Dikotomi Jawa-Luar Jawa Dikhawatirkan Rusak Proporsionalitas Pemilu
Pembagian dapil yang diawali dengan dikotomi Jawa dan luar Jawa dinilai bisa menyimpang dan tidak proporsional. Idealnya, pembagian kursi dapil ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (tengah) menyampaikan keterangan pers di kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/12/2022). KPU akan melibatkan ahli untuk menindaklanjuti putusan MK terkait UU No 7/2017 tentang Pemilu. Pasal yang menjadi sorotan berkaitan dengan penataan dan penyusunan daerah pemilihan (Dapil) DPR RI dan DPRD provinsi untuk Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Pembagian kursi yang sama masing-masing 290 kursi parlemen untuk daerah pemilihan di Pulau Jawa dan luar Jawa dikhawatirkan justru menimbulkan dikotomi yang bisa merusak proses politik. Dewan Perwakilan Rakyat berharap jumlah kursi di tiap-tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk karena dinilai mampu menjamin kesetaraan nilai suara.
Anggota KPU, Idham Holik, mengungkapkan, KPU masih menyusun daerah pemilihan (dapil) bersama empat tim ahli penyusunan dapil, yakni Ramlan Surbakti, Ahsanul Minan, Didik Suproyanto, dan Sidik Pramono. Dalam rapat pertama yang berlangsung pada Senin (26/12/2022), tim ahli memberikan pandangan teoretis dan strategis tentang penataan dapil untuk DPR dan DPRD provinsi. Namun, dalam rapat pertama tersebut, belum ada keputusan yang diambil.
”Aspek keadilan jumlah penduduk dan wilayah jadi pertimbangan dalam perumusan regulasi teknis penataan daerah pemilihan,” kata Idham di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Menurut rencana, rancangan dapil yang saat ini disusun oleh KPU akan dipresentasikan secara detail saat rapat konsultasi dengan DPR. KPU juga masih menyelesaikan perumusan regulasi penataan dapil DPR dan DPRD provinsi yang kewenangannya dikembalikan ke KPU.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi, Selasa (20/12/2022), telah mengembalikan kewenangan penyusunan dapil dan penentuan alokasi kursi untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi kepada KPU. Sebelumnya, alokasi kursi dan dapil DPR dan DPRD provinsi dsudah tertera di lampiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang disusun pemerintah bersama DPR.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Rapat paripurna DPR yang digelar di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2020).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan batasan bahwa dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan dapil, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya ”harga” kursi dari aspek jumlah suara, tetapi juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya, seperti tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilu. Dengan demikian, proporsionalitas kursi dapil, terutama antara dapil di Pulau Jawa dan dapil di Luar Jawa, tetap dapat dijaga secara proporsional.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, penyusunan dapil oleh KPU hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Hal itu untuk memastikan seluruh dapil yang akan berlaku pada Pemilihan Umum 2024 mengacu pada prinsip-prinsip pembentukan dapil yang diatur dalam UU Pemilu. ”Kalau mau menata dapil tidak usah tanggung-tanggung, tetap mengacu prinsip pembentukan dapil,” ujarnya.
Menurut Saan, pembentukan dapil dan alokasi kursi mesti dilakukan dengan menerapkan prinsip keadilan representasi secara proporsional. Oleh sebab itu, pembagian alokasi kursi mestinya tetap menggunakan sistem kuota berdasarkan jumlah penduduk di setiap provinsi, tanpa membedakan lokasi geografis.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa memimpin jalannya rapat dengar pendapat bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Komisi Aparatur Sipil Negara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Dengan demikian, penentuan alokasi kursi di dapil tidak perlu membaginya dalam Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Seluruh kursi yang diatur sebanyak 580 kursi hendaknya didistribusi secara profesional ke 38 provinsi dengan tetap mengikuti jumlah minimal tiga kursi di setiap provinsi. Sebab, seluruh penduduk Indonesia di mana pun berada memiliki hak dan suara yang sama.
”Jangan dibuat dikotomi antara dapil Jawa dan luar Jawa karena pada akhirnya bisa masuk dalam proses politik yang tidak sehat. Tetap gunakan sistem kuota, tinggal prinsip representasi diperbaiki,” tuturnya.
Jika menganut sistem kuota berdasarkan jumlah penduduk, kata Saan, ia memperkirakan wilayah dapil tidak banyak berubah. Hanya kursi di beberapa dapil kemungkinan bergeser, ada yang bertambah dan berkurang, bahkan yang kursinya bertambah bisa menambah dapil baru karena mengikuti ketentuan maksimal 10 kursi di satu dapil.
Jangan dibuat dikotomi antara dapil Jawa dan luar Jawa karena pada akhirnya bisa masuk dalam proses politik yang tidak sehat. Tetap gunakan sistem kuota, tinggal prinsip representasi diperbaiki.
Saan, yang juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nasdem Jawa Barat, mencontohkan, saat ini jumlah kursi di Jabar dinilai masih kurang. Dengan jumlah penduduk sekitar 49 juta jiwa, seharusnya Jabar mendapatkan lebih dari 100 kursi, tetapi dalam Pemilu 2019 hanya ada 91 kursi yang diperebutkan. Kondisi under-represented seperti di Jabar dan over-represented yang terjadi di beberapa dapil lain perlu menjadi perhatian KPU.
”Jika kursi di satu dapil berkurang, ada kompensasi penambahan kursi di dapil lain. Parpol perlu menyusun strategi untuk mengalkulasi dalam merebut kursi karena ini soal kejelian. Dengan demikian, peluang tetap sama, bahkan jauh lebih besar,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Yanuar Prihatin menilai, KPU lebih baik menggunakan dapil dan alokasi kursi yang sudah ada. Sebab, waktu yang tersisa hingga tahapan pendapilan berakhir pada 9 Februari 2023 sangat pendek. Ia khawatir jika terlalu memaksakan untuk mengubah dapil hasilnya kurang optimal.
”Kalau ada satu dapil yang diubah, akan berdampak pada dapil yang lain. Sementara waktu untuk mendiskusikannya sangat mepet,” tuturnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Semangat pluralisme terus dikampanyekan masyarakat melalui berbagai cara. Salah satunya dengan mural seperti terlihat di kawasan Beji, Depok, Jawa Barat, Minggu (25/12/2022).
Menurut Yanuar, penyusunan ulang dapil sebaiknya dilakukan setelah Pemilu 2024 usai. Sebab, akan ada waktu yang panjang untuk mendiskusikannya dengan berbagai pertimbangan. Jika penyusunan dapil dilakukan di tengah tahapan yang sedang berlangsung, setiap pihak kemungkinan mengutamakan kepentingan parpol dan dapilnya masing-masing. Terlebih, setiap parpol dan bakal calon anggota legislatif sudah mempersiapkan pendapilan sebelum putusan MK keluar.
Tidak proporsional
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, pembagian kursi idealnya dilakukan berdasarkan jumlah penduduk. Pembagian yang diawali dengan membedakan dapil di Jawa dan luar Jawa justru bisa menyimpang dan akan melanggengkan situasi yang tidak proporsional karena sudah ada pembeda sejak awal. Bahkan, pembedaan itu bisa menunjukkan kekuatan parpol yang kuat di Jawa dan luar Jawa.
”Namun, KPU bisa saja membuat exercise dengan membuat dua model, yakni membagi Jawa dan luar Jawa serta model kuota berdasarkan jumlah penduduk. Dari situ kelihatan mana yang lebih proporsional,” tuturnya.
Hadar mengingatkan, KPU harus bekerja mandiri dan tidak ada intervensi dari peserta pemilu dalam menyusun dapil. KPU bekerja bersama tim ahli untuk menyusun dapil hingga nantinya masuk proses konsultasi dengan DPR. Hal ini sejalan dengan putusan MK yang menutup ruang dari peserta pemilu dalam penyusunan dapil. ”Baru saat konsultasi di DPR, parpol bisa masuk,” ujarnya.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Direktur Eksekutif Netgrit Hadar Nafis Gumay saat menyelesaikan rute bersepeda di Kilometer Nol, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (19/6/2022). Hadar menjadikan rute bersepeda ke Kilometer Nol sebagai janjinya jika tahapan Pemilu 2024 ditetapkan.
Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan, pembentukan dapil idealnya dilakukan secara ilmiah, tetapi pada prosesnya tidak bisa dilepaskan oleh kepentingan politik. Sebab, penyusunan ulang dapil berpotensi mengurangi atau menambah jumlah kursi di satu dapil, bahkan bisa mengubah wilayah dapil yang sudah ada karena dilakukan penyesuaian sehingga berdampak pada kepentingan peserta pemilu.
Oleh sebab itu, penyusunan dapil yang kini menjadi kewenangan KPU harus ”dijaga” dari kepentingan-kepentingan politik. Apalagi, ada proses politik yang harus dilalui yakni rapat dengar pendapat dengan DPR untuk menyusun Peraturan KPU tentang pendapilan.
Kondisi tersebut, menurut Aditya, memerlukan independensi dan netralitas dari KPU sebagai pihak yang akan menyusun dapil. Keberadaan tim ahli yang ditunjuk KPU pun memainkan peran penting untuk menjaga penyusunan dapil agar tidak terpengaruh intervensi politik. Mereka menjaga ”tameng” untuk memastikan penyusunan dapil sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UU.
Dalam konteks tersebut, katanya, keberadaan tim ahli penyusunan dapil seharusnya dipertahankan hingga proses pembuatan dapil tuntas. Mereka perlu dilibatkan sejak perancangan dapil, termasuk mengikuti RDP dengan DPR sehingga argumen-argumen ilmiah dalam pendapilan bisa bertahan dari tekanan politik.
”Saran saya, tim ahli tetap mendampingi KPU sampai PKPU pendapilan disahkan sehingga saat berdiskusi dengan DPR atau parpol, mereka bisa memberikan arumen teknis sehingga usulan KPU bisa dipertahankan,” kata Aditya.