Perayaan tahun baru Imlek yang akan jatuh pada 22 Januari mendatang semestinya bisa menjadi pengingat, untuk terus mewujudkan komitmen mewujudkan kesetaraan bagi seluruh warga.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
ERWIN EDHI PRASETYA
Warga berswafoto dengan latar lampion-lampion di jembatan Kali Pepe di depan Pasar Gede, Solo, pada saat acara perayaan Imlek 2571/2020 di Solo, Jawa Tengah, Jumat (24/1/2020) malam.
JAKARTA, KOMPAS — Perayaan tahun baru Imlek 2023 diharapkan menjadi momentum untuk mewujudkan kesetaraan bagi seluruh warga negara dari semua golongan. Praktik pembedaan derajat masyarakat berdasarkan etnis yang terjadi selama puluhan tahun berdampak pada munculnya krisis identitas yang dapat memperlemah pembangunan rasa kebangsaan.
Alih-alih dilupakan, pengalaman tersebut perlu terus dipelajari agar tidak ada keterputusan sejarah di kalangan generasi muda. Diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa terjadi secara terlembaga selama Orde Baru (Orba). Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, misalnya, negara membatasi ekspresi budaya masyarakat Tionghoa. Berbagai pembatasan berdampak pada stigmatisasi yang berlaku secara masif di tengah masyarakat.
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan mengatakan, upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa telah dilakukan oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Pada awal 2000, Gus Dur menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Inpres No 14/1967. Sejumlah undang-undang antidiskriminasi juga dibuat. Sejak saat itu, warga keturunan Tionghoa mendapatkan pengakuan dan memperoleh kebebasan untuk mengekspresikan identitasnya.
Akan tetapi, 23 tahun berselang, masih ada sejumlah tantangan yang muncul secara sporadis dalam penghapusan diskriminasi. Hal itu merupakan pekerjaan rumah bagi semua pihak, tidak terkecuali partai politik (parpol). Perayaan Imlek yang akan jatuh pada 22 Januari mendatang semestinya bisa menjadi pengingat, untuk terus mewujudkan komitmen mewujudkan kesetaraan bagi seluruh warga.
”Imlek adalah momentum simbolik, semangat bagi bangsa ini untuk menghapus segala bentuk diskriminasi. Bukan hanya bagi orang Tionghoa, melainkan juga seluruh warga negara,” kata Daniel dalam diskusi ”Imlek dan Sejarah Kelam Diskriminasi di Indonesia”, yang diselenggarakan Berani PKB di Kantor DPP PKB, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
KURNIA YUNITA RAHAYU
Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Serpong, Banten, Azmi Abubakar; Wali Kota Singkawang 2007-2012, Hasan Karman; dan Juru Bicara DPP PKB Mikhael Sinaga (dari kiri) dalam diskusi Imlek dan Sejarah Kelam Diskriminasi di Indonesia, yang diselenggarakan Berani PKB di Kantor DPP PKB, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Hasan Karman, Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat, periode 2007-2012, menambahkan, diskriminasi yang terjadi di masa Orba berdampak pada munculnya krisis identitas. Warga keturunan Tionghoa juga mengalami ketakutan tersendiri terhadap negara karena gerak-geriknya ketika itu selalu diawasi dan dicurgai aparat. Akibatnya, aktivitas warga menjadi terbatas di segala bidang, tidak terkecuali dalam ranah politik.
Oleh karena itu, ketika dirinya memutuskan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak pihak yang memintanya untuk mundur. Saat itu masih ada kekhawatiran bahwa partisipasi warga keturunan Tionghoa di bidang politik, apalagi bisa terpilih menjadi kepala daerah, bisa menyebabkan kerusuhan. Namun, kekhawatiran itu ia atasi dengan edukasi publik.
”Soal keamanan dan konflik itu, kan, urusan aparat, saya lakukan saja hak dan kewajiban sebagai warga negara. Ternyata, dengan edukasi seperti itu, selama 18 bulan, saya berhasil meyakinkan publik,” kata Hasan, yang disebut sebagai warga keturunan Tionghoa pertama yang menjadi wali kota.
Suasana Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (18/1/2019). Koleksi museum milik Azmi Abubakar ini mencapai sekitar 30.000 yang terdiri dari majalah, komik, surat-surat, koran, buku, dan lain-lain. Museum ini menjadi salah satu pusat dokumen sejarah peranakan Tionghoa, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negeri tetangga.
Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Serpong, Banten, Azmi Abubakar, memandang diskriminasi terjadi karena ada cara pandang yang keliru terhadap masyarakat Tionghoa. Persoalan perspektif itu merupakan akibat dari terbatasnya informasi yang diterima masyarakat. Hal itu pula yang mendorongnya untuk mendirikan museum.
Melalui museum tersebut, ia ingin mengedukasi publik tentang peran masyarakat Tionghoa, baik dalam perjuangan melawan penjajah maupun proses pembangunan bangsa. ”Kalau masyarakat tahu seperti apa orang Tionghoa, kontribusi mereka terhadap bangsa dan negara ini, maka persepsi itu akan berubah. Saya mendapatkan informasi kepatriotan orang Tionghoa yang luar biasa, akhirnya saya punya cara pandang baru sebagai orang Indonesia,” katanya.
Juru Bicara DPP PKB Mikhael Sinaga menambahkan, generasi milenial dan generasi berikutnya relatif tidak merasakan diskriminasi yang terjadi pada masyarakat Tionghoa. Bahkan, kesempatan untuk berkecimpung di dunia politik pun sudah semakin luas.
Akan tetapi, tidak semua anak muda memahami bahwa kebebasan yang dirasakan saat ini merupakan buah perjuangan dan pengalaman pahit yang terjadi di masa sebelumnya. Oleh karena itu, berbagai diskusi perlu terus dilakukan agar tidak ada pemahaman yang terputus dari generasi ke generasi.