BNPT menemukan mulai muncul benih intoleransi di media sosial akibat perbedaan pilihan politik. Kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat hangatnya situasi politik bisa memunculkan potensi teror.
Oleh
IQBAL BASYARI, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Memasuki tahun politik menuju Pemilihan Umum 2024, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT memberikan perhatian pada potensi intoleransi dan politik identitas muncul di tengah masyarakat. Selain itu, BNPT menemukan potensi radikalisasi di dunia maya juga cenderung meningkat seiring masifnya penggunaan internet sejak pandemi Covid-19. Selama 2022, ditemukan 600 situs dan akun di berbagai platform media sosial yang bermuatan unsur radikal.
Hanya sedikit angin segar datang dari Indeks Potensi Radikalisme 2022 yang menunjukkan potensi radikalisme berada pada angka 10 persen. Angka itu lebih rendah 2,2 persen dibanding survei serupa pada 2020 yang berada pada angka 12,2 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kepala BNPT Boy Rafli Amar di acara rilis Indeks Potensi Radikalisme 2022, di Jakarta, Rabu (28/12/2022), menyampaikan, hasil survei itu menunjukkan terbangunnya kesadaran dan semangat masyarakat untuk menolak intoleransi yang semakin tumbuh dan berkembang. “Capaian ini yang kami kembangkan untuk mempersempit pemahaman-pemahaman yang linear dengan ideologi terorisme,” ucapnya.
Survei dilakukan oleh BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Puslitbang Kementerian Agama, Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CISSR), Nasaruddin Umar Office, The Nusa Institute, Daulat Bangsa, dan Alvara Research Institute. Survei melibatkan 15.743 responden yang tersebar di 250 kabupaten/kota.
Boy menuturkan, hasil survei tersebut menjadi dasar pijakan BNPT mengevaluasi berkembangnya paham-paham radikal dan intoleran. Survei itu juga bisa digunakan untuk memetakan daerah-daerah yang tingkat intoleransinya tinggi sehingga bisa memberikan perlakuan yang khusus agar pemahaman masyarakat terhadap gerakan intoleran berkurang.
Hal itu terutama dalam menghadapi tahun politik pada 2023 nanti. Menurut Boy, menjelang Pemilu 2024, BNPT memberikan perhatian pada intoleransi dan politik identitas yang berpotensi muncul di masyarakat. Sebab, saat ini mulai muncul benih intoleransi dan politik identitas di media sosial akibat perbedaan pilihan politik menjelang pemilu.
Di saat yang sama, lanjutnya, potensi radikalisasi di dunia maya juga meningkat seiring masifnya penggunaan internet sejak pandemi Covid-19. Selama 2022, BNPT menemukan lebih dari 600 situs dan akun di berbagai platform media sosial yang bermuatan unsur radikal. Situs-situs tersebut menyebarkan lebih dari 900 konten propaganda.
Untuk mengatasi intoleransi, menurut Boy, BNPT akan meningkatkan edukasi dan kontranarasi kepada masyarakat agar tidak ada tindakan intoleran. Edukasi dilakukan bersama pemangku kepentingan lain, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan juga melibatkan duta damai.
"Terhadap ancaman terorisme di ruang siber, BNPT bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait telah melakukan serangkaian upaya pencegahan melalui patroli siber, takedown, dan penegakan hukum," kata Boy.
Untuk mengatasi intoleransi, menurut Boy, BNPT akan meningkatkan edukasi dan kontranarasi kepada masyarakat agar tidak ada tindakan intoleran.
Survei juga menggambarkan indeks risiko terorisme dan indeks dimensi pelaku. Pada indeks dimensi pelaku target berada di angka 51,54 atau lebih rendah dari yang ditetapkan pada rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 54,26. Sedangkan indeks dimensi suplai pelaku berada di angka 29,48 atau lebih rendah dari RPJMN yang telah ditetapkan sebesar 38.00.
"Semakin kecil angka indeks, maka risiko terorisme semakin rendah. Indeks itu menunjukkan kesiapan masyarakat menghadapi paham maupun aksi terorisme," kata Boy.
Tetap waspada
Meskipun hasil survei menunjukkan potensi radikalisme menurun, Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib meminta agar seluruh pemangku kepentingan tidak cepat puas terhadap hasil survei itu. Negara tidak boleh menurunkan kewaspadaan terhadap ancaman radikalisme dan intoleransi, terlebih pada 2023 masuk tahun politik.
“Indeks tersebut mesti dimaknai sebagai perjuangan panjang menegakkan toleransi dan nilai-nilai demokrasi yang belum tuntas, bahkan mendapat tantangan baru menjelang pemilu,” ucapnya.
Apalagi mengingat jumlah eks narapidana terorisme (napiter) yang kembali melakukan teror berjumlah tak sedikit. Data Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, sejak 2009-2022 menyebutkan ada 87 eks napiter yang kembali melakukan serangan teror atau residivis. Salah satu residivis dimaksud adalah Agus Sujatno atau Agus Muslim, pelaku bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, pada awal Desember lalu.
Dalam sebuah diskusi soal terorisme, Selasa (27/12), Staf Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Komisaris Vanggivantozy menyampaikan, keberadaan residivis tak hanya bisa berdampak pada aksi perseorangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Residivis juga bisa memengaruhi orang lain untuk melakukan serangan terorisme.
Keberadaan residivis, lanjutnya, merupakan salah satu faktor pendorong munculnya serangan teror perseorangan atau aksi tanpa pimpinan (lonewolf) pada 2023. Ini akan menambah potensi aksi kekerasan yang selama ini belum tuntas karena masih aktifnya jejaring kelompok terorisme di antaranya Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
"Situasi politik yang menghangat juga berpengaruh kuat dalam munculnya potensi aksi teror," ucapnya.