Para oligark diperkirakan kembali menanamkan sahamnya melalui sumbangan dana pemilu kepada peserta pemilihan legislatif ataupun presiden. Mereka juga akan merasuki pejabat hukum untuk melindungi praktik bisnis koruptif.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Spanduk yang dibawa aktivis People Heist saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021). Mereka, antara lain, menyuarakan dan memperingatkan tentang bahaya oligarki yang semakin merejalela, khususnya pasca-pengesahan UU Cipta Kerja. Pengesahan UU yang banyak mendapat protes dari masyarakat tersebut dinilai lebih banyak merugikan rakyat dibandingkan memberi manfaat.
JAKARTA, KOMPAS — Kehidupan hukum di Tanah Air pada 2022 dinilai semakin dalam terjatuh pada cengkeraman kekuatan oligarki yang koruptif. Hal tersebut setidaknya terlihat dari adanya aparat penegak hukum yang bermain dalam proses penegakan hukum untuk mengamankan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Adapun yang dimaksud dengan oligarki adalah penguasa bermodal kapital megabesar, mampu memengaruhi kebijakan publik khususnya dalam hal politik, ekonomi, dan hukum.
Fenomena tersebut, menurut guru besar hukum tata negara Denny Indrayana, Sabtu (24/12/2022), dimulai dengan menanam saham berupa sumbangan pendanaan dalam kompetisi Pemilu 2024. Sumbangan tersebut bisa lolos dari audit yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Nama penyumbang atau oligarki sebagai penyuplai dana tidak akan muncul, begitu pula jumlah nominal sumbangan yang diberikan.
”Sumbangan demikian bukanlah makan siang yang gratis. No free lunch. Artinya, ujung dari sumbangan tidak transparan demikian adalah terikatnya pimpinan eksekutif ataupun anggota legislatif hasil pemilu kepada kepentingan megabisnis sang oligarch. Sumbangan kampanye yang berbau amis demikian ibarat saham politik, yang dividennya dipetik dalam bentuk kebijakan publik yang menguntungkan bisnisnya serta proteksi dari persoalan hukum yang tidak jarang mengorbankan kepentingan publik alias rakyat kebanyakan,” kata Denny.
Oligarki, menurut dia, tidak hanya masuk melalui jalur politik, tetapi juga merasuki posisi pejabat hukum dari tingkat paling bawah hingga pimpinan institusi penegak hukum. Ini untuk mengamankan kemungkinan adanya persoalan dan serangan hukum atas praktik bisnis yang koruptif dan destruktif terhadap lingkungan.
Terkait dengan Pemilu 2024, Denny memperkirakan bahwa para oligark akan kembali menanamkan sahamnya melalui sumbangan dana pemilu terhadap peserta pemilihan baik pemilihan legislatif maupun presiden. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk menyelamatkan Pemilu 2024 dari sistem ijon sumbangan kampanye.
Dengan demikian, kebijakan dalam bidang sosial, politik, dan hukum yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak.
Denny juga mengingatkan soal rekrutmen pimpinan KPK yang akan berlangsung pada tahun 2023. Ia memperkirakan pemilihan itu juga akan rentan terhadap intervensi.
Masih dibidang hukum, ia juga melihat adanya fenomena politization of judiciary yang kembali marak. Ini diawali dengan pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Konstitusi melalui intervensi oleh institusi lain dalam proses seleksi dan penggantian hakim atau pegawai melalui proses tes wawasan kebangsaan.
”Fenomena tersebut dimaksudkan untuk memanfaatkan instrumen hukum demi menjamin hasil Pemilu 2024,” ucapnya.
Denny juga mengingatkan soal rekrutmen pimpinan KPK yang akan berlangsung pada tahun 2023. Ia memperkirakan pemilihan itu juga akan rentan terhadap intervensi. ”Ini akan rentan dengan intervensi dan sarat kepentingan untuk mendudukkan orang-orang yang bisa dikendalikan sehingga penanganan perkara di KPK akan rentan, dan lagi-lagi sejalan dengan agenda pemenangan Pemilu 2024, yaitu menyerang lawan kompetitor dan melindungi kawan politik,” kata Denny.
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara ekonomi atau negara politik. Konstitusi merupakan supreme source of law (hukum tertinggi) dan juga supreme source of ethics (etika tertinggi).
Konstitusi, tambahnya, merupakan hasil musyawarah/kesepakatan tertinggi yang tidak boleh dikhianati. Oleh karena itu, Presiden pun dalam sumpah jabatannya menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan segala peraturan dengan selurus-lurusnya.
”Tidak boleh dikhianati,” katanya sembari mengajak semua pihak untuk menegakkan hukum dan konstitusi.
Sebagai negara hukum atau the rule of law, dan bukan the rule of man, Indonesia harus mendasarkan diri pada sistem. Menurut Jimly, tidak bisa sebuah negara besar seperti Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ke-4 di dunia, mengandalkan orang per orang atau figur.
”Karena orang itu datang dan pergi. Seorang presiden, bupati, gubernur, wali kota, kalau dia hebat paling (menjabat) 10 tahun. Kalau biasa saja, lima tahun. Kalau lebih jelek dari biasa saja, bisa berhenti di tengah jalan. Jadi, menduduki jabatan atau kepemimpinan itu giliran. Maka, tidak bisa andalkan person, legacy persona. Tetap, kita harus mengandalkan sistem leadership sebab yang kita bangun adalah sistem,” tutur Jimly yang terus berharap kualitas demokrasi di Indonesia dapat semakin baik pada tahun 2023.