Soal Perubahan Sistem Pemilu, KPU Diminta Fokus Laksanakan Tahapan Pemilu
KPU dinilai tidak tepat menyampaikan gagasan perubahan sistem pemilu. Namun, sebagian parpol ada yang mendukung gagasan KPU agar sistem pemilu diubah dari proporsional terbuka menjadi tertutup, salah satunya PDI-P.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tahapan Pemilu 2024 yang semakin kompleks, Komisi Pemilihan Umum seharusnya fokus melaksanakan tahapan dan tidak melempar wacana di luar kewenangannya sebagai pelaksana undang-undang. Pernyataan tentang kemungkinan perubahan sistem pemilu justru mengundang perdebatan dan bisa menggerus citra KPU yang kini menjadi sorotan karena dugaan manipulasi hasil verifikasi partai politik.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar Nafis Gumay, mengatakan, KPU harus fokus melaksanakan tahapan pemilu yang semakin kompleks. Pernyataan-pernyataan yang bukan menjadi kewenangannya sebagai pelaksana undang-undang perlu dihindari karena bisa memperumit situasi. Apalagi, saat ini KPU disorot publik karena dugaan manipulasi hasil verifikasi faktual.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Sekarang ini banyak tahapan yang sedang berlangsung, bahkan paralel. Fokus saja di sana, laksanakanlah sesuai aturan yang berlaku, buatlah selancar mungkin, jalankan dengan jujur, adil, transparan, dan dengan integritas yang tinggi,” ujar Hadar di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Saat memberikan sambutan dalam ”Catatan Akhir Tahun 2022 KPU, Menyongsong Pemilu Tahun 2024”, Kamis (29/12/2022) pagi, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengungkapkan kemungkinan pemungutan suara di Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Namun, pernyataan tersebut bukan berarti KPU menyarankan agar pemilu digelar menggunakan sistem proporsional tertutup.
”Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” ujarnya (Kompas, 30/12/2022).
Saat ini memang Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Pasal itu mengatur, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Enam pemohon yang didampingi Sururudin, Iwan Maftukhan, dan Aditya Setiawan selaku kuasa hukum meminta MK mengganti sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Pasalnya, sistem proporsional terbuka dinilai bertentangan dengan konstitusi serta menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang serta memperlemah identitas kepartaian.
Baca juga: Komisi II DPR Sentil KPU
Hadar pun mengingatkan bahwa KPU sebagai pelaksana undang-undang dinilai tidak tepat memberikan pernyataan tentang gagasan perubahan sistem pemilu. Peran KPU sebagai pihak yang melaksanakan undang-undang sehingga jangan mengambil porsi dari pembuat undang-undang. Oleh sebab itu, KPU semestinya fokus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan KPU agar tahapan pemilu berjalan lancar.
Pernyataan yang tidak tepat, lanjutnya, bisa memperkeruh situasi yang kini dialami KPU. Sebab, beberapa pekan terakhir, KPU sedang menjadi sorotan publik karena dugaan manipulasi hasil verifikasi partai politik. Pelanggaran yang serius terkait dengan integritas penyelenggara pemilu juga tidak dijawab dengan cukup baik, bahkan cenderung selalu normatif.
”Pernyataan soal sistem pemilu hanya memperkeruh situasi yang akhirnya berdampak pada semakin meragukannya nama dan citra KPU. Ketua KPU seharusnya menyadari bahwa ia tidak bisa hanya bicara terkait dirinya saja, tetapi pernyataannya mewakili lembaga sehingga setiap ucapannya harus bisa menjaga marwah atau nama penyelenggara pemilu,” tutur Hadar.
Apalagi saat ini KPU tengah menjalankan beberapa tahapan pemilu, di antaranya penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan serta pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dalam penyusunan dapil, beban KPU makin bertambah karena kewenangan penyusunan dapil untuk Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dikembalikan ke KPU.
Dalam situasi tahapan pemilu yang sedang berjalan, sebaiknya agenda untuk mendorong pergantian sistem pemilu ditunda hingga seluruh tahapan Pemilu 2024 diselesaikan dengan baik.
Perlu pembicaraan seriusDirektur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan, dalam situasi tahapan pemilu yang sedang berjalan, sebaiknya agenda untuk mendorong pergantian sistem pemilu ditunda hingga seluruh tahapan Pemilu 2024 diselesaikan dengan baik. Perubahannya pun sebaiknya dilakukan melalui revisi UU, bukan melalui uji materi di MK. Sebab, perubahan di ranah yudikatif hanya bersifat parsial, padahal perubahan sistem pemilu mestinya bersifat keseluruhan.”Penyelenggara dan pengawas pemilu fokus menyelenggarakan dan mengawasi tahapan pemilu dengan baik. Kalaupun ada revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada, dapat dibicarakan secara serius di tahun 2025 dan seterusnya,” katanya.Baca juga : Rakernas PDI-P Rekomendasikan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yanuar Prihatin menuturkan, sebaiknya KPU berhati-hati menjalankan komunikasi politik. Jika materi yang diucapkan belum menjadi sebuah keputusan, sebaiknya KPU menahan diri untuk beropini karena melampaui ketentuan undang-undang yang berlaku.
Ia menilai sistem proporsional tertutup memang lebih memudahkan KPU dalam mempersiapkan pemilu, khususnya yang berkaitan dengan logistik pemilu. Namun, harga yang harus dibayar pun cukup mahal, antara lain konfigurasi internal pencalegan di setiap parpol akan berubah. Proses pematangan, pendewasaan, dan kompetisi calon anggota legislatif juga menjadi terhenti. Hubungan antara anggota legislatif terpilih dan masyarakat di daerah pemilihannya bisa merenggang.
”Harus diingat bahwa sistem proporsional terbuka juga merupakan putusan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2009. Jika nanti MK mengabulkan gugatan judicial review ke arah proporsional tertutup, hal ini akan menjadi aneh. MK berarti punya standar ganda tentang tafsir konstitusi terkait sistem pemilu,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali mengatakan, pernyataan Hasyim sudah melampaui kewenangannya sebagai penyelenggara pemilu yang sudah diatur dalam undang-undang. KPU hanya bertugas mengatur teknis pemilu, sedangkan pilihan sistem pemilu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
”KPU jangan justru menciptakan problem dan kegaduhan baru dalam kehidupan nasional, dan bahkan membuat kemunduran demokrasi kita dengan menafikan partisipasi politik rakyat dalam pemilu yang sedang tumbuh dan bergairah,” katanya.
Baca juga : Mencari Sistem Pemilu Ideal bagi Indonesia, Proporsional Terbuka atau Tertutup?
Berbeda pandangan
Terkait pilihan sistem pemilu, sejumlah parpol berbeda pandangan memilih sistem proporsional terbuka atau tertutup. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sepakat dengan sistem proporsional tertutup. Sementara beberapa parpol lain menilai sistem proporsional terbuka masih relevan diterapkan untuk pemilu di Indonesia. Sikap tersebut, antara lain, diungkapkan Partai Golkar, Nasdem, PKB, dan Demokrat. Parpol nonparlemen dan partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) pun mendukung sistem proporsional terbuka.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, sikap partai sebagaimana ditetapkan dalam Kongres V PDI-P adalah setuju dengan sistem proporsional tertutup. Sebab, dalam kondisi saat ini, sistem proporsional terbuka justru menyebabkan liberalisasi politik. Calon terpilih lebih digerakkan oleh paham individu yang mengedepankan popularitas dan sering tidak berkorelasi dengan kapasitas menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Padahal, menurut konstitusi, peserta pemilu legislatif adalah partai politik, bukan orang per orang.
”Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral saya di Universitas Indonesia, di mana liberalisasi politik telah mendorong partai-partai menjadi partai elektoral dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara,” katanya.
Sikap partai sebagaimana ditetapkan dalam Kongres V PDI-P adalah setuju dengan sistem proporsional tertutup.
Oleh sebab itu, sebagaimana keputusan Kongres V PDI-P, disepakati bahwa sistem pemilu bisa dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Sistem ini dinilai bisa mendorong kaderisasi di parpol dan mencegah terjadinya liberalisasi politik. Hal tersebut memberikan insentif bagi peningkatan kinerja di DPR. Pemilu pun menjadi lebih sederhana karena kecurangan yang berpotensi terjadi di pemilu legislatif dan pemilu presiden bisa ditekan.
”Terpenting setelah berbagai persoalan ekonomi kita, biaya pemilu bisa jauh ditekan. Dengan demikian, akan menghemat secara signifikan biaya pemilu sekiranya proporsional tertutup itu diterapkan. Penghematan yang ada bisa dipakai untuk stimulus pergerakan ekonomi rakyat,” tutur Hasto.
Meski demikian, lanjutnya, perubahan sistem pemilu menjadi ranah DPR. PDI-P akan mengikuti konstitusi dan tidak akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. ”PDI-P taat asas karena sebagai partai yang memiliki fraksi di DPR tidak memiliki legal standing untuk melakukan judicial review,” ucapnya.
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda menyampaikan, pilihan sistem proporsional terbuka yang saat ini diterapkan merupakan pilihan yang baik. Kalaupun ada kemungkinan pilihan skema baru dalam menentukan sistem pemilu, sebaiknya dilakukan untuk Pemilu 2029.
Menurut dia, usulan untuk mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup didorong oleh PDI-P. Semangatnya ingin pragmatisme politik yang tidak terlalu berlebihan karena figur menjadi lebih dominan dibandingkan parpol, bahkan ada kompetisi di internal parpol. ”Mungkin dirasa di situlah pragmatisme politik berpotensi ada, karena publik memilih figur, bukan partai. Parpol akhirnya menjadi pilihan kedua setelah dominasi kuat dari kerja kampanye caleg-caleg,” ucap Huda.
Membawa kemunduran
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan, sistem proporsional terbuka masih menjadi pilihan yang terbaik bagi Indonesia. Sistem proporsional terbuka memberikan semua kesempatan yang sama kepada calon anggota legislatif agar dapat terpilih. Anggota parlemen bahkan dituntut dekat dengan rakyat karena rakyatlah yang menentukan wakilnya di parlemen.
Sementara jika kembali ke sistem proporsional tertutup, lanjutnya, justru membawa kemunduran pada politik Indonesia karena mengkhianati proses reformasi dan mencabut hak rakyat. Dorongan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup akan memperkuat sistem oligarki di dalam partai dan justru hanya akan memberikan kekuatan kepada parpol untuk menentukan siapa yang mereka inginkan, bukan yang masyarakat inginkan.
”Jangan sampai kewajiban ini hilang hanya karena keinginan elite parpol yang ingin mengontrol pergerakan bangsa. Pemilu di era demokrasi yang harus diutamakan adalah hak suara rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan,” kata Dave.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng menuturkan, Indonesia akan mengalami kemunduran demokrasi jika kembali ke sistem proporsional tertutup. Pengalaman yang terjadi selama Orde Baru menunjukkan tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Hal itu karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, sedangkan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut yang ditentukan oleh parpol.
”Yang muncul adalah kader-kader ’jenggot’ yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri,” ucapnya.
Menurut Andi, kritik terhadap sistem proporsional terbuka yang mengakibatkan biaya politik tinggi dan politik uang bukanlah alasan untuk mengubah sistem pemilu. Fenomena tersebut justru berasal dari budaya politik masyarakat dan elite. Sebab, praktik bagi-bagi sembako menjelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orde Baru yang menerapkan sistem proporsional tertutup.
Juru Bicara PSI Ariyo Bimmo mengatakan, PSI menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Menurut dia, sistem proporsional terbuka merupakan kemajuan esensial dalam demokrasi Indonesia. Jika kembali ke proporsional tertutup, justru menjadi kerugian konstitusional. Sistem proporsional terbuka yang saat ini berlaku sudah sesuai dengan keinginan pembentuk undang-undang dan tidak memiliki kelemahan konstitusional.
PSI menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
”PSI sedang mempertimbangkan mengambil langkah hukum sekiranya uji materi yang sekarang berlangsung di MK mengarah pada dihapuskannya sistem proporsional terbuka. PSI akan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materi tersebut,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menilai, ada upaya kesengajaan dari partai tertentu untuk mendorong Hasyim membantunya untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya. Upaya itu akhirnya membuat Hasyim melontarkan pernyataan tentang kemungkinan perubahan sistem pemilu.