Besarnya kerugian menunjukkan korupsi masih sangat masif dan besar dampaknya terhadap bangsa dan negara. Penindakan dan pencegahan korupsi menjadi dua sisi dalam satu keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kerugian keuangan dan perekonomian negara dari kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung sepanjang 2022 mencapai ratusan triliun rupiah. Pengungkapan kasus korupsi ini diharapkan dibarengi dengan perbaikan tata kelola pemerintahan serta memperkuat pendekatan hukum terhadap kerugian perekonomian negara.
Pada Refleksi Akhir Tahun 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febri Adriansyah dalam paparannya menyampaikan, sepanjang 2022, Jampidsus Kejagung telah melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara ataupun kerugian perekonomian negara yang sangat besar, yakni total mencapai Rp 144 triliun. Kerugian negara tersebut telah dihitung para ahli yang berkompeten di bidangnya.
”Total jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp 33.093.247.274.458 dan 61.948.550,97 dollar Amerika Serikat (AS). Sementara total kerugian perekonomian negara sebesar Rp 109.550.602.210.093,” kata Febri.
Kasus korupsi dengan jumlah kerugian keuangan dan perekonomian negara yang fantastis itu antara lain kasus korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan total kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,72 triliun dan 54 juta dollar AS, kemudian kasus korupsi pengadaan pesawat udara pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011-2021 dengan total kerugian keuangan negara Rp 8,94 triliun.
Kasus besar lain di tahun 2022 adalah kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya pada Januari-Maret 2022 dengan total kerugian keuangan negara sebesar Rp 6,04 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 12,31 triliun. Kemudian terdapat kasus korupsi penyelewengan penggunaan dana PT Waskita Beton Precast tahun 2016-2020 dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,58 triliun.
Kasus berikutnya adalah kasus korupsi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit oleh PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,79 triliun dan 7,8 juta dollar AS, serta kerugian perekonomian negara sebesar Rp 73,92 triliun. Kemudian, terdapat kasus korupsi impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya tahun 2016-2021 dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,06 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 22,6 triliun.
Kasus besar lainnya yang ditangani Jampidsus adalah kasus korupsi proyek pembangunan pabrik blast furnance oleh PT Krakatau Steel tahun 2011 dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 33,09 triliun dan 61,9 juta dollar AS. Sementara total kerugian perekonomian negara dalam kasus tersebut sebesar Rp 109,55 triliun.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, ketika dihubungi pada Minggu (8/1/2023), berpandangan, Kejagung dari sisi kinerja bisa dikatakan paling baik dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain, yakni kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama jika dilihat dari besarnya kerugian keuangan negara yang ditangani. Sebab, jumlah kerugian yang ditangani sangat besar.
Meski demikian, jumlah kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara tersebut menunjukkan bahwa korupsi masih sangat masif dan besar dampaknya terhadap bangsa dan negara. Oleh karena itu, penindakan masih menjadi sebuah keharusan.
”Penindakan dan pencegahan itu merupakan satu keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, penindakan itu menjadi salah satu bentuk pencegahan korupsi untuk mencegah korupsi di masa yang akan datang,” kata Zaenur.
Pihaknya sejak awal mendukung kejaksaan agar melakukan pendekatan kerugian perekonomian negara karena selama ini hal itu jarang digunakan. Padahal, kerugian perekonomian negara telah diatur pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, sampai saat ini belum ada petunjuk teknis untuk penghitungan kerugian perekonomian negara sehingga pasal tersebut belum berhasil menjerat pelaku tindak pidana korupsi.
Sebagai contoh, kata Zaenur, dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya, kerugian perekonomian negara dianggap tidak berhasil dibuktikan sehingga ditolak majelis hakim. ”Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kejaksaan agar ke depan kerugian perekonomian negara itu bisa dituntutkan dengan catatan utama adalah penghitungannya harus memenuhi unsur nyata dan pasti,” ujar Zaenur.
Catatan lainnya, menurut Zaenur, meski angka kerugian keuangan negara yang diproses hukum sangat besar, yang berhasil dipulihkan masih sangat sedikit. Bahkan, untuk kerugian perekonomian negara masih belum ada yang dipulihkan. Oleh karena itu, pekerjaan rumah berikutnya adalah memperkuat aspek pemulihan aspek hasil kejahatan.
Terkait dengan hal itu, kejaksaan diharapkan dapat duduk bersama Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta para penegak hukum lainnya untuk merumuskan penghitungan kerugian perekonomian negara. Dengan demikian, penghitungan kerugian negara tidak dianggap hakim sebagai kerugian yang asumtif.
Adapun Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, jumlah kerugian keuangan negara ataupun kerugian perekonomian negara yang jumlahnya mencapai triliunan tersebut secara substansial bukanlah hal yang membanggakan. Sebab, sebuah negara justru dinilai hebat ketika nilai korupsinya itu semakin sedikit, bahkan tidak ada.
”Itu berarti sistem pemberantasan korupsinya memang sudah bagus, sementara negara memiliki sistem tata kelola yang baik, yang antikorupsi, tidak menyalahgunakan wewenang, dan tidak ada perbuatan yang melanggar hukum,” kata Boyamin.
Namun, dengan kondisi Indonesia yang masih banyak korupsi, pemberantasan korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara ataupun perekonomian yang sangat besar tersebut merupakan prestasi. Boyamin pun mengakui, pada tiga tahun terakhir inilah Kejaksaan Agung mampu melakukan penegakan hukum terhadap kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara hingga triliunan rupiah tersebut.
Oleh karena itu, Boyamin berharap agar penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kejagung tersebut dapat menimbulkan efek jera dan efek gentar. Sebab, jika pelaku korupsi tidak mendapatkan efek jera atau bahkan malah merajalela, usaha pemberantasan korupsi tersebut menjadi sia-sia.
Di sisi lain, Boyamin berharap agar pemerintah memperbaiki tata kelolanya, baik untuk tata kelola pemerintahan maupun tata kelola di setiap sektor, semisal di sektor perdagangan. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat tata kelola pemerintah menjadi transparan, termasuk dalam pertanggungjawaban terhadap dana atau anggaran yang digunakan pemerintah.
”Sehingga kita tidak hanya menuntut kepada kejaksaan untuk memberantas korupsi, tetapi terlebih menuntut kepada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola,” ujar Boyamin.