Menanti Keadilan Itu Diwujudkan
Para korban pelanggaran HAM berat kini menanti keadilan diwujudkan. Bagi mereka, pengakuan dari negara atas 12 pelanggaran HAM berat itu harus diikuti langkah konkret agar keadilan itu dirasakan nyata.

Setelah Presiden Joko Widodo akui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu, Rabu (11/1/2023), para korban dan keluarga korban menunggu langkah nyata sebagai tindaklanjutnya. Ada yang menilai pengakuan bisa menjadi jalan bagi korban menjemput keadilan. Sebagian justru skeptis bahwa itu pencitraan politik belaka.
Perempuan berambut putih, berusia 70 tahun, itu berdiri tegak di barisan terdepan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/1/2023). Tangannya menggenggam payung hitam bertuliskan ”Tuntaskan Tragedi Semanggi I, 13 November 1998”. Dia adalah Maria Cataria Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan alias Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam tragedi penembakan di Semanggi I tahun 1998.
”Kenapa hanya mengakui dan menyesali? Kan, sebelumnya sudah tahu ada peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Sumarsih.
Adapun pengakuan terjadinya pelanggaran HAM berat itu disampaikan Presiden setelah memperoleh rekomendasi dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam rekomendasi disebutkan bahwa negara diharapkan menyusun ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi versi resmi negara yang berimbang, seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak yang menjadi korban.
Saat itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa penyelesaian non-yudisial peristiwa pelanggaran HAM berat lewat pemulihan hak korban tak menegasikan penyelesaian yudisial.
Sumarsih ingat betul menjelang Pemilu Presiden 2014, saat berkontestasi sebagai calon presiden saat itu, Jokowi menjanjikan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Semanggi I. Janji itu tertuang dalam Nawacita. Karena janji itu, Sumarsih percaya ada secercah harapan pada sosok Jokowi untuk penuntasan pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat

Maria Sumarsih
Tahun demi tahun berganti, hingga kurang dari dua tahun lagi masa jabatan Presiden Jokowi berakhir, janji penuntasan pelanggaran HAM berat belum semuanya dapat dipenuhi dengan membawa semua kasus-kasusnya ke pengadilan, termasuk tragedi Semanggi I. Jika ada yang disidangkan, seperti peristiwa Paniai di Papua, terdakwanya seorang purnawirawan TNI pun divonis bebas.
Menurut Sumarsih, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat seharusnya tidak sulit. Tragedi Semanggi I dan II, misalnya, tinggal dituntaskan melalui Pengadilan HAM ad hoc. Toh, sejumlah nama prajurit dan perwira tinggi TNI serta Polri sudah direkomendasikan oleh Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM sejak 2002 untuk dihadapkan pada proses hukum. Problemnya, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus tersebut tak kunjung dilakukan.
Langkah nyata untuk penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak korban juga diharapkan oleh keluarga korban peristiwa Talangsari, Lampung. ”Pengakuan saja tidak cukup. Yang paling utama adalah pemenuhan hak korban dan penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari. Kami menuntut negara mengembalikan hak korban dan menegakkan hukum kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari,” kata Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung Edi Arsadad.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat seharusnya tidak sulit. Tragedi Semanggi I dan II, misalnya, tinggal dituntaskan melalui Pengadilan HAM ad hoc.
Tragedi Talangsari terjadi dalam operasi militer 7-8 Februari 1989 di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabas Lama, Kecamatan Way Jepara, yang saat itu masih berada di Lampung Tengah. Bentrokan warga dengan pihak militer itu dilaporkan menewaskan 31 warga sipil, sebagian besar dari kelompok Anwar Warsidi. Sementara dari militer, Kapten Soetiman, Komandan Rayon Militer Way Jepara ini dilaporkan tewas.
Berdasarkan investigasi Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Smalam), jumlah korban tewas lebih banyak, mencapai 246 orang. Mereka tak hanya dari kelompok Anwar Warsidi, tetapi juga warga desa di sekitar lokasi kejadian.
Baca juga: Pemerintah Janji Kawal Implementasi Rekomendasi Tim PPHAM

Sukarelawan mengikuti aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Dalam aksi tersebut, Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan yang tewas dalam Tragedi Semanggi I sekaligus salah satu penggagas aksi Kamisan, menyerahkan buku memori catatan 12 tahun Aksi Kamisan kepada Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara. Aksi damai dari para korban maupun keluarga korban untuk menuntut penyelesaian dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ini telah memasuki tahun ke-12.
Murtala (53), korban Tragedi Simpang KKA 1999, juga menilai pengakuan dan penyesalan tidaklah cukup bagi korban yang selama ini terus mengetuk pintu keadilan. Akibat tragedi bentrokan warga dan TNI itu, Murtala mengalami cedera fisik ringan yang membuatnya tidak bisa optimal bekerja dan trauma psikologis. Peristiwa itu menyebabkan 23 orang tewas dan 30 orang luka-luka.
”Pernyataan Presiden adalah langkah baik, tetapi harus ditindaklanjuti secara hukum. Dengan disidangkan perkaranya, akan menjadi pembelajaran sehingga ada pemutusan mata rantai agar tak terjadi pelanggaran HAM yang sama di kemudian hari,” katanya.
Terkait dengan upaya pemulihan terhadap korban, Murtala tidak yakin sejumlah korban dapat menerimanya. Sebab, di Aceh, pasca-perjanjian Helsinki, juga telah dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, menurut penilaiannya, KKR Aceh tidak berjalan optimal. Para korban masih kesulitan mengakses program pemulihan karena programnya tersebar di sejumlah instansi.
Dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara, tiga di antaranya terjadi di Aceh. Menurut Murtala, ketiga peristiwa itu menimbulkan trauma mendalam bagi warga Aceh. Lewat penyelesaian secara hukum, mengungkap pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu diharapkan bisa tuntaskan beban sejarah di masa lalu.
”Kami tidak dendam, sudah rida keluarga yang menjadi korban sudah diterima oleh Allah SWT. Tetapi, bagaimana pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu bisa diadili dan menjadi renungan agar kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari,” ucapnya.
Perlu langkah konkret
Mantan komisioner Komisi Nasional HAM, Amiruddin Al Rahab, berpandangan, pengakuan atas 12 pelanggaran HAM berat dapat diartikan bahwa peristiwa-peristiwa itu yang selama puluhan tahun dibantah dan diabaikan, akhirnya diakui oleh kepala negara.
Namun, agar tidak menjadi janji semata, pengakuan itu membutuhkan tindak lanjut berupa program yang terukur, terfokus, dengan keberpihakan anggaran yang jelas. Tanpa hal itu, akan sulit meyakinkan korban bahwa ini adalah langkah maju dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
Baca juga: Mendorong Revisi UU Pengadilan HAM

Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab dalam diskusi publik “Pelindungan untuk Saksi di Pengadilan HAM Peristiwa Paniai”, Kamis (18/8/2022).
Untuk pemulihan hak-hak korban, dia menegaskan, komitmen itu tidak menjadi kerja sampingan dari instansi-instansi pemerintah. Menurut dia, perlu ada badan atau unit yang fokus melayani kebutuhan korban pelanggaran HAM berat selama 24 jam. Jika program tersebar di setiap kementerian, dikhawatirkan tidak akan terfokus implementasinya. Seperti halnya pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menurut penilaiannya, baru sebatas memberikan santunan atau bantuan sosial.
”Misalnya, ada aparatur sipil negara yang diberhentikan saat dia umur 30 dan bahkan ada yang dipenjara (sebagai akibat terjadinya pelanggaran HAM berat). Dia mau meminta dipulihkan gaji pokoknya sampai pensiun usia 60 tahun. Dengan adanya unit khusus akan lebih jelas ke mana pintu yang harus mereka ketuk,” katanya.
Amiruddin juga menyinggung rekomendasi tim PPHAM untuk pelurusan sejarah, ini pun membutuhkan langkah nyata. Presiden perlu membentuk tim sejarawan yang bekerja secara akademis dan mandiri untuk menuliskan narasi secara baru.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, pelanggaran HAM berat terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan melalui instrumen keamanan negara.
Dalam konteks penagihan penyelesaian yudisial, kata Amiruddin, pengakuan oleh negara pun bisa digali lebih dalam oleh para ahli hukum pidana. ”Pengakuan dan penyesalan negara wujud dari rekognisi bahwa kejahatan kemanusiaan serius itu ada dan diakui. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana menagih kepada Kejaksaan Agung agar proses hukum pada 12 pelanggaran HAM berat bisa berjalan,” ujarnya.
Tak kalah penting, lanjutnya, adalah membangun sistem untuk mencegah pelanggaran HAM berat terulang. Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, pelanggaran HAM berat terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan melalui instrumen keamanan negara. Komnas HAM bisa dilibatkan untuk membuat program untuk memberikan pemahaman HAM, hukum humaniter, untuk membangun komitmen dari instansi keamanan negara di masa depan.
”Dengan langkah-langkah itu, pernyataan Presiden bisa berubah menjadi kenyataan. Masih ada cukup waktu dua tahun bagi Presiden untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM tersebut,” terangnya.
Baca juga : Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Dipertanyakan

Menkopolhukam Mahfud MD menyerahkan rekomendasi tim PPHAM terkait penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, Rabu (11/1/2023).
Mengawal rekomendasi
Mantan Ketua Pelaksana Tim PPHAM Makarim Wibisono tak menampik ada keraguan dan bahkan ketidakpercayaan dari sejumlah kalangan tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial. Menurut dia, rekomendasi yang telah dirumuskan Tim PPHAM selama tiga bulan bekerja, yang dimulai September 2022 itu, adalah kebijakan yang mungkin di antara berbagai ketidakmungkinan.
Selaku ketua pelaksana PPHAM, dia mengaku terinspirasi Rettig Commission yang dibuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Chili yang terjadi di bawah rezim otoriter Presiden Augusto Pinochet. Pada 1990, di masa transisi dari pemerintahan otoriter ke demokratis, Presiden Chile Patricio Aylwin membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Tugas utama dari komisi itu adalah memberi penjelasan tentang kematian dan penghilangan orang di Chile dengan menimbang tiga aspek pemulihan, yaitu pengungkapan kebenaran dan mengakhiri kerahasiaan, pengakuan martabat para korban dan rasa sakit yang diderita oleh keluarga mereka, dan langkah-langkah meningkatkan kualitas hidup mereka.
Ketika menyampaikan laporan itu kepada rakyat, Presiden Aylwin meminta maaf kepada para korban dan keluarga mereka atas nama negara. Setelah itu, sejumlah kompensasi dibayarkan kepada korban dan keluarga korban. Mantan diktator Pinochet juga diadili. Ini bisa menjadi tolok ukur bagi Indonesia.
Makarim menerangkan, poin 11 rekomendasi Tim PPHAM secara eksplisit menyebutkan, agar pemerintah membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM. ”Ini bisa dijadikan pegangan untuk menagih janji, apabila pernyataan Presiden hanya berhenti sebatas pengakuan dan penyesalan,” ujarnya.
Bertahun-tahun lamanya para korban terus mengetuk pintu keadilan. Jika, kini, pengakuan pemerintah atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat tak juga diikuti langkah nyata, sama saja membiarkan pintu keadilan itu tetap tertutup bagi para korban.