Antara Bertambahnya Residivis Terorisme dan Ancaman "Lonewolf"
Data Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menunjukkan, terjadi peningkatan signifikan jumlah residivis kasus terorisme yang kembali melancarkan aksi teror. Dari lima residivis pada 2021, menjadi 13 residivis pada 2022.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Bom bunuh diri meledak di Markas Kepolisian Sektor Astana anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, 7 Desember lalu. Pelaku yang kemudian berhasil diidentifikasi bernama Agus Sujatno alias Agus Muslim, eks narapidana terorisme yang menolak mengikuti program deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan.
Agus pernah terlibat dalam kasus bom Cicendo, Kota Bandung, pada 2017 lalu. Ia menjalani hukuman penuh tanpa remisi selama empat tahun hingga bebas pada Oktober 2021. Lantaran tak mau mengikuti program deradikalisasi dan berumpah setia pada NKRI, Agus tergolong eks narapidata terorisme (napiter) berstatus "merah".
Serangan bom bunuh diri yang menewaskan satu anggota Polsek Astanaanyar, Aiptu Sofyan Didu, menunjukkan bahwa program deradikalisasi belum sepenuhnya berhasil menangkal terorisme. Apalagi, keikutsertaan dalam program deradikalisasi pun hanya didasarkan pada kesukarelaan masing-masing napiter.
Bukan hanya itu, serangan bom bunuh diri di Astanaanyar itu juga menunjukkan masih adanya ancaman residivis napiter kembali melakukan serangan teror, terutama serangan perseorangan yang kerap disebut lonewolf. Aksi teror tanpa komando pimpinan itu diprediksi masih akan menjadi ancaman keamanan di tahun 2023. Potensi ancaman tersebut muncul seiring dengan peningkatan jumlah residivis. Masifnya penggunaan media sosial sebagai media penyebaran ide-ide radikalisme juga menjadi faktor penyebab lainnya.
Jumlah Residivis Terorisme 2009-2022 berdasarkan catatan Densus 88 Antiteror Polri.
Berdasarkan data Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, sejak 2009—2022 jumlah eks narapidana terorisme (napiter) yang kembali melakukan serangan teror atau residivis mencapai 87 orang. Dari tahun ke tahun, jumlah residivis cenderung fluktuatif. Namun setahun terakhir, terjadi peningkatan signifikan, yakni dari lima residivis pada 2021 menjadi 13 residivis.
Salah satu residivis dimaksud adalah Agus Sujatno atau Agus Muslim, pelaku bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar. Sebelum tewas dalam aksi tersebut, Agus pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan karena terlibat dalam teror bom di Cicendo, Bandung pada 2017, bersama dengan Yayat Cahdiyat alias Abu Salam. Ia bebas pada Oktober 2021 dengan status “merah” karena tak bersedia mengikuti program deradikalisasi dan tidak mau berikrar setia pada NKRI.
Staf Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Komisaris Vanggivantozy menambahkan, keberadaan residivis tak hanya bisa berdampak pada aksi perseorangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Residivis juga bisa mempengaruhi orang lain untuk melakukan serangan terorisme. Salah satunya Sarwo, eks napiter yang meradikalisasi sejumlah narapidana umum di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo tahun lalu.
Vanggivantozy menjelaskan, kekecewaan Sarwo karena dianggap tak diberi akses untuk menemui keluarganya mendorong ia untuk memprovokasi rekan sesama narapidana. Ia menyebarkan paham radikal yang terkait dengan ajaran kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) kepada para narapidana umum. “Akibatnya, ajaran ISIS menyebar di sana, kemudian beberapa orang napi umum melakukan serangan teror setelah keluar dari lapas,” katanya dalam diskusi Tantangan Terorisme di Indonesia Tahun 2023: Alone Wolf Terrorism, Suicide Bomb, and Residivism yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Keberadaan residivis, lanjutnya, merupakan salah satu faktor yang mendorong masih akan munculnya serangan terorisme perseorangan atau aksi tanpa pimpinan atau lonewolf pada 2023. Ini akan menambah potensi aksi kekerasan yang selama ini belum tuntas karena masih aktifnya jejaring kelompok terorisme di antaranya Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam Indonesia (NII). Tak hanya itu, situasi politik yang kian menghangat juga berpengaruh kuat dalam munculnya potensi aksi teror.
Media sosial
Vanggivantozy menambahkan, ancaman serangan teror oleh pelaku tunggal juga semakin kuat lantaran semakin masifnya penggunaan media sosial (medsos) untuk menyebarkan paham radikalisme. Kelompok terorisme, salah satunya JAD, sangat gencar memanfaatkan kanal media sosial dan situs web untuk menyebarkan berbagai propaganda serta kabar terbaru mengenai perkembangan gerakan terorisme global. “Masyarakat yang belum terliterasi digital umumnya akan mudah terprovokasi dengan cara ini,” ujarnya.
Keberadaan residivis merupakan salah satu faktor yang mendorong masih akan munculnya serangan terorisme perseorangan atau aksi tanpa pimpinan atau lonewolf pada 2023
Tak hanya itu, medsos juga menjadi wadah penggalangan dana kelompok teroris. Mereka menggunakan kedok sumbangan kemanusiaan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Padahal, dana yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk membiayai aktivitas terorisme.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar sepakat, penetrasi paham radikal melalui medsos perlu diwaspadai. Merujuk “Global Digital Reports 2022” yang diterbitkan platform manajemen medsos Hootsuite dan agensi marketing sosial We Are Social, sebanyak 73,7 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Orang Indonesia pun menghabiskan waktunya untuk berselancar di dunia maya selama delapan jam per hari.
“Dengan total penduduk Indonesia yang mencapai 274,9 juta jiwa, penetrasi internet di Indonesia saat ini mencapai 73,7 persen sehingga perlu dipastikan pemanfaatannya tidak mengarah pada tindakan radikal terorisme,” kata Boy.
Antisipasi
Abdul Haris Amir Falah, Pembina Yayasan Hubbul Wathon Indonesia, organisasi pemberdayaan yang digerakkan sejumlah eks napiter, mengatakan, kembalinya seorang eks napiter ke kelompok teroris, bahkan mengulangi serangan teror, salah satunya sebagai lonewolf, terjadi karena pendekatan deradikalisasi yang tak merata. Di lembaga pemasyarakatan, masih ada dikotomi antara napiter yang berstatus “merah” dan “hijau”. Pembedaan itu juga berdampak pada perbedaan pendekatan yang diterapkan aparat.
Mereka yang berstatus “merah” tak didekati secara optimal, bahkan putus komunikasi dengan aparat setelah bebas dari hukuman. Padahal, radikalisme terkait erat dengan ideologi. Proses pengubahan ideologi, membutuhkan pendampingan dalam waktu yang tidak sebentar. “Para eks-napiter yang masih merah seharusnya tidak dibiarkan putus komunikasi, mereka perlu didekati, karena waktu didekati untuk menjadi teroris pun tidak dalam waktu sebentar tetapi ada proses yang panjang,” kata Abdul.
Oleh karena itu, ia mengusulkan, untuk mengantisipasi munculnya residivis, deradikalisasi harus dioptimalkan. Salah satunya dengan membakukan metode deradikalisasi dari hulu ke hilir yang selama ini diterapkan Densus 88. Salah satu praktik terbaik dari metode ini adalah mendekati para pelaku terorisme sebagai teman di waktu awal penangkapan. “Dibutuhkan pula pembinaan yang intensif selama masa penahanan. Dari sejumlah ceramah yang saya lakukan, sebagian besar pertanyaan yang dilontarkan para napiter terkait dengan akidah, artinya mereka punya kegelisahan luar biasa yang semestinya bisa dibina,” kata Abdul.
Tak hanya itu, aparat juga diminta untuk memberikan akses bagi napiter untuk berinteraksi dengan keluarga atau teman-teman yang berada di luar kelompok asalnya. Hubungan dengan eks napiter yang sudah meninggalkan kelompok teroris juga diperlukan. Sebab, beberapa studi menunjukkan salah satu keberhasilan deradikalsiasi terjadi berkat interaksi dengan pihak di luar kelompok asal mereka.