PSI Siapkan Langkah untuk Mentahkan Uji Materi Sistem Pemilu
PSI akan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi sistem pemilu di MK, paling lambat minggu ini. PSI merasa akan dirugikan apabila sistem proporsional terbuka diubah menjadi tertutup.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Solidaritas Indonesia akan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materi sejumlah pasal terkait sistem pemilu proporsional terbuka di Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi. PSI menolak sistem proporsional terbuka diubah. Selain perubahan bakal merugikan partai kecil, mayoritas publik masih menginginkan bisa memilih langsung calon anggota legislatif daripada partai politik saat pemilu.
Juru bicara PSI, Ariyo Bimma, menegaskan, partainya menolak wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke daftar tertutup. Untuk itu, PSI sedang berupaya mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materi soal sistem proporsional terbuka. Pengajuan paling lambat minggu ini oleh Francine Widjojo dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI.
”Kami akan mengajukan sebagai pihak terkait karena kami jelas akan terbawa-bawa apabila MK memutuskan mengubah ke sistem proporsional tertutup. Terlebih, kami sudah mempersiapkan diri mengikuti pemilu dengan sistem terbuka,” ujar Ariyo dalam diskusi publik ”Pro-Kontra Sistem Proporsional Tertutup” yang digelar Dewan Pimpinan Pusat PSI di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Dalam diskusi, hadir pula anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dan Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas.
Berdasarkan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU, pihak terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan sebuah perkara.
Ketentuan sistem pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kini tengah diuji materi ke MK. Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi pemohon perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.
Ariyo melanjutkan, PSI akan mengalami kerugian konstitusional apabila sistem proporsional tertutup diterapkan. Sebab, PSI merupakan partai kecil dan baru sehingga jika sistem proporsional tertutup diterapkan, PSI akan kalah saing dengan partai yang sudah besar.
”Padahal, kami punya sosok-sosok kader yang berkualitas,” ujar Ariyo.
PSI menolak sistem pemilu tertutup karena para pemilih akan lebih puas ketika dirinya mencoblos orang yang memang diinginkannya untuk menjadi wakil rakyat.
Selain itu, kata Ariyo, PSI menolak sistem pemilu tertutup karena para pemilih akan lebih puas ketika dirinya mencoblos orang yang memang diinginkannya untuk menjadi wakil rakyat. Itu sejalan dengan hasil survei yang pernah dilakukan SMRC tentang keinginan publik untuk memilih calon anggota DPR dan DPRD secara langsung.
Kendati menolak, Ariyo mengatakan, PSI senang karena tema sistem pemilu menjadi diskursus publik. Dengan demikian, banyak pemilih pemula yang membicarakannya dan secara tidak langsung menaruh perhatian terhadap tema tersebut.
Selain PSI, delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR juga menolak wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke daftar tertutup. Kedelapan parpol itu adalah Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Mereka mendesak agar MK tetap konsisten dengan putusan MK Nomor 22—24/PUU-VI/2008 yang mengamanatkan sistem pemilihan proporsional terbuka. Konsistensi itu penting sebagai wujud komitmen dalam menjaga dan mengambil peran memajukan demokrasi Indonesia.
Sirojudin Abbas mengatakan, berdasarkan hasil survei SMRC pada Agustus 2022, sebanyak 70 persen publik menginginkan anggota DPR dan DPRD dipilih secara langsung, bukan oleh partai. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingginya kepercayaan kepada individu politisi.
Berdasarkan hasil survei, masyarakat merasa terwakili di DPR oleh anggota DPR, bukan oleh parpol. Abbas mengatakan, itu menunjukkan bahwa masyarakat dari struktur sosial berbeda-beda mulai belajar terkait demokrasi di Indonesia. Kendati tidak pernah dilibatkan dalam perdebatan, masyarakat melihat opini elite yang mengatakan bahwa memilih langsung anggota legislatif lebih menjamin akuntabilitas pemilihan langsung.
Abbas mengatakan, perdebatan sistem pemilu seharusnya selesai di ranah DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Dengan demikian, kata Abbas, persoalan itu tidak perlu dibawa ke MK.
Namun, menurut Abbas, perdebatan di ranah pembentuk undang-undang pun harus melibatkan publik, baik masyarakat umum maupun ahli, agar tidak eksklusif dibahas partai politik dan politisi. Sebab, selama ini, masyarakat hanya menjalankan apa yang menjadi konsensus elite.
Titi Anggraini juga mengatakan, persoalan sistem pemilu seharusnya tidak dibawa ke MK karena sudah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Problemnya, baik DPR maupun pemerintah tidak membentuk diskursus soal sistem pemilu itu sehingga masyarakat dipaksa mencari solusi dan pergi ke MK. Padahal, menurut dia, apabila diskursus dilakukan di antara pembentuk UU secara terbuka dengan melibatkan masyarakat, upaya pengujian ke MK tidak akan ada.
Lantaran MK sudah menerima permohonan uji materi, Titi mengingatkan, lembaga tersebut harus fokus menanganinya dalam ruang konstitusi yang tersedia. Kapasitas MK diingatkannya hanya menegaskan soal asas dan prinsip dalam memilih sistem, bukan memilihkan sistem yang harus diterapkan.
”MK jangan terjebak dalam pergulatan kontestasi politik. MK harus kembali ke titahnya sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak masuk dalam ranah politik yang seharusnya jadi ranah pembentuk undang-undang,” kata Titi.
Titi mencontohkan, batasan itu diterapkan MK ketika lembaga tersebut tidak memilihkan model pelaksanaan pemilu serentak, tetapi menekankan prinsip-prinsip dalam memilih model keserentakan pemilu.
Hal itu dituangkan dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Saat itu, MK menekankan lima hal yang harus dipertimbangkan oleh DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang ketika memilih model keserentakan.
Menurut Titi, MK perlu melakukannya lagi dengan mengingatkan bahwa dalam memilih sistem pemilu, ada beberapa pakem atau asas yang sejalan konstitusi yang perlu ditaati. Selain agar MK bekerja di ranahnya, pembatasan diri itu bertujuan agar kepercayaan publik tetap terjaga.
Terlebih, MK sedang mendapat sorotan dari publik setelah penggantian hakim Aswanto yang disebut Titi sebagai tindakan ”barbar”. Ia mengingatkan agar MK tidak menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan legislatif atau bahkan partai penguasa.
Kalau MK masuk pusaran politik, konsistensi lembaga tersebut dan keadilan Pemilu 2024 dipertaruhkan.
”Kalau MK masuk pusaran ini, tidak cuma mempertaruhkan konsistensi mereka, tetapi juga keadilan Pemilu 2024. Sebab, MK pasti akan menangani semua perselisihan hasil pemilu. Kalau orang sudah tidak percaya, efek lanjutannya akan buruk,” ujar Titi.