Pemerintah Menebalkan Dana Bantalan Sosial bagi Petani dan Pekerja di Industri Tembakau
Bantalan sosial ini akan diwujudkan dalam berbagai program seperti pemberian bantuan pupuk, alat mesin pertanian untuk produksi atau pascapanen, dan bantuan langsung tunai.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setidaknya 50 persen dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT akan dialokasikan untuk menebalkan bantalan sosial bagi petani/buruh tani dan tenaga kerja di industri tembakau. Hal ini sebagai bentuk antisipasi dampak ketidakpastian global terhadap industri tembakau di Indonesia.
Bantalan sosial ini akan diwujudkan dalam berbagai program. ”Seperti pemberian bantuan pupuk, alat mesin pertanian untuk produksi atau pascapanen, dan bantuan langsung tunai,” ujar Deputi III Kantor Staf Kepresidenan Edy Priyono di Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
Keputusan untuk mempertebal dana bantalan sosial ini sesuai hasil kesepakatan dalam rapat koordinasi antara Kantor Staf Presiden, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan 77 pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota penghasil tembakau pada Rabu (11/1/2023).
Saat ini, lanjut Edy, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan sudah mengeluarkan surat terkait penggunaan DBH CHT 2023. Surat tersebut ditujukan kepada pemerintah daerah penerima DBH CHT sebagai perencana dan pelaksana program.
Sebagai tindak lanjut, Edy menekankan pentingnya pemerintah daerah secara aktif menyosialisasikan program bantalan sosial bagi petani dan pekerja industri tembakau di wilayahnya. Asosiasi petani tembakau diharapkan dapat menyampaikan aspirasi program.
Asosiasi petani juga diminta berkolaborasi dengan pemerintah daerah masing-masing.”Ini agar program dapat sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah,” ujarnya.
Pentingnya pemerintah daerah secara aktif menyosialisasikan program bantalan sosial bagi petani dan pekerja industri tembakau di wilayahnya.
Edy menyampaikan, sesuai amanat PMK No 215/2021, tiga persen dari penerimaan cukai hasil tembakau dialokasikan sebagai dana bagi hasil yang dikelola oleh pemerintah daerah penghasil. Dari dana bagi hasil tersebut, 50 persen harus digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sisanya, 40 persen untuk kesehatan, dan 10 persen untuk penegakan hukum. ”Jadi kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau harus juga berdampak pada kesejahteraan petani dan pekerja,” tambah Edy.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023-2024. Kebijakan tersebut mempertimbangkan berbagai aspek, yakni pengendalian konsumsi rokok, kesejahteraan tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan rokok ilegal.
Dalam keterangan usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (3/11/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
”Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat mulai dari 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, Presiden Jokowi juga meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, Sri Mulyani menuturkan, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
”Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik, yakni rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku setiap tahun naik 15 persen selama lima tahun ke depan,” tambahnya.