara-acara yang bisa memberikan informasi yang tepat mengenai orang Tionghoa dari angle yang berbeda,” ucapnya.