Pembahasan mengenai dapil diklaim bisa memakan waktu lama, tak akan cukup untuk dibahas hingga tenggat penetapan dapil, 9 Februari mendatang. Padahal, setelah putusan MK terkait dapil, banyak pihak mendorong perbaikan.
Oleh
IQBAL BASYARI, REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Komisi II DPR Ahamad Doli Kurnia (tengah), didampingi Wakil Ketua Komisi II Junimart Girsang (kiri) dan Saan Mustopa, memimpin rapat dengar pendapat dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komisi Pemilihan Umum agar daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi tetap sama dengan lampiran III dan IV Undang-Undang Pemilu. Pemerintah pun sepakat dengan permintaan Komisi II DPR ini. Padahal, setelah Mahkamah Konstitusi mengembalikan kewenangan penyusunan daerah pemilihan pada KPU, banyak pihak menilainya sebagai momentum untuk membenahi problem representasi suara masyarakat pada Pemilu 2024.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, sembilan fraksi di Komisi II DPR telah mengambil keputusan mengenai daerah pemilihan (dapil) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi yang saat ini sedang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesepakatan itu disampaikan kepada KPU sebelum ada rapat dengar pendapat (RDP) maupun rapat konsinyering yang membahas dapil.
Menurutnya, pembahasan mengenai dapil membutuhkan energi yang besar sehingga tidak ideal jika dilakukan di tengah tahapan. Apalagi, tahapan penyusunan dapil akan berakhir pada 9 Februari mendatang atau hanya menyisakan waktu kurang dari satu bulan. Padahal, pembahasan soal dapil dipastikan membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan.
”Soal dapil, kami sudah rapat internal. Kami sudah menyepakati bahwa untuk dapil DPR RI dan DPRD provinsi, sikap kami adalah tidak ada perubahan, sama dengan lampiran di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” ujar Doli di sela RDP dengan penyelenggara pemilu dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (empat dari kiri) didampingi Wakil Mendagri John Wempi Wetipo (tiga dari kiri) bersama (kiri ke kanan) anggota KPU Mohammad Afifuddin, Ketua KPU Hasyim Asy'ari, Ketua DKPP Heddy Lugito, anggota DKPP J Kristiadi, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, dan anggota Bawaslu Puadi mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/12/2022) telah mengembalikan kewenangan penyusunan dapil dan penentuan alokasi kursi untuk pemilihan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi kepada KPU. Sebelumnya alokasi kursi dan dapil DPR dan DPRD provinsi sudah tertera di lampiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
KPU bahkan sudah menyiapkan empat model penyusunan dapil anggota DPR untuk dikonsultasikan kepada Komisi II DPR.
Dalam putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 tentang Pembentukan Dapil disebutkan, dapil DPR dan DPRD provinsi diatur dalam Peraturan KPU. Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu yang berisi tentang dapil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tito mengatakan, pemerintah sependapat Komisi II DPR. Menurutnya, dapil yang sudah bagus tidak perlu diubah. Adapun dapil di empat deerah otonom baru sudah disusun dapilnya. ”Jadi kalau sudah establish dan baik, lebih baik kita fokus pada hal yang lain,” tuturnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (kanan) didampingi Wakil Mendagri John Wempi Wetipo (tengah) bersama Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Junimart Girsang menilai, putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 tentang Pembentukan Dapil tidak memerintahkan KPU untuk melakukan penataan dapil. Putusan tersebut hanya memberikan kewenangan penataan dapil dan alokasi kursi dikembalikan kepada KPU.
”Tidak semua putusan harus dilakukan, bisa dilakukan, bisa tidak, kecuali ada perintah. Tidak ada perintah KPU harus menata dapil, hanya memberikan kewenangan. Jangan bikin kerja-kerja baru,” ucapnya.
Menurut dia, KPU tidak perlu sampai membentuk tim ahli penyusunan dapil dalam menyusun dapil DPR dan DPRD provinsi. Lebih baik KPU mengajak anggota DPR untuk berdiskusi dalam menyusun dapil, bahkan tidak perlu dilakukan uji publik. Ia pun mengingatkan kepentingan anggota DPR dalam penyusunan dapil.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana rapat dengar pendapat Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa menambahkan, pemungutan suara 14 Februari 2024 sudah sangat dekat. Parpol pun sudah menyiapkan caleg yang akan ditempatkan di dapil-dapil tertentu. Kalau pun ada perubahan, sebaiknya dilakukan setelah Pemilu 2024 selesai. Ia pun mengingatkan agar KPU harus mampu menjaga suasana kebatinan parpol-parpol tersebut.
”Saya sepakat tidak usah diutak-atik dapil DPR dan DPRD provinsi, kita gunakan yang ada. Meski kami sadari banyak dapil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan dapil dan keadilan proporsionalitas,” tutur Saan.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Yanuar Prihatin, logika saat diskusi mengenai dapil di tengah tahapan pemilu dikhawatirkan hanya mengutamakan kepentingan parpol. Pertimbangannya hanya untung dan rugi sehingga pembahasannya sangat panjang. Bahkan saat pembahasan revisi UU Pemilu, pembahasan soal dapil selalu berada di akhir.
”PKB memilih status quo, kita pakai lampiran dapil yang lama supaya tidak ada guncangan,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Padahal, pasca-putusan MK terkait dapil, tak sedikit pihak yang menilai putusan itu jadi momentum untuk membenahi dapil. Salah satunya disampaikan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Menurut peneliti di Perludem, Fadli Ramadhanil, penataan dapil penting karena hasil penghitungan ulang konversi jumlah penduduk hasil sensus tahun 2020 ke 575 kursi DPR saat Pemilu 2019 menunjukkan disproporsionalitas alokasi kursi ke 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan, hanya 17 provinsi yang memiliki keberimbangan antara jumlah penduduk dan jumlah alokasi kursi DPR ke provinsi. Sementara 12 provinsi kelebihan representasi dan 5 provinsi kurang representasi.
Pemilu 2019 juga menunjukkan, terjadi ketimpangan harga suara yang signifikan. Misalnya, dapil Jawa Timur XI yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep dengan alokasi delapan kursi menjadi dapil dengan harga kursi tertinggi. Untuk mendapatkan satu kursi, perolehan suara minimalnya 212.081 suara. Sementara di dapil Kalimantan Utara, harga satu kursi 37.616 suara.
”Harga kursi di setiap dapil sudah pasti berbeda karena perbedaan jumlah pemilih dan perolehan suara yang didapatkan masing-masing parpol, tetapi komponen besaran alokasi kursi di setiap dapil akan sangat berpengaruh terhadap murah atau mahalnya harga suatu kursi dalam suatu dapil. Untuk itu, prinsip kesetaraan nilai suara dalam pembentukan daerah pemilihan sangat penting diperhatikan,” ucap Fadli.