Ahli Pidana Soroti Tindakan Kuat Ma’ruf Menutup Pintu Sebelum Pembunuhan
Ahli pidana Muhammad Arif Setiawan dihadirkan sebagai saksi yang meringankan Kuat Ma’ruf. Ia mengatakan, perlu pembuktian untuk melihat sikap batin Kuat Ma’ruf saat menutup pintu sebelum pembunuhan Nofriansyah Yosua.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli pidana menyoroti tindakan Kuat Ma’ruf menutup pintu rumah sebelum Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dibunuh. Tindakan itu bisa bermakna sekadar menutup pintu, tetapi bisa juga bentuk turut serta melakukan tindak pidana sesuai Pasal 55 Ayat 1 Kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Penyertaan. Semuanya kini bergantung pada pembuktian.
Hal ini disampaikan ahli pidana Muhammad Arif Setiawan dalam sidang perkara pembunuhan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Kuat Ma’ruf, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023). Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini didatangkan tim penasihat hukum terdakwa sebagai salah satu saksi yang meringankan (A de charge).
Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Wahyu Iman Santosa, Arif mengatakan, sikap batin seseorang menentukan arti dari tindakan yang dilakukannya. Tindakan menutup pintu sebelum terjadinya tindak pidana, misalnya, bisa saja hanya sekadar tindakan yang dimaksudkan agar ruangan tertutup.
”Memahami sikap batin, kan, ada pada diri, pada niat si pelaku. Ketika pelaku melakukan perbuatan tertentu, seperti menutup pintu, jendela, dan gorden, kita lihat sikap batinnya apa. Bisa jadi hanya sekadar menutup pintu, bisa juga di luar itu,” ucap Arif.
Menurut Arif, harus dibuktikan apakah tindakan tersebut hanya tindakan menutup pintu atau ada kaitannya dengan peristiwa lain.
Adapun Kuat Ma’ruf didakwa Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Merampas Nyawa Orang Lain juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP tentang Penyertaan.
Anggota tim JPU, Zulkarnain, kemudian bertanya kepada Arif tentang tindakan menutup pintu yang bertujuan agar menutupi suatu tindak pidana.
”Apabila A menganiaya C dengan lokasi di kamar kos. Ketika A akan memukul C, C ribut, dan C menutup pintu. Sikap batinnya agar teriakan korban tidak terdengar, apakah B turut serta dalam tindakan pidana?” tanya Zulkarnain.
”Berarti ada kesepakatan antara A dan B bahwa mereka sikap batinnya adalah mewujudkan delik, yaitu menganiaya C. Jadi, itu harus dibuktikan dahulu. Bukan karena menutup pintu atau jendela serta-merta ia menjadi turut serta,” tutur Arif.
Arif menambahkan, apabila sudah terbukti di persidangan dan hakim juga sudah menilainya, sikap batin yang dimaksudkan bagian dari perbuatan yang dilakukan oleh si A. ”Maka, itu ada turut serta,” ucapnya.
Terkait penyertaan, Arif menjelaskan, harus ada dua pihak yang memiliki kesepakatan bersama atau kesepahaman (meeting of minds) untuk mewujudkan tindak pidana. Tidak masalah apabila tindak pidananya berbeda-beda. Yang penting, kata Arif, pelaku satu dan lainnya punya kehendak sama untuk mewujudkan delik, misalnya pembunuhan.
”Kalau ada meeting of minds berarti kedua pihak sepakat dan terjadinya delik adalah sesuatu yang sama-sama dipahami,” ucap Arif.
Ia juga menjelaskan, pembuktian meeting of minds bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembuktian dilihat dari sisi luar perbuatannya, soal apa saja yang dilakukan pelaku. Kedua, kesepahaman yang berkaitan dengan sikap batin. Apabila bentuknya adalah kesengajaan, kata Arif, ada hubungannya antara sikap batin dan perbuatan.
”Meeting of minds itu sikap batin dan perbuatan harus menuju hal yang sama, yaitu terwujudnya delik. Sikap batin mau tidak mau membuktikan apa yang sebenarnya dilakukan dan apa yang dipikirkan pelaku saat melakukan tindak pidana. Pembuktian ada pada diri pelaku,” ujar Arif.
Jika pengakuan atau keterangan pelaku tidak bisa didapatkan, Arif menekankan bahwa pembuktian bisa didalami lewat alat bukti lain. Alat bukti itu harus menjelaskan sejauh mana keterlibatan pelaku satu dan pelaku lain.
Lantas, apakah semua orang yang ada pada waktu dan di tempat kejadian perkara dapat dikategorikan sebagai pihak yang turut serta? Menurut Arif, kata kuncinya tetap pada meeting of minds. Bentuk turut serta mewajibkan adanya hal itu. Dengan demikian, tidak semua yang berada dalam satu tempat terjadinya kejahatan itu bisa disebut turut serta.
”Kalau tidak ada meeting of minds, berarti tidak turut serta. Semua itu tergantung pada pembuktian saja,” ucap Arif.
Kuat Ma’ruf diketahui berada di rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga saat Brigadir J tewas, 8 Juli 2022.
Arif juga mengatakan, apabila ada seseorang yang mengetahui ada rencana melakukan tindak pidana tertentu, tetapi dia tidak mencegahnya, orang itu tidak dikategorikan turut serta melakukan tindak pidana.
Ketua majelis hakim Iman Wahyu Santosa mengakhiri sidang setelah Kuat Ma’ruf tidak memberikan tanggapan atas keterangan saksi. Sidang dengan agenda pemeriksaan Kuat Ma’ruf akan digelar pada Senin (9/1/2023).