Di atas panggung, para jenderal TNI dan Polri mempertunjukkan tampilan berbeda. Mereka bermain lakon wayang dengan saling melempar celetukan yang mengundang tawa sekaligus membangun kebersamaan.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·4 menit baca
Menonton pertunjukan wayang orang Pandawa Boyong di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (15/1/2023), banyak yang berbeda. Yang pertama tentu para pemainnya yang terdiri dari pimpinan TNI dan Polri.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono berperan sebagai Bima Sena, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo sebagai Prabu Puntadewa, KSAD Jenderal Dudung Abdurachman sebagai Batara Guru, KSAL Laksamana Muhammad Ali sebagai Batara Baruna, dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo sebagai Resi Abayasa. Ini belum termasuk dan sejumlah pejabat tinggi di jajaran TNI-Polri serta sekitar 450 prajurit TNI AL.
Kebersamaan ini merupakan sesuatu yang bernilai. Tidak selalu para petinggi di bidang pertahanan dan keamanan ini berada dalam satu frekuensi. Apalagi dalam acara non-formal yang tidak saja menuntut stamina, tetapi juga waktu dan konsentrasi.
Bayangkan kesibukan para jenderal ini yang sehari-hari mengurus masalah pertahanan dan keamanan jangka panjang dan pendek masih harus menghafalkan dialog dan gerak. Seperti pemain wayang profesional, para jenderal itu pun melakoni perannya di atas panggung dengan langsung disaksikan penonton, tanpa rekaman suara.
Benar saja, walau secara penyajian pertunjukan Pandawa Boyong ini sangat indah, malah yang paling berkesan adalah celetukan-celetukan dan keseriusan para perwira tinggi ini saat tampil. Hal ini juga yang diapresiasi pendiri Laskar Indonesia Pusaka, Jaya Suprana. Walaupun lelucon-lelucon sering kali menonjolkan kekhasan suasana di TNI/Polri seperti tentang Wanjakti-Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi, tetapi disampaikan dengan ringan.
Saat merasa sudah kewalahan melawan Dursasana yang diperankan Laksma Eko Wahjono, contohnya, Yudo yang berperan sebagai Bima Sena melontarkan celetukan yang membangkitkan gelak tawa penonton. ”Dursasana, kamu kok gak mati-mati. Saya mutasi kamu nanti. Besok ada rapat Wanjakti,” kata Yudo.
Semua memberi warna cerah dalam wayang orang ini. Ketika Kresna yang diperankan oleh pemain wayang profesional berhasil membujuk Puntadewa mau berperang, jawaban Puntadewa mengundang tawa. ”Jenengan ini pinter, Lemhannas mana sih,” kata Puntadewa yang diperankan oleh Listyo.
Tampil santai dan cenderung kocak, Dudung yang lahir di Bandung juga fasih berkata-kata dalam bahasa Jawa. ”Ojo takon artine. Wong sampai sekarang saya juga tidak tahu artinya,” kata Dudung yang sontak mengundang tawa.
Dodik Wijanarko, penasihat pertunjukan, bercerita, lakon Pandawa Boyong sengaja diambil. Tujuannya agar banyak orang yang bisa mengambil bagian dalam peran-peran yang ada. Lakon Pandawa Boyong menceritakan tentang lima kesatria bersaudara boyongan (pindah) dari Alengka yang dikuasai Kurawa ke Astinapura.
Kepindahan itu untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Kurawa. Mereka harus berperang melawan Kurawa yang jumlahnya jauh lebih besar dengan punya persenjataan lebih banyak. Namun, berkat kesungguhan yang didasarkan niat baik, Pandawa dapat memenangkan perang.
Lakon Pandawa Boyong sengaja diambil. Tujuannya agar banyak orang yang bisa mengambil bagian dalam peran-peran yang ada.
Memilih peran sendiri
Tadinya, peran Yudo sebagai Bima Sena sangat dominan di dalam pilihan lakon lain yang mengisahkan berbagai mono dialog tentang kepemimpinan. Namun, demi kebersamaan, lakon pun diubah agar ada adegan perang Baratayuda, biar ada banyak pemain yang terlibat. ”Yang menarik juga, itu para pati (perwira tinggi) memilih tokoh yang mau dimainkan. Kapolri misalnya jadi Puntadewa karena beliau yang memilih, padahal kan dialognya banyak,” kata purnawirawan Letnan Jenderal ini.
Buat Listyo, undangan tampil dalam wayang orang ini sangat ia apreasiasi. Tidak hanya ia yang ikut latihan, tetapi juga mengajak beberapa personel Polri untuk tampil. Ia melihat hal ini sebagai salah satu cara untk membangun sinergitas. Di sisi lain, banyak nilai kepemimpinan yang diambil. ”Semoga sinergitas bisa diperkokoh kebijakan negara dan pemerintah dalam rangka mengawal, mendukung, dan menyejahterakan Indonesia jadi lebih baik,” kata Listyo.
KSAL Laksamana Muhammad Ali yang berperan sebagai Batara Baruna dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo yang berperan sebagai Resi Abayasa juga senang diajak ikut tampil. Ali mengatakan, pergelaran ini dilakukan persis pada peringatan gugurnya Komodor Yos Sudarso di Laut Aru yang diperingat sebagai Hari Dharma Samudera. Ada nilai-nilai kepemimpinan yang bisa dipelajari dari tokoh-tokoh wayang.
Fadjar pun menyampaikan, ia juga jadi banyak belajar dari tokoh-tokoh wayang. ”Ada karakter baik di tempat baik, karakter baik di tempat salah, apalagi karakter enggak baik. Kita bisa memetik pelajaran,” katanya.
Pentas ini bukan pentas biasa. Perlu diapresiasi ketika pimpinan institusi pertahanan dan keamanan menunjukkan kekompokannya, termasuk dalam menghibur masyarat. Kedua, seperti dikatakan Yudo, yang menggagas acara ini, tujuannya untuk melestarikan budaya.
Bukan hanya melibatkan jajaran aparat pertahanan dan keamanan, pertunjukan wayang orang ini juga melibatkan Laskar Indonesia Pusaka yang didirikan oleh Jaya Suprana dan grup wayang orang Bharata serta beberapa bagian masyarakat, sepertiChoky Sitohang sebagai Arjuna, Marcella Zalianty sebagai Dewi Arimbi, Putri Khairunnisa sebagai Dewi Gendari, Connie Rahakundini Bakrie yang berperan sebagai istri Semar, Yessy Sutiyoso sebagai Dewi Soko, dan Aylawati Sarwono sebagai Banowati.
Ke depan, bukan tidak mungkin misi serupa ditampilkan lewat berbagai kekayaan budaya suku bangsa yang lain. Membangun hubungan yang srawung, membangun kebersamaan dengan tidak mementingkan salah satu kelompok sehingga kerukunan dan kebersamaan terjaga. Tidak saja sinergi TNI-Polri bisa tercapai, sinergi sipil dan militer juga bisa terjalin baik.