Wapres Tunggu Permohonan Maaf Resmi Pemerintah Belanda kepada Indonesia
Pemerintah Indonesia masih menunggu permintaan maaf resmi PM Belanda Mark Rutte terkait keterlibatan Belanda dalam perbudakan di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·2 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Perdana Menteri Belanda Mark Rutte telah secara resmi meminta maaf atas perbudakan terhadap Asia dan Afrika. Perbudakan yang disebutnya direstui Pemerintah Belanda itu, antara lain, dilakukan VOC, perusahaan Belanda yang dulu menjajah Nusantara. Menanggapi permintaan maaf ini, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menunggu permintaan maaf resmi Belanda kepada Pemerintah Indonesia.
”Ya kalau dia memang itu (meminta maaf), ajukan saja resmi kepada Pemerintah (Indonesia),” ujar Wapres Amin menjawab pertanyaan wartawan dalam keterangan pers di kawasan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Nusa Dua, Bali, Jumat (23/12/2022).
Wapres Amin menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan menindaklanjuti permohonan maaf tersebut apabila telah ada pengajuan resmi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia. ”Nanti pemerintah akan merespons, seperti apa responsnya, kan. Pemerintah akan memperbincangkan itu,” tambah Wapres Amin.
Hingga kini belum ada pernyataan resmi permintaaan maaf dari Rutte kepada Pemerintah Indonesia. ”Jadi, kalau tidak jelas, belum resmi, sampaikan saja kepada pemerintah, nanti pemerintah akan merespons seperti apa,” ucap Wapres.
Pemerintah Indonesia akan menindaklanjuti permohonan maaf tersebut apabila telah ada pengajuan resmi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia.
Seperti diberitakan harian Kompas pada Rabu (21/12/2022), PM Belanda Mark Rutte secara resmi meminta maaf dan menyebut perbudakan itu meninggalkan luka mendalam. Hal ini diungkapkan Rutte dalam pidato di Pusat Arsip Nasional, Den Haag, Belanda, Senin (19/12/2022) malam.
”Hari ini, atas nama Pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan Negara Belanda pada masa lalu. Secara anumerta kepada semua orang yang diperbudak di seluruh dunia yang telah menderita akibat tindakan tersebut, kepada putri dan putra mereka, dan kepada semua keturunan mereka hingga saat ini,” ujar Rutte.
Rutte mengatakan, tidak seorang pun di masa kini disalahkan secara pribadi atas perbudakan tersebut. Namun, hal itu tidak dapat disanggah, Belanda dan seluruh sejarahnya bertanggung jawab atas penderitaan dahsyat para budak dan keturunan mereka.
Belanda menghapuskan perbudakan pada 1863, tujuh tahun sebelum tanam paksa di Hindia Belanda berakhir. Sebelumnya, Belanda dan perusahaan negara itu memperdagangkan jutaan orang.
”Di Asia, 660.000 hingga lebih dari 1 juta orang, kita tidak tahu jumlah pastinya, diperdagangkan di wilayah yang jadi kewenangan VO). Penderitaan manusia di baliknya lebih tidak terbayangkan lagi,” tutur Rutte, sebagaimana dikutip Nederlands Dagblad.