Franz Magnis-Suseno: Richard Eliezer Keliru, tetapi Belum Tentu Jahat
Franz Magnis-Suseno hadir sebagai saksi meringankan bagi Richard Eliezer. Dia menilai Richard berada dalam dilema moral; menembak seseorang tak dapat dibenarkan, tetapi ia harus mengikuti perintah Ferdy Sambo, atasannya.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, Richard Eliezer Pudihang Lumiu, menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (7/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Ahli filsafat moral Franz Magnis-Suseno menilai Richard Eliezer Pudihang Lumiu bisa disebut keliru lantaran tindakannya menembak Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Namun, itu tidak serta-merta membuat Richard bisa disebut bersalah secara etis atau jahat. Setidaknya ada dua unsur etis yang dapat meringankan Richard.
Kesaksian ini disampaikan Franz Magnis-Suseno dalam sidang perkara dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Richard Eliezer, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022). Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini dihadirkan tim penasihat hukum Richard Eliezer sebagai salah satu saksi yang meringankan (A de Charge).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa, Magnis-Suseno lebih dulu menjelaskan bahwa menembak mati seseorang merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara etis. Dalam filsafat moral, pertanyaan soal apakah perbuatan seseorang etis secara moral atau dibenarkan secara etis merupakan pertanyaan normatif.
Pertanyaan normatif, kata Magnis-Suseno, dibedakan dengan kebersalahan. Dalam istilah sehari-hari, kebersalahan kerap disebut jahat yang berarti buruk secara etis. Adapun dalam konteks penembakan terhadap Yosua, tindakan Richard jelas keliru atau tidak dapat dibenarkan secara etis. Namun, Magnis-Suseno berpandangan, Richard belum tentu jahat.
”Secara normatif, dia keliru. Namun, dalam etika yang memeriksa kebersalahan seseorang, akan ditanyakan kesadarannya. Apakah dia merasa jelas atau bingung? Suara hatinya mengatakan apa?” tutur Magnis-Suseno.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Keluarga dekat memakai kaus bergambar Brigadir J selama proses penggalian kubur hingga otopsi ulang Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Kaus itu bertuliskan #SaveBrigadirJ
Magnis-Suseno menjelaskan, kesadaran etis seseorang akan memengaruhi suara hati, yang merupakan panduan moral seseorang dalam pengambilan keputusan. Dari sudut pandang etika, ia menilai Richard berada dalam kebingungan lantaran mengalami dilema moral.
Dilema moral terjadi karena di satu sisi Richard harus mengikuti norma bahwa menembak seseorang tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain, Richard harus mengikuti perintah Ferdy Sambo yang merupakan atasannya. ”Dia berada dalam situasi bingung. Kebingungan mengurangi kejelasan suara hati. Dia bisa keliru tanpa boleh disebut jahat,” kata Magnis-Suseno.
Tim penasihat hukum Richard kemudian menanyakan apa saja unsur yang dapat meringankan terdakwa. Menurut Magnis-Suseno, setidaknya ada dua unsur yang dapat meringankan Richard, yaitu relasi kuasa dan keterbatasan situasi.
NINO CITRA ANUGRAHANTO
Franz Magnis-Suseno, rohaniwan Katolik, memaparkan penjelasannya dalam diskusi buku berjudul Kata Bersama: Antara Muslim dan Kristen, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (22/8/2019).
Relasi kuasa antara Richard dan Ferdy Sambo membuat Richard secara psikologis sulit untuk menolak perintah. Terlebih, institusi tempat Richard dan Sambo bernaung adalah institusi yang kental dengan budaya perintah dari atasan dan jawaban ”siap” atau ”laksanakan” dari bawahan.
”Mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah. Menurut etika sangat mengurangi kebersalahan,” tuturnya.
Atas dasar itu, Magnis-Suseno menilai, unsur tersebut paling kuat dalam meringankan Richard. Selain itu, ada situasi yang membatasi Richard untuk melakukan pertimbangan matang. Richard harus memutuskan untuk melaksanakan perintah atau tidak dengan waktu terbatas.
”Padahal, kita umumnya kalau ada keputusan penting selalu bilang untuk coba ambil waktu tidur dulu agar bisa mempertimbangkan dengan matang. Namun, dia tidak bisa tidur dulu. Dia harus langsung bereaksi,” ucap Magnis-Suseno.
Jaksa penuntut umum kemudian bertanya kepada Magnis-Suseno terkait apakah ada perbedaan derajat kebersalahan antara pihak yang memberi perintah dan pihak yang diperintah. Sebab, pihak yang diperintah tetap melakukan tindakan yang sebenarnya secara moral tidak boleh dilakukan.
Magnis-Suseno mengatakan, ada perbedaan derajat kebersalahan di antara keduanya. Kendati seseorang mungkin memiliki kesadaran jahat, tetapi dalam konteks Richard, dia mengalami kebingungan. Richard menyadari menembak bukan tindakan yang dapat dibenarkan, tetapi dia juga mendapatkan perintah dari atasan. Magnis kembali menekankan, ada tekanan waktu yang singkat dan budaya menaati perintah yang memengaruhi tindakan Richard.
”Menurut saya, jelas tanggung jawab yang memberi perintah jauh lebih besar. Apalagi yang diberi perintah itu orang kecil, biasa melakukan perintah karena tidak tahu akibatnya buruk,” kata Magnis.
”Jadi, orang yang punya kuasa untuk memerintah ini memiliki tanggung jawab lebih besar meskipun perintah jahat pun sebenarnya tetap tidak boleh dijalankan?” tanya JPU.
”Betul,” kata Magnis.
Dalam persidangan kali ini ada tiga saksi yang dihadirkan. Selain Magnis-Suseno, saksi lain ialah psikolog klinik dewasa Liza Marielly Djaprie dan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel.
Liza Marielly mengungkapkan, Richard berkata jujur selama pendampingan psikologis dengannya. Klaim itu berdasarkan hasil tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) yang diikuti Richard. Selain dibuktikan lewat hasil MMPI, analisis kejujuran Richard juga dilakukan melalui wawancara. Liza mengatakan, wawancara dilakukan dengan Richard maupun dengan orangtuanya.
”Dari hasil wawancara, semua menunjukkan ada tingkat kejujuran tinggi, ceritanya runut, gesture-nya juga tidak menunjukkan kebohongan. Saat dicek ke orangtua, meski waktu dan tempatnya berbeda, hasilnya sama,” kata Liza.