Masyarakat Sipil Siap Menguji Perppu Cipta Kerja ke MK
Selain Yayasan Mega Bintang 1997 Surakarta, sejumlah aktivis buruh, dosen, dan mahasiswa juga menyiapkan permohonan uji formil Perppu No 2/2022. PBHI dan mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana juga sedang bersiap.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Gambar kartun berisi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dipasang oleh para aktivis dari gerakan #BersihkanIndonesia saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat sipil sudah bersiap-siap untuk menyoal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, baik melalui permohonan uji formil maupun uji materiil. Langkah tersebut ditempuh karena MK dinilai berwenang menguji perppu, baik keabsahan pembentukannya maupun substansi yang diatur di dalamnya.
Salah satu pihak yang segera mendaftarkan pengujian Perppu 2/2022 tersebut adalah Boyamin Saiman selaku ketua Yayasan Mega Bintang 1997 Surakarta. “Secara formil kami akan mempersoalkan penerbitan perppu, secara materiil kami akan mempersoalkan pasal-pasal di dalam perppu terutama terkait aturan pemberian pesangon kepada buruh yang di-PHK maksimal sembilan bulan gaji yang bersangkutan. Ini sebuah kedzoliman,” kata Boyamin sambil mengungkapkan pihaknya juga sudah sering mengadvokasi buruh-buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut Boyamin, penerbitan Perppu 2/2022 juga tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa yang menjadi syarat penerbitan Perppu.
Sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan tiga syarat sebuah keadaan dapat dikategorikan sebagai “kegentingan yang memaksa” seperti diatur di Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945, yaitu: adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga ada kekosongan hukum atau undang-undang yang ada belum memadai; serta kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena prosesnya yang lama.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Para aktivis dari gerakan #BersihkanIndonesia bersiap menggelar aksi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di depan Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Selain Yayasan Mega Bintang 1997 Surakarta, sejumlah aktivis buruh, dosen dan mahasiswa juga sedang menyiapkan permohonan uji formil Perppu 2/2022. Salah satu advokat yang biasa beracara di MK, Viktor Santoso Tandiasa, mengungkapkan, sudah menerima kuasa untuk melakukan pengujian tersebut. “Saat ini sedang disiapkan (berkas uji formilnya),” kata Viktor.
Selain mempertanyakan syarat kegentingan memaksa Perppu yang tak terpenuhi, pihaknya akan mempersoalkan tidak adanya partisipasi publik dalam perbaikan UU Cipta Kerja seperti yang diamanatkan MK dalam putusan 91/2020. Saat ini, pihaknya masih mengkaji substansi perppu, dibandingkan dengan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun.
Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) juga berencana melakukan hal yang sama. Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani mengungkapkan niat lembaganya menguji Perppu. "Iya, tapi kami masih olah dulu substansinya," ujarnya.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana dengan Integrity Law Firm-nya juga mempersiapkan berkas permohonan pengujian Perppu 2/2022. Menurut dia, MK semestinya membatalkan Perppu 2/2022. Sebab, dengan menerbitkan perppu, pemerintah tidak melaksanakan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2022 tentang UU Cipta Kerja.
“Namun, dengan diberhentikannya Aswanto (hakim konstitusi), salah satunya karena ikut membatalkan UU Cipta Kerja, menarik melihat bagaimana dampaknya pada para hakim konstitusi, jika dihadapkan pengujian Perppu Cipta Kerja tersebut,” kata Denny.
Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014, Denny Indrayana, saat ditemui pada Minggu (11/12/2022).
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberhentikan hakim konstitusi Aswanto di tengah masa jabatannya. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto sempat melontarkan alasan pemberhentian yang bersangkutan, yaitu Aswanto tidak memiliki komitmen untuk mengamankan keputusan politik DPR salah satunya UU Cipta Kerja.
Denny juga tidak sepakat dengan pendapat bahwa Perppu Cipta Kerja menggugurkan putusan MK seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya. Perppu seperti memanfaatkan konsep “kegentingan yang memaksa” untuk menegasikan putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji proses Pembentukan UU Cipta Kerja yang oleh MK akhirnya diputuskan inkonstitusional bersyarat.
Ia menilai, Presiden telah melecehkan putusan tersebut dan MK secara kelembagaan. Presiden juga dinilai tidak menghormati putusan Lembaga peradilan. “Presiden telah melakukan contempt of the Constitutional Court,” ujarnya.
MK dalam putusan 91/2020 menilai, proses Pembentukan UU Cipta Kerja cacat formal karena belum ada standar baku pembuatan omnibus law dan tidak mengindahkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). MK juga memerintahkan agar pembentuk undang-undang memperbaiki proses Pembentukan UU Cipta Kerja dengan memerhatikan putusan MK tersebut.
RHAMA PURNA JATI
Ribuan mahasiswa dan buruh berkumpul di Halaman Kantor DPRD Sumatera Selatan Di Palembang, Kamis (8/10/2020). Mereka menuntut DPRD Sumsel menyampaikan aspirasi mereka menolak RUU Cipta Kerja. Mereka menilai RUU ini akan merugikan buruh.
DPR Mesti Menolak
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, sepakat jika perppu dapat diuji ke MK secara formil. Artinya, para pihak bisa mempersoalkan apakah syarat-syarat penerbitkan perppu seperti diungkapkan dalam pertimbangan putusan MK 138/2009 terpenuhi ataukah tidak. Misalnya, terkait kekosongan hukum, apakah benar ada hal tersebut terjadi sebab UU Cipta Kerja masih dinyatakan berlaku meskipun MK menyatakan proses pembentukannya tidak sesuai dengan konstitusi.
Begitu pula mengenai tenggat waktu yang diberikan MK selama dua tahun untuk melakukan perbaikan, menurut Allan, hal tersebut sudah sangat memadai untuk menghasilkan produk hukum dengan proses yang lebih baik. Namun, ia pesimis MK akan mampu menangani perkara tersebut dengan semestinya. Artinya, dengan mengacu pada putusan MK sebelumnya.
Oleh karena itu, ia mendorong agar DPR menolak mengesahkan perppu tersebut menjadi undang-undang pada masa sidang berikutnya. Sebab, perppu telah menghilangkan kesempatan DPR selaku pemegang daulat rakyat untuk berpartisipasi Menyusun UU Cipta Kerja.
“Dikeluarkannya perppu Cipta Kerja sama saja dengan menghina DPR karena perintah MK adalah UU Cipta Kerja diperbaiki oleh pemerintah dan DPR, terutama dengan membuka partisipasi publik kembali,” kata dia.