Bertahan di Tengah Badai Politik dan Ancaman Resesi
Wacana penundaan pemilu tak juga mereda. Sementara itu, ancaman resesi global membayangi. Untuk menjamin Pemilu 2024 berjalan lancar, KPU harus mampu menjaga kredibilitas proses pemilu.
Wacana penundaan pemilu dan penggunaan politik identitas diprediksi akan menghantui masa jelang Pemilihan Umum 2024. Jika kedua hal itu tidak diantisipasi, stabilitas politik dan ekonomi menjadi ancamannya. Situasi akan semakin buruk di tengah tantangan geopolitik global dan pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Komitmen elite politik dan penyelenggara pemilu untuk menjaga tegaknya konstitusi dan demokrasi sangatlah dibutuhkan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 18 partai politik dan enam parpol lokal menjadi peserta Pemilu 2024. Penetapan parpol peserta pemilu ini sempat menuai polemik karena ada dugaan manipulasi dalam proses verifikasi faktual peserta pemilu.
Sementara itu, wacana penundaan pemilu tak pernah berhenti berembus. Sejumlah elite, mulai dari menteri, ketua umum parpol, hingga ketua lembaga tinggi negara, secara terbuka melempar wacana tersebut.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk ”Badai Politik di Tengah Ancaman Resesi” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (4/1/2023) malam, mengatakan, upaya menunda pemilu ini menjadi salah satu gejala yang dikhawatirkan akan memunculkan konflik pada 2023 sampai 2024.
Baca juga : NU Ingin Pemilu 2024 Berlangsung Rileks Tanpa ”Baper”
Sebab, berdasarkan temuan Indikator Politik Indonesia, persentase mereka yang menolak penundaan pemilu sangat besar. Angkanya mencapai 81 persen dari total suara publik secara nasional. Artinya, jika ada sebagian elite yang memaksakan penundaan pemilu, itu akan bertentangan dan berbeda kepentingan dengan 81 persen suara publik tersebut.
”Nah, kalau misalnya (upaya menunda pemilu) dipaksakan, itu akan bertentangan dengan aspirasi 81 persen. Artinya, delapan dari 10 orang Indonesia menolak. Itu terlalu berisiko dan itu bisa membuat backlash. Saya khawatir akan menimbulkan instabilitas politik, yang kemudian berujung pada instabilitas ekonomi,” ujar Burhanuddin.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula sebagai narasumber Ketua KPU Hasyim Asy’ari, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, dan pengajar pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
Berdasarkan temuan Indikator Politik Indonesia, persentase mereka yang menolak penundaan pemilu sangat besar. Angkanya mencapai 81 persen dari total suara publik secara nasional.
Tak berhenti di sana. Burhanuddin juga khawatir selanjutnya ada calon presiden yang mempunyai dukungan kuat, tetapi ada faktor khusus yang membuat capres itu tidak masuk dalam gelanggang. Apalagi, capres itu merasa seolah-olah dizalimi meskipun kenyataannya tidak. Namun, dalam politik, sering kali persepsi lebih penting ketimbang fakta itu sendiri.
Karena itu, menurut dia, kekhawatirannya sebetulnya bukan pada hari-H pelaksanaan pemilu, tetapi justru pada proses menuju 2024. Apalagi, selain ada upaya segelintir elite untuk menunda pemilu, ada pula ancaman politik identitas jelang 2024. Politik identitas ini akan sangat berisiko ketika, misalnya, para calon, baik capres maupun parpol, menggunakannya sebagai bahan bakar untuk mencari suara.
Patut diingat bahwa politisi hanya mengenal dua kata dalam kamus politik mereka, menang atau kalah. Untuk itu, politik identitas sangat mungkin dipakai oleh siapa pun calon yang memiliki kesempatan untuk memaksimalkannya.
”Yang penting adalah penyelenggaranya, KPU, Bawaslu, plus pemerintah, punya aturan main atau tidak? Kapan sesuatu itu disebut sebagai politik identitas dan tidak boleh, dan kapan dibolehkan? Dan, kalau misalnya tidak boleh, ada tidak law enforcement-nya? Nah, kalau misalnya tidak boleh, ada tidak law enforcement-nya? Kalau tidak ada law enforcement-nya, itu sinyal yang buruk,” ujarnya.
Rentan tergoda
Titi Anggraini sependapat dengan Burhanuddin soal ancaman politik identitas jelang 2024. Apalagi, masa kampanye Pemilu 2024 sangat pendek, yakni 75 hari. Dalam 75 hari itu, berbagai kejutan sangat mungkin muncul, misal kehadiran calon yang tidak pernah masuk dalam radar survei.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena otoritas pencalonan itu ada di partai dan sangat mungkin pula mereka tergoda untuk menggunakan pendekatan-pendekatan populis, identitas politik, guna mendapat dukungan dari publik.
Selain itu, durasi menuju penetapan calon sangat panjang. Kira-kira penetapan calon akan ada pada pertengahan November 2023. Artinya, ada jeda 11 bulan hingga hari pemungutan suara. Dalam 11 bulan ini, banyak hal bisa terjadi. Parpol peserta pemilu sudah ada, tetapi capresnya belum ada. Parahnya lagi, mereka sudah melakukan safari politik ke mana-mana dan narasi sudah dibangun.
Baca juga : Muhammadiyah: Pemilu untuk Membangun Persatuan dan Kemajuan Bangsa
”Nah, kalau kemudian dalam perjalanan terjadi dinamika yang dianggap merugikan atau menguntungkan salah satu calon, keberpihakan dan ketidakberpihakan pemerintah dan seterusnya, itu bisa menjadi masalah. Untuk itu, perlu diantisipasi KPU dan Bawaslu,” ujar Titi.
Titi mengingatkan, kisruh yang terjadi dalam proses verifikasi faktual parpol harus menjadi evaluasi bagi KPU dan Bawaslu. KPU harus mampu memastikan pemilu berjalan sesuai jadwal dan juga menjaga kredibilitas proses pemilunya. Transparansi dan akuntabilitas tidak boleh hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada proses di dalamnya.
Selain itu, penyelenggara pemilu juga dihadapkan pada tantangan menjaga integritas mereka. Jangan sampai penyelenggara pemilu justru memberi ruang atau celah kepada orang-orang yang masih melihat peluang untuk menunda pemilu.
Berbagai ancaman jelang Pemilu 2024 tersebut juga menjadi perhatian para pengusaha. Apalagi, menurut Shinta Kamdani, tahun 2023 dan 2024 akan menjadi tahun yang cukup sulit secara ekonomi karena banyak sekali diliputi ketidakpastian.
Bagi para pengusaha, jelang 2024, yang terpenting adalah semua pihak mampu menjaga stabilitas politik.
Untuk itu, bagi para pengusaha, jelang 2024, yang terpenting adalah semua pihak mampu menjaga stabilitas politik. Tahun pemilu jangan sampai menimbulkan masalah-masalah terkait kepastian hukum ataupun keamanan. Dengan tidak ada jaminan stabilitas politik, ini tentu akan menambah kekhawatiran para pengusaha.
”Jadi, sebenarnya kami mau jangan sampai dengan kondisi yang sulit tahun depan, ditambah kondisi politik yang kisruh, banyak sekali ketidakpastian sehingga ini kemudian menambah beban lagi yang lebih berat dan ini tidak hanya berdampak pada pengusaha di dalam negeri, para pekerjanya, tetapi juga para investor dari luar,” tutur Shinta.
Baca juga : Hadapi Ancaman Resesi Global, Belanja APBN Perlu Lebih Selektif
Tidak bisa bekerja sendiri
Rahmat Bagja juga memprediksikan politisasi identitas yang sempat terjadi pada Pemilu 2019 akan terulang kembali pada 2024. Hal ini didasari situasi sekarang ketika sejumlah tokoh nasional belum ditetapkan sebagai capres, tetapi sudah mencalonkan diri. Tak disangka-sangka, ini juga telah memunculkan berbagai perdebatan di media sosial, entah saling menyalahkan satu sama lain ataupun sampai menyebut ras dan lain-lain.
Ia mengakui, pada periode Bawaslu sebelumnya, ada hal yang belum selesai tentang pengawasan media sosial. Kala itu, pengawasan medsos agak lama karena Bawaslu harus tekntokan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemekominfo). Padahal, eskalasi konflik di media sosial begitu cepat sehingga terjadi polarisasi.
”Nah, itu yang menjadi permasalahan kami ke depan, dan juga menjadi pekerjaan rumah Bawaslu ke depan. Kami saat ini sedang bentuk satuan tugas dengan Kemenkominfo untuk mengatasi itu,” ucap Bagja.
Seiring dengan itu, Bawaslu akan memastikan KPU melaksanakan penyelenggaraan pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, Bawaslu juga akan memastikan semua peserta pemilu nantinya mengikuti imbauan KPU dan Bawaslu.
Hasyim Asy’ari berpandangan, pemilu merupakan arena konflik yang dianggap sah dan legal untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Namun, yang tidak diperbolehkan adalah menggunakan instrumen kekerasan dalam pemilu, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Semua itu memiliki ancaman sanksinya.
Ia pun menegaskan bahwa tahapan pemilu berjalan terus. KPU telah diberikan amanah oleh undang-undang untuk memastikan setiap tahapan berjalan sesuai yang dijadwalkan. Semua tahapan pun sudah dilakukan, misalnya penetapan parpol peserta Pemilu 2024, pemutakhiran daftar pemilih, hingga anggaran juga diyakini aman.
Baca juga : Data Hasil Verifikasi Faktual Parpol Diduga Dimanipulasi
Ia sependapat bahwa risikonya sangat besar jika pemilu tidak terjadi berjalan lima tahunan sesuai amanat konstitusi. Risikonya sangat besar, mulai dari risiko konstitusi, risiko politik, termasuk risiko ekonomi.
”Namun, kami hanya manusia biasa di KPU. Karena itu, kami juga mengundang media, pemerhati pemilu, Bawaslu, tolong kami selalu diingatkan. Sekali lagi, kami mengelola sekian banyak orang, juga dengan berbagai macam cara berpikir, kami mengusahakan agar cara pandang sama, penafsiran dan pemahaman tentang penyelenggaraan pemilu juga sama, tetapi juga tolong kami dikawal karena kami masih manusia biasa agar integritas tetap terjaga,” kata Hasyim.