Tahun Berganti, Aturan Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Tak Juga Terwujud
Di tahun 2023, pemerintah akan menunjuk 170 penjabat kepala daerah. Namun, petunjuk teknis penunjukan penjabat kepala daerah, seperti diamanatkan Mahkamah Konstitusi dan ORI, masih belum juga diterbitkan pemerintah.
Di tengah polemik yang belum tuntas, gelombang pengangkatan penjabat kepala daerah akan segera kembali dimulai di tahun 2023. Berbagai masalah menyeruak saat gelombang pengangkatan penjabat kepala daerah di 2022 karena minimnya akuntabilitas dan transparansi.
Sebanyak 170 kepala daerah akan berakhir masa jabatannya pada 2023. Sebagai dampak dari penyerentakan pemilihan kepala daerah di 2024, pemerintah akan mengangkat penjabat kepala daerah. Dibandingkan tahun 2022, jumlah penjabat kepala daerah yang dilantik tahun ini akan lebih banyak. Sebanyak 17 penjabat gubenur, dan 115 penjabat bupati dan 38 wali kota akan kembali ditunjuk.
Padahal, warisan masalah di gelombang pertama pengangkatan 101 penjabat kepala daerah tahun 2022 belum tuntas. Salah satunya ketiadaan aturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada 21 April 2022 menjadi pangkal persoalannya.
Dalam pertimbangan putusannya, MK memerintahkan pemerintah untuk menerbitkan peraturan mengenai pengisian penjabat kepala daerah. Aturan pelaksana itu penting untuk menyediakan mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas sehingga pengisian penjabat kepala daerah tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Peraturan pelaksana juga dapat memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme yang dilakukan sudah berlangsung transparan dan akuntabel. Bahkan, MK secara khusus menyoroti unsur prajurit TNI dan anggota Polri aktif tidak dapat menjabat sebagai penjabat kepala daerah.
Tak hanya MK, pada Juli 2022, Ombudsman RI telah merilis Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LHAP) terkait pengaduan soal pengangkatan penjabat kepala daerah. Di dalamnya, ORI memaparkan adanya temuan malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat.
ORI meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk melaksanakan tiga tindakan korektif, di antaranya menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak pelapor, meninjau kembali pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif, serta menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah terkait proses pengangkatan, ruang lingkup, kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian kepala daerah.
Namun, tak semua tindakan korektif dari ORI ini dijalankan Mendagri. Saran perbaikan untuk membuat peraturan pemerintah tak dilaksanakan. Bahkan, hingga saat ini, Peraturan Menteri Dalam Negeri yang dipilih pemerintah untuk menjadi payung hukum pengangkatan kepala daerah belum ada.
”Saat ini, permendagri yang diusulkan Kemendagri sedang dibahas bersama kementerian dan lembaga terkait,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan, Rabu (4/1/2023).
Sebelumnya dalam wawancara pada 13 Juli 2022, Benni menyebutkan aturan teknis yang direncanakan dalam format permendagri itu drafnya sudah 90 persen selesai disusun. ”Draf finalnya sudah 90 persen, tinggal penajaman untuk memasukkan pertimbangan dari putusan Mahkamah Konstitusi. Hal itu menjadi perhatian Mendagri karena kami diminta menyusun aturan teknis agar proses penunjukan kepala daerah lebih demokratis, transparan, dan akuntabel,” katanya (Kompas.id, 13/7/2022).
Baca juga: Aturan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Rampung Sebelum Agustus
Pasar gelap
Syahrul dari LBH Banda Aceh bahkan menyebut pengangkatan penjabat kepala daerah ibarat pasar gelap. Secara khusus, katanya, sebagian masyarakat trauma terhadap pengangkatan Mayor Jenderal TNI (Purn) Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh pada 4 Juli 2022.
Menurut syahrul, pengangkatan Marzuki dilakukan secara senyap dan brutal. Sebab, pada 1 Juli 2022, Marzuki baru mengundurkan diri dari TNI aktif. Pada tanggal yang sama, dia diangkat menjadi Staf Ahli Kemendagri.
Pengangkatan Marzuki sebagai Staf Ahli Mendagri dilakukan tanpa melalui proses terbuka dan kompetitif. Ini bertentangan dengan Pasal 109 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 157 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Tiga hari kemudian, baru dia diangkat menjadi Penjabat Gubernur Aceh.
”Pengangkatan bersifat senyap, seolah mengakali aturan TNI aktif tidak bisa menjadi penjabat gubernur. Bagaimana kemudian masyarakat sipil bisa memberikan masukan? Ketika prosesnya saja bagaikan pasar gelap,” ujar Syahrul.
Pola yang sama kemudian diterapkan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Pidie. Dua penjabat bupati di wilayah tambang itu diangkat dari calon yang berlatar belakang dari Badan Intelijen Negara (BIN). Pengumuman penunjukan penjabat kepala daerah itu selalu dilakukan pada last minute sehingga tak menyisakan ruang partisipasi publik.
Bagi masyarakat Aceh, katanya, penempatan penjabat berlatar belakang BIN ini menyisakan rasa trauma. Seolah, pemerintah pusat tidak memercayai integrasi Aceh setelah Perjanjian Helsinki. Ini juga menyisakan pertanyaan lanjutan, mengapa di daerah kaya tambang ditugaskan sosok berlatar belakang BIN.
”Dalam perjalanannya, mereka juga dengan mudahnya mengubah perizinan tambang. Apakah agar eksploitasi tambang di Aceh semakin lancar?” katanya.
Pelibatan DPRD juga tidak dirasakan dampaknya terhadap peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Menurut Syahrul, DPR Aceh tidak pernah menggelar konsultasi publik dengan masyarakat sipil Aceh. Bahkan, nama-nama penjabat kepala daerah cenderung muncul di akhir sehingga publik tetap sulit memberikan masukan.
Kini, bersama koalisi masyarakat sipil, LBH Aceh sedang menggugat keputusan administrasi pengangkatan sejumlah penjabat kepala daerah oleh Kemendagri ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada Kamis (5/1/2023), sidang perdana dengan agenda pembacaan gugatan itu berlangsung secara daring.
Pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili, mengatakan, pembacaan gugatan menandai proses pemeriksaan terhadap dugaan perbuatan melawan hukum dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
Sebelumnya, pada 28 November 2022, LBH Jakarta mewakili tiga orang individu, warga masyarakat, dan Yayasan Perludem mendaftarkan gugatan dugaan perbuatan melawan hukum penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang dilakukan Presiden dan Mendagri dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah pengangkatan penjabat dilakukan tanpa terlebih dahulu membentuk peraturan teknis pelaksanaan mengenai tata laksana penjabat kepala daerah yang diamanatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut penggugat, tindakan itu melanggar ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Rekomendasi akhir
Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, mengingatkan kepada Kemendagri untuk tidak terus-menerus mengabaikan putusan MK dan saran perbaikan dari ORI. Jika mau legawa, katanya, putusan MK dan saran dari ORI adalah petunjuk untuk berjalan pada prinsip-prinsip demokrasi, konstitusi, dan negara hukum.
Karena LAHP dan saran perbaikan dari ORI tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh Kemendagri, dalam waktu dekat ini ORI akan mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi akan dikirimkan kepada Presiden dan DPR. ORI akan mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk tidak melakukan pembiaran terhadap mekanisme pengangkatan yang mengandung unsur malaadministrasi.
”Pengangkatan penjabat jangan dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, solid, dan sistematis. Payung hukum yang dipakai oleh Kemendagri ini sudah banyak ketinggalan zaman. Jangan sampai Presiden membiarkan hal itu,” katanya.
Dia menyayangkan, langkah Mendagri yang disebutnya sebagai bentuk otokrasi negara yang tanpa kontrol. Praktik mengabaikan putusan MK dan saran dari ORI itu dinilai mengabaikan fatsun atau etika bernegara yang baik. Etika yang dimaksud adalah sikap menghormati hubungan dengan lembaga negara lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Produk yang dikeluarkan oleh lembaga negara harus dihargai dan dipatuhi.
”Kalau Mendagri tidak mau melaksanakan saran perbaikan dari ORI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik, artinya dia sedang melawan hukum. Apalagi, jika itu dibiarkan oleh Presiden,” ungkapnya.
Robert berharap langkah pamungkas yang akan dilakukan oleh ORI itu bisa dijalankan oleh Presiden dan DPR. Isi dari rekomendasi akhir itu adalah pengakuan kesalahan dan permintaan maaf dari Mendagri selaku pihak terlapor, dan meminta Presiden menjatuhkan sanksi atas kesalahan tersebut. Langkah tegas itu ditempuh karena langkah korektif yang sebelumnya dilakukan ORI tidak dipatuhi Mendagri hingga tenggat berakhir. Rekomendasi ORI ini juga bersifat final dan tidak bisa diuji melalui proses hukum lain.
Menurut dia, seharusnya Presiden memiliki otoritas penuh untuk melakukan tindakan keras terhadap Mendagri. Pemerintah diingatkan agar tidak terjebak pada jebakan informalitas. Tanpa aturan pelaksana yang jelas, yang tercipta adalah ruang gelap kekuasaan. Akibatnya, kepentingan politik akan merajalela. Sementara itu, jika ada peraturan pelaksana yang kuat dan sistematis, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik akan tercipta.
Selain Presiden, ORI juga akan mengirimkan rekomendasi akhir kepada DPR. Sebagai cabang kekuasaan legislatif, DPR berwenang melakukan fungsi pengawasan dan check and balances agar ruang gelap pengangkatan penjabat kepala daerah itu disudahi.