Takut Dipidana Saat Mengkritik, Akademisi Gugat Pasal Penghinaan Presiden
Permohonan uji materi pasal penghinaan presiden/wakil presiden dan lembaga negara dalam KUHP akan didaftarkan ke MK, Senin (9/1). Permohonan uji materi ini jadi yang kedua pasca-KUHP baru diundangkan pada 2 Januari lalu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akademisi dari sejumlah universitas, mahasiswa, dan para pembuat konten akan mengajukan uji materi pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ke Mahkamah Konstitusi. Mereka khawatir pasal-pasal tersebut akan mengganggu independensi akademik dan para pembuat konten saat mengkritisi pemerintah.
Salah satu kuasa hukum mereka, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, Minggu (8/1/2023), mengatakan, pihaknya akan mendaftarkan uji materi pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dan lembaga negara di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut pada Senin (9/1). Akademisi yang akan maju sebagai pemohon antara lain berasal dari pengajar pada Universitas Indonesia dan Universitas Atma Jaya.
Pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 218 dan Pasal 240 KUHP. Pasal 218 mengatur, tiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pada Ayat (2) diatur, perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak tergolong penyerangan kehormatan atau harkat/martabat.
Adapun Pasal 240 Ayat (1) KUHP mengatur, tiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara dipidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Ayat (3) mengatur, pengaduan dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Permohonan uji materi ini merupakan permohonan kedua yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) pasca-KUHP baru diundangkan pada 2 Januari lalu. Seperti diketahui, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah memberikan persetujuan bersama pada draf Rancangan KUHP menjadi undang-undang pada 6 Desember 2022. Mengacu pada pasal peralihan pada KUHP baru, aturan hukum pidana tersebut baru akan berlaku tiga tahun setelah diundangkan. Artinya, KUHP baru akan resmi diterapkan pada 2 Januari 2025.
Sebelumnya, MK juga telah menerima pendaftaran uji materi KUHP yang diajukan oleh Zico selaku advokat. Ia mempersoalkan Pasal 433 Ayat (3), Pasal 434 Ayat (2), dan Pasal 509 Huruf a dan b UU 1/2023. Pasal 433 dan 434 mengatur tentang tindak pidana penghinaan, yakni tiap orang yang secara lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya diketahui umum, dapat dipidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta). Akan tetapi, jika dilakukan untuk kepentingan umum atau membela diri, perbuatan tersebut tidak dapat dipidana (Ayat 3).
Pasal 434 Ayat (2) mengatur tentang pembuktian kebenaran tuduhan. Hal tersebut tergantung pada hakim yang memeriksa perkara, apakah memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan. Sementara Pasal 509 mengatur tentang ancaman pidana terhadap advokat yang memasukkan keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat dalam surat gugatan, tetapi diketahui bertentangan dengan keadaan sebenarnya.
MK direncanakan menyidangkan perkara ini untuk pertama kali pada 12 Januari mendatang. Majelis panel akan melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan yang diregister dengan nomor 1/PUU-XXI/2023 tersebut.
Meskipun sama-sama menyoal tentang pasal penghinaan, Zico memutuskan memisah berkas perkara tersebut. Saat ditanya alasannya, ia mengatakan, ”Karena beda kepentingan. Ini akademisi semua, mau mengkritik pemerintah. Jadi, tidak bisa disatukan,” kata Zico.
Putusan MK sebelumnya
Pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dan lembaga negara merupakan pasal yang mendapat penolakan dari berbagai pihak ketika pembahasan RKUHP dilakukan. Pasal tersebut dinilai oleh banyak kalangan berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Disebutkan, pasal tersebut tidak sesuai dengan putusan MK sebelumnya.
Lantas seperti apakah putusan MK yang dimaksud?
MK telah mengeluarkan putusan terkait pasal penghinaan presiden/wakil presiden dalam perkara nomor 013-022/PUU-IV/2016. Saat itu, pasal penghinaan presiden di KUHP lama (Pasal 134,136 bis, dan 137) dipersoalkan oleh advokat Eggi Sudjana dan aktivis Pendapotan Lubis. Pada KUHP lama, penghinaan terhadap presiden atau wapres yang dilakukan secara sengaja dipidana enam tahun penjara atau denda paling panyak Rp 4.500. Penghinaan itu juga termasuk perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempel di muka umum tulisan atau lukisan yang isinya menghina presiden/wapres.
Kedua pemohon merupakan korban langsung dari pemberlakuan tiga pasal KUHP tersebut. Eggi Sudjana dihukum tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan karena terbukti menghina presiden. Ia dihukum terkait dengan rumor penerimaan Jaguar oleh pihak di lingkungan Istana, kemudian diadukan ke kepolisian dan menjalani proses hukum hingga akhirnya keluar putusan bersalah yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung, baik dalam putusan kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
Pendapotan Lubis ditangkap dan ditahan karena mengikuti aksi protes dengan membawa poster-poster yang bertuliskan permintaan agar presiden/wakil presiden saat itu turun dari jabatan di Bundaran HI pada 16 Mei 2006. Mereka mengkritik situasi bangsa ketika itu.
Setelah melalui persidangan dengan menghadirkan ahli-ahli pidana, MK sampai pada kesimpulan bahwa ketiga pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan. Dalam pertimbangannya, MK mengingatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945). Presiden/wakil presiden dipilih oleh rakyat sehingga bertanggung jawab kepada rakyat. Martabat presiden dan wakil presiden berhak dihormati secara protokoler, tetapi kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilese (keistimewaan) yang menyebabkannya memperoleh perlakuan berbeda di hadapan hukum.
MK sepakat pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden seperti diatur di KUHP lama menyebabkan ketidakpastian hukum karena rentan multitafsir. Selain itu, pasal tersebut juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi tatkala tiga pasal pidana tersebut digunakan aparat penegak hukum menindak pengunjuk rasa.
Khusus penghinaan yang ditujukan kepada presiden/wakil presiden sebagai pejabat, MK menilai penuntutannya harus dilakukan atas dasar pengaduan atau delik aduan. Namun, penuntutan atas hal tersebut diminta MK tetap memperhatikan pertimbangan MK terkait Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP lama.