Sebelas lembaga dan perseorangan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi sistem pemilu proporsional terbuka di MK. Mereka menganggap sistem proporsional terbuka ideal diterapkan dalam pemilu di Indonesia.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020). Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dari 11 pihak untuk dapat terlibat dalam sidang pengujian konstitusionalitas sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, selain pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum, 11 pihak lain itu juga dapat memberikan keterangan atau pandangannya terkait sistem proporsionalitas terbuka.
Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/1/2023), sedianya menggelar sidang keempat dengan agenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan KPU selaku pihak terkait. Akan tetapi, Kepaniteraan MK menerima surat dari Sekretaris Jenderal DPR yang meminta agar persidangan digelar secara luring atau tatap muka. Oleh karena MK membutuhkan berbagai persiapan, seperti mengundang para pihak untuk hadir ke Gedung MK, Ketua MK Anwar Usman pun memutuskan sidang ditunda hingga 24 Januari mendatang.
Dalam kesempatan tersebut, Anwar Usman memberitahukan tentang adanya permohonan menjadi pihak terkait dari 11 pihak. Pengajuan diri sebagai pihak terkait tersebut sudah disetujui para hakim MK dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) Selasa pagi.
Adapun ke-11 pihak terkait tersebut di antaranya Partai Garuda, Partai Nasdem, Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Indonesia, dan Muhammad Sholeh. Sholeh merupakan advokat yang juga mantan bakal calon anggota DPRD Jawa Timur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang pada 2008 memohon pencabutan sistem proporsional tertutup dan dikabulkan MK.
Saat dihubungi dari Jakarta, Sholeh mengakui telah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara 114/PUU-XX/2022 yang meminta MK mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Perkara 114/2022 diajukan oleh sejumlah pengurus partai, seperti PDI-P, Partai Gerindra, dan lainnya.
”Saya paling menolak sistem proprorsionalitas tertutup karena yang dirugikan saya. Lha wong saya yang berdarah-darah di MK tahun 2008,” kata Sholeh menjelaskan alasannya mengajukan diri sebagai pihak terkait.
Menurut Sholeh, pemilihan proporsional terbuka merupakan sistem paling baik dan berkeadilan serta sesuai dengan Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu harus langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. ”’Langsung’ artinya rakyat tidak lagi memilih kucing dalam karung. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan bisa menentukan calon anggota legislatif mana yang terbaik, mana yang paling banyak mendekati masyarakat. ’Bebas’ artinya rakyat bisa menentukan siapa pun, baik dari partai A, B, ataupun C. Sementara ’adil’ artinya calon anggota legislatif dari nomor urut 1 hingga 10 memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih,” paparnya.
Pemilihan proporsional terbuka merupakan sistem paling baik dan berkeadilan serta sesuai dengan Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu harus langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Baginya, sistem proporsional tertutup tidak ada baiknya karena hanya akan memperkuat oligarki partai politik. Siapa saja yang dekat dengan pimpinan partai bisa mendapatkan nomor urut paling atas. Tanpa harus bekerja keras, seorang caleg akan terpilih begitu partai memperoleh kursi.
Hilangkan daulat rakyat
Sama dengan Sholeh, PSI bersama tiga anggotanya di DPRD DKI Jakarta, yakni Anthony Winza Probowo, August Hamonangan, dan William Aditya Sarana, juga mengajukan diri sebagai pihak terkait karena tak setuju jika sistem pemilu proporsional terbuka dikembalikan menjadi tertutup. Direktur LBH PSI Francine Widjojo mengungkapkan, sistem proporsional tertutup akan menghilangkan prinsip daulat rakyat. Prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat akan berubah menjadi dari parpol, oleh parpol, dan untuk parpol.
Secara terpisah, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jamaludin Ghafur menegaskan, sistem proporsional terbuka sebenarnya merupakan sistem yang ideal bagi pemilu di Indonesia. Namun, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar menjadi benar-benar ideal, yakni demokratisasi di internal partai politik. ”Problemnya, partai ini sangat oligarkis dan personalistik. Kalau dia diberi kekuasaan dengan sistem tertutup, akan semakin kuat oligarkinya,” tuturnya.
Spanduk yang dibawa aktivis yang tergabung dalam People Heist saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021).
Sistem proporsional terbuka saat ini, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, menurut Jamaludin, masih jauh lebih baik. Sebab, setidaknya rakyat masih memiliki kedaulatan untuk menentukan siapa yang layak dipilih setiap lima tahun sekali. Namun, apabila ke depan partai politik semakin modern, bagus, kian demokratis, dan tidak lagi dikelola dengan sistem keluarga, perlu dipertimbangkan untuk kembali menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup.
Ia melihat perdebatan mengenai sistem pemilu sebenarnya muncul karena problem kinerja parlemen yang belum maksimal. Namun, apabila ingin parlemen bekerja optimal, problemnya bukan pada sistem pemilu, tetapi pada kontrol terhadap anggota parlemen pascapemilu.
”Ke depan perlu dipikirkan juga agar rakyat punya senjata pascapemilu sehingga aspirasi kita bisa didengar, aspirasi kita diperhatikan. Kenapa parpol dan elitenya selalu hadir pas pemilu dan pascapemilu tak hadir lagi? Sebab, kita tidak punya instumen untuk menarik mandat kita kalau mereka tidak bagus. Sepanjang kita tidak punya senjata untuk mengevaluasi performa kinerja anggota parlemen, sistem pemilu apa pun yang mau kita terapkan akan selalu disconnected electoral. Keterputusan relasi antara wakil dengan yang mewakili akan terus terjadi,” ungkapnya.