Rapat di DPR Membahas Dugaan Kecurangan Pemilu Mendadak Dibuat Tertutup
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mendadak meminta rapat dibuat tertutup karena paparan soal dugaan kecurangan pemilu dari masyarakat sipil menyebut institusi lain.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Suasana rapat dengar pendapat umum antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Rapat membahas dugaan kecurangan pemilu awalnya berlangsung terbuka, tetapi tiba-tiba diubah menjadi tertutup.
JAKARTA, KOMPAS — Rapat dengar pendapat umum antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih membahas dugaan kecurangan pemilu yang awalnya berlangsung terbuka diubah menjadi tertutup. Bahkan, sejumlah materi yang sudah diungkapkan oleh koalisi diminta untuk tidak diberitakan oleh awak media.
Rapat dengar pendapat umum antara Komisi II DPR dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih digelar di Kompleks Perlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2023) mulai pukul 10.24. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung diikuti sejumlah perwakilan koalisi, di antaranya Perludem, Netgrit, PSHK, Kopel, dan Change.org.
Pada awal paparan, Direktur Eksekutif Netgrit Hadar Nafis Gumay menyampaikan runutan peristiwa dugaan kecurangan di tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik. Ia juga menunjukkan sejumlah percakapan di Whatsapp yang melibatkan anggota KPU RI dan anggota KPU provinsi. Namun, pada menit ke-18, seusai koalisi memaparkan tangkapan layar percakapan yang menyebut sejumlah anggota KPU tersebut, Doli menginterupsi rapat.
”Sebentar Pak, saya kira saya mohon maaf teman-teman, karena ini menyebutkan terkait dengan beberapa pihak yang tentu perlu dikonfirmasi, saya kira rapat ini kita alihkan tadinya terbuka ke tertutup saja,” kata Doli.
Papan elektronik hitung mundur pelaksanaan Pemilu 2024 terpasang di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Hadar pun menimpalinya dengan mempertanyakan urgensi rapat yang awalnya terbuka menjadi tertutup. ”Tertutup? Ini kan informasi publik kenapa tidak sebaiknya kita buka,” ujarnya.
Namun, menurut Doli, rapat mesti diubah menjadi tertutup karena paparan dari koalisi menyebut nama institusi. Ia khawatir informasi tersebut menyebar luas sebelum ada konfirmasi dari pihak-pihak yang disebut.
”Saya minta teman-teman media yang barusan tadi, karena mohon dipahami. Ini kan informasi yang didapatkan oleh teman-teman, persoalannya ini menyebutkan beberapa pihak, yang tentu kepastiannya harus dikonfirmasi, jadi tolong tadi yang ini di-take down,” ujar Doli.
Setelah pernyataan ini, rapat diubah menjadi tertutup. Awak media diminta keluar dari ruangan rapat. Rapat yang semula disiarkan langsung oleh TV parlemen, tiba-tiba tak bisa lagi disaksikan publik.
Airlangga Julio (kanan) dari Amar Law Firm and Public Interest Law Office dan Ibnu Syamsu dari Themis Indonesia Law Firm menyerahkan laporan aduan terhadap sejumlah anggota KPU RI dan KPU daerah terkait pelanggaran etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Sebelumnya, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, koalisi akan mengungkapkan dugaan kecurangan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melaksanakan tahap verifikasi parpol. Bukti-bukti tersebut di antaranya berasal dari aduan sejumlah anggota KPU daerah, terdiri dari 7 provinsi dan 12 kabupaten/kota yang telah melapor ke Pos Pengaduan Kecurangan Verifikasi Partai Politik.
Bukti-bukti yang diterima mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum berupa intimidasi, intervensi, bahkan manipulasi data melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Jajaran KPU RI memaksa penyelenggara pemilu di daerah mengubah status data hasil verifikasi keanggotaan sejumlah partai politik yang faktanya tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS). Dampaknya, parpol tersebut seharusnya berstatus belum memenuhi syarat (BMS), tetapi akhirnya MS tanpa melakukan perbaikan.
”Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendesak Komisi II DPR menggunakan Pasal 38 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Regulasi itu memberikan ruang kepada DPR untuk merekomendasikan pemberhentian anggota KPU RI jika kemudian terbukti melakukan pelanggaran dalam proses verifikasi partai politik,” ujarnya di Jakarta, Selasa (10/1/2023).