Budiman Sudjatmiko, Perpanjangan Jabatan Kepala Desa dan "Panggung" di Depan DPR
Politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko dipanggil ke Istana Kepresidenan Jakarta untuk bertemu Presiden Jokowi. Demo serta tuntutan para kepala desa termasuk yang didiskusikan pada pertemuan tersebut.
Pekan lalu, Selasa sore, politikus PDI-Perjuangan Budiman Sudjatmiko dipanggil ke Istana Kepresidenan di Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo. Ketua Partai Rakyat Demokratik atau PRD, yang pernah diburu-buru oleh rezim Orde Baru karena dianggap menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996 di jakarta, itu, menuturkan pada pertemuan tersebut dirinya dan Presiden Jokowi berdiskusi soal desa, termasuk menyangkut periodisasi masa jabatan kepala desa dan dana sumber daya manusia desa.
Saat ditanya apakah di tengah menghangatnya isu resuffle atau pergantian menteri ada tawaran-tawaran khusus kepada dirinya, Budiman menampiknya. “Oh enggak-enggak. Kita tidak bicara itu,” kata Budiman saat menjawab pertanyaan media di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, waktu itu.
Informasi dari Istana, hari itu sepertinya ironis tatkala Presiden Jokowi tengah mengumpulkan para kepala daerah se-Indonesia, hingga jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompida), ternyata di DPR, ribuan kepala desa--perangkat pemerintah paling bawah yang berhadapan langsung di masyarakat pedesaan--mereka berduyun-duyun mendatangi gedung DPR. Tak menunggu arahan kepada daerahnya setelah bertemu Kepala Negara, dan justru membuat "panggung" sendiri dengan demokrasi jalananan.
Seperti diberitakan Kompas.id, Selasa, para kepala desa yang berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen Senayan meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Masa jabatan enam tahun terlalu pendek. Untuk itu, kami menuntut ada perubahan menjadi sembilan tahun dengan masa jabatan maksimal dua periode,” kata Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jombang Warsubi.
Sejauh ini, revisi UU Desa memiliki urgensi karena masa jabatan enam tahun dinilai masih meninggalkan luka pada para pemilihnya. Di desa, terjadi tarik-menarik kepentingan dan gesekan sosial karena mereka tatap muka setiap hari antara yang mendukung dengan yang tidak mendukung. Konflik sosial itu diminimalkan dengan perpanjangan masa jabatan 9 tahun.
Inisiatif sendiri
Marahkah Presiden Jokowi kepada Budiman? Menurut Budiman, pada pertemuan tersebut Presiden Jokowi hanya menanyakan soal demo para kepala desa hari ini. “Saya bilang kalau saya tidak mewakili mereka. Tapi saya kenal temen-temen itu. Saya juga tahu keluhan-keluhannya, tapi (demo) itu adalah inisiatif mereka sendiri,” ujarnya.
Namun, karena dimintai keterangan terkait keinginan mereka, Budiman menyampaikan soal tuntutan menyangkut periodisasi masa jabatan kepala desa. “Sama saya usulkan kalau bisa ada dana sumber daya manusia desa,” kata Budiman.
Baca juga: Ribuan Kepala Desa Meminta Revisi UU Desa
Ketika kembali ditanya apakah dalam pembicaraan soal desa kali ini ada tawaran-tawaran dari Presiden kepada dirinya, Budiman menuturkan bahwa tadi Presiden Jokowi hanya menanyakan apa saja kegiatannya.
“Ya, kegiatan saya banyak, mencoba mengajak orang desa melakukan riset-riset dan inovasi dan teknologi. Saya ceritakan apa yang saya lakukan ada namanya bikin mesin pengolah tanaman sehingga menjadi minyak essence, kemudian IoT atau internet of things (serba internet) untuk satelit pertanian desa. Lebih ke arah sana, lebih ke arah teknologi, inovasi untuk ekonomi desa,” ujarnya.
Ketika dipancing apakah ada tawaran jabatan di Kemendes, Budiman menampik. “Tidak. Sama sekali tidak ada pembicaraan seperti itu. Jadi memang fokus bertitik tolak dari pembicaraan soal demo yang (diikuti) kurang lebih 15.000 kepala desa. Saya sendiri mengatakan, saya tidak mewakili mereka Pak, karena saya bukan kepala desa. Tapi saya kebetulan banyak teman di sana,” ujarnya.
Saat ditanya apakah Presiden Jokowi sedang mendalami dirinya, Budiman menuturkan bahwa pertemuan hari ini terkait adanya peristiwa demo. Ketika ditanya lebih lanjut lantas dalam kapasitas apa Budiman dipanggil Presiden Jokowi, Budiman menjawab,” Nah itu menarik, itu saya lupa tanyakan. Mungkin sebagai teman lama kali, ya. Oh iya, beliau (Presiden Jokowi) melihat saya sebagai orang yang kebetulan dulu ikut menggolkan UU Desa, ngertijeroan-nya, ngerti anatominya, apa yang kira-kira harus dipertahankan dan apa yang kira-kira (dengan) melihat keadaan di lapangan harus diubah. Dan itu saya sampaikan sesuai dengan tuntutan teman-teman, (para) kepala desa,” katanya.
Beliau (Presiden Jokowi) melihat saya sebagai orang yang kebetulan dulu ikut menggolkan UU Desa, ngertijeroan-nya, ngerti anatominya, apa yang kira-kira harus dipertahankan dan apa yang kira-kira (dengan) melihat keadaan di lapangan harus diubah.
Budiman pun menuturkan pada pertemuan tersebut Presiden Jokowi sama sekali tidak mengevaluasi atau membicarakan soal kondisi kabinet. “Beliau tanya tentang keadaan desa bagaimana, apa yang dikerjakan, terus itu teman-teman kepala desa apa tuntutannya. Begitu,” katanya.
Terkait ajakannya kepada orang desa untuk melakukan riset dan inovasi teknologi, Budiman menuturkan dirinya ingin mendorong industrialisasi desa. Hal ini ada kaitannya dengan sumber daya manusia desa.
“Ini baru piloting-piloting. Terbayang kalau ada dana sumber daya manusia desa, orang-orang desa kemudian bisa berkuliah, belajar banyak, mesin seperti ini bisa ada di setiap desa,” ujarnya.
Mesin-mesin tersebut buatan Indonesia. “IoT, internet of things, kemarin saya di Bandung, (mesin) itu bisa menghemat 50 persen pupuk,” kata Budiman.
Baca juga: Teknologi Tepat Guna Nusantara Jadi Ajang Inovasi Desa
Ketika dipancing apakah berarti ada tawaran jabatan ke Kementerian Pertanian, Budiman kembali menyampaikan tidak ada pembicaraan soal jabatan. “Tidak ada pembicaraan jabatan. Bicara demo tadi dan keadaan petani dan keadaan desa,” ujar Budiman.
Menjawab soal kesiapan seandainya mendapat amanah menjadi menteri, Budiman menuturkan,”Kalau (soal) siap atau tidak siap, saya dulu masuk penjara juga siap untuk demokrasi. Eh, bukan itu. Soal itu nanti silakan dibicarakanlah. (Soal) itu adalah kewenangan prerogatif. Saya bahkan menanyakan itupun tidak, karena bukan tipe saya dalam tanda kutip minta-minta,” ujarnya.
Budiman pun bercerita mengenai awal mulanya dipanggil. “Ceritanya begini, waktu ulang tahun PDI-Perjuangan kemarin saya datang. Terus (Presiden Jokowi) lihat saya,’lho, ke mana saja?’,” kata Budiman.
Demo kepala desa
Menurut Budiman, Presiden kemudian mengajaknya bertemu. “Jadi waktu acara ulang tahun partai. Beliau bilang ‘Saya sudah lama tidak melihat kamu.’ Kemudian iaturlah oleh Pak Pratik (Mensesneg Pratikno) untuk pertemuan. Namun waktu itu belum ditentukan tanggal pertemuan. Tiba-tiba karena demo ini, bicara soal itu. Undangannya sekadar WA. Kemudian, monggo, diminta ngobrol,” ujar Budiman.
gitu
Budiman menyampaikan kepada Presiden Jokowi adanya aspirasi tuntutan agar ada perubahan periodisasi jabatan kepala desa. “Dalam UU Desa nomor 6/2014, di mana saya juga ikut mengegolkannya, masa jabatan kepala desa itu per periode 6 tahun x 3. Bisa dipilih dua kali lagi, sehingga total 18 tahun kesempatan seorang kepala desa,” ujarnya.
“Jadi waktu acara ulang tahun partai. Beliau bilang ‘Saya sudah lama tidak melihat kamu.’ Kemudian iaturlah oleh Pak Pratik (Mensesneg Pratikno) untuk pertemuan. Namun waktu itu belum ditentukan tanggal pertemuan. Tiba-tiba karena demo ini, bicara soal itu. Undangannya sekadar WA. Kemudian, monggo, diminta ngobrol”
Namun berdasar temuan-temuan di lapangan dirasakan bahwa masa jabatan seperti itu boros dan menimbulkan banyak konflik sosial. “(Hal ini) karena kalau kita pilihan kepala desa kan dengan tetangga sendiri, dengan saudara sendiri, itu kadang-kadang 3 tahun, 2 tahun pertama itu enggak selesai konfliknya. Sehingga sisa 3 tahun atau 4 tahun enggak cukup untuk membangun desa,” kata Budiman.
Sementara itu dalam beberapa waktu kemudian harus digelar pemilihan kepala desa lagi. “Sehingga relatif kerja konsentrasi membangun desa (hanya) 2 tahun atau 3 tahun. Sementara 4 tahun atau tiga tahun habis untuk berkelahi. Nah, ada tuntutan ini diganti menjadi 9 tahun periodesasinya. Bisa kali dua atau terserahlah ya, tapi jabatannya enggak 6 tahun periodisasinya,” ujarnya.
Menurut Budiman dirinya membicarakan hal itu dengan Presiden Jokowi. “Dan, Pak Jokowi mengatakan sepakat dengan tuntutan itu. Beliau, Bapak Presiden, mengatakan bahwa tuntutan itu masuk akal. Memang dinamika di desa berbeda dengan dinamika di kabupaten atau kota atau (saat pemilihan) gubernur. Jadi, saya berani katakan, meskipun saya tak mewakili kepala-kepala desa itu, tapi karena saya diajak diskusi, saya sampaikan pernyataan beliau. Beliau setuju dengan tuntutan tersebut. Tinggal nanti dibicarakan di DPR,” katanya.
“Karena itu, saya mengajukan, Pak, kalau bisa ada dong aturan khusus yang mengatur tentang dana untuk sumber daya manusia desa. Selama ini dana desa kan habis untuk infrastruktur, bikin jembatan, bikin jalan, dan macam-macam. Dan memang itu harus dilakukan sebab desa banyak tertinggal secara fisik”
Saat bertemu Presiden, Budiman juga membicarakan bahwa Indonesia sekarang ini butuh memacu kualitas sumber daya manusia. “Karena itu, saya mengajukan, Pak, kalau bisa ada dong aturan khusus yang mengatur tentang dana untuk sumber daya manusia desa. Selama ini dana desa kan habis untuk infrastruktur, bikin jembatan, bikin jalan, dan macam-macam. Dan memang itu harus dilakukan sebab desa banyak tertinggal secara fisik,” katanya.
Tapi pada saat bersamaan, menurut Budiman, juga ada tuntutan meningkatkan sumber daya manusia desa. “Karena itu, saya ajukan kalau bisa, selain 9 tahun (masa jabatan kepala desa) itu juga bisa ada (untuk) sumber daya manusia desa. Nanti itu akan dibicarakan. Bisa saja dimasukkan dalam revisi UU terbaru, atau bisa saja nanti dimasukkan (dalam) PP,” ujar Budiman.
Rentan dipolitisasi
Menyikapi aksi para kepa desa, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, wacana perpanjangan masa jabatan tersebut dilontarkan hanya untuk memanfaatkan momentum Pilkada dan Pemilu 2024 oleh kepala desa maupun politisi di tingkat nasional. Sebab, jumlah desa yang mencapai 83.843 (Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2021) cukup menjanjikan, terutama bagi politisi DPR dan lokal.
“Ini sangat rentan dipolitisasi terkait dengan revisi UU Desa ini”
“Ini sangat rentan dipolitisasi terkait dengan revisi UU Desa ini,” kata Herman saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/1/2023).
Menurut Herman, jika dilakukan revisi UU Desa, seharusnya untuk pembenahan tata kelola pembangunan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, dan terkait implementasi pembangunan. Dalam hal ini, seharusnya peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk pengawasan dan kontrol terhadap kinerja kepala desa dioptimalkan.
Baca juga: Kades Berunjuk Rasa di Depan Kompleks Parlemen, Lalu Lintas Dialihkan
Fungsi BPD sangat strategis, terutama dengan banyaknya masalah kepala desa terkait kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, sejak 2012 sampai 2021 terdapat 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus.
“Ini yang mestinya dikuatkan atau diwacanakan untuk merevisi UU Desa. Bukan malah menaikkan isu memperpanjang masa jabatan. Masa jabatan 6 tahun itu waktu yang cukup untuk bisa merealisasikan visi dan misinya”
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPP Apdesi) Sunan Bukhari saat memberikan keterangan pers di Jakarta, enggan menyebutkan partai politik tertentu yang ingin memanfaatkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa ini. Namun, jika melihat jejak digital, akan terlihat kepentingan perpanjangan masa jabatan kepala desa dimanfaatkan oleh partai politik. Apabila revisi ini disetujui, maka parpol akan meminta imbal balik berupa suara. Kepala desa akan mendukung partai politik yang memperjuangkan kepentingan desa. “Ini kan suatu mutualisme yang normatif saja sebenarnya dari aksi ada reaksi,” kata Sunan.