Regulasi Pemekaran dan Penggabungan Daerah Mendesak Diterbitkan
Desain Besar Penataan Daerah yang akan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah, di antaranya, memuat aturan jumlah ideal provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR dengan sejumlah pihak terkait pemekaran daerah otonom baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Desain Besar Penataan Daerah atau Desartada yang telah dirumuskan sejak lama. Selain mengevaluasi daerah otonom baru yang dinilai gagal, Desartada juga dibutuhkan sebagai pedoman agar pemekaran daerah tidak bergerak liar.
Pembahasan mengenai pentingnya Desartada ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Refleksi Otonomi Daerah 2022” yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) secara daring, Jumat (23/12/2022). Dalam kesempatan itu, peneliti KPPOD, Ditha Mangiri, mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Desartada perlu segera diterbitkan untuk menjadi pedoman penataan daerah.
”Regulasi ini menjadi petunjuk arah penataan daerah sehingga pemekaran, penggabungan, atau penyesuaian daerah tidak bergerak liar mengikuti hasrat tertentu. Dengan regulasi ini pula, publik akan memiliki basis informasi serta kerangka kerja yang valid terkait strategi penataan daerah,” tutur Ditha.
REBIYYAH SALASAH
Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Ditha Mangiri, membahas penataan daerah dalam diskusi bertajuk ”Refleksi Otonomi Daerah 2022” secara daring, Jumat (23/12/2022).
Ditha berkaca pada pembentukan empat daerah otonom baru (DOB) sepanjang 2022 yang meliputi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Ia menilai, pembentukan empat DOB di Papua dan Papua Barat itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah karena melanggar kebijakan moratorium pemekaran daerah yang ditetapkan sejak 2006.
Untuk diketahui, pemerintah menetapkan moratorium pemekaran daerah sejak tahun 2006 dan sampai saat ini belum dicabut. Namun, pemerintah melanggar kebijakannya sendiri dengan mengesahkan pembentukan 12 DOB pada tahun 2012 bersama DPR. Kemudian pada tahun ini, pemerintah dan DPR juga menetapkan empat provinsi baru di Bumi Papua.
Pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat itu dikhawatirkan akan memicu usulan pemekaran dari daerah-daerah lain. Apalagi jika merujuk pada data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, hingga September 2022 terdapat 329 usulan DOB yang diterima pemerintah. Usulan itu terdiri dari 55 provinsi, 247 kabupaten, dan 37 kota.
Pembentukan empat DOB di Papua dan Papua Barat itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah karena melanggar kebijakan moratorium pemekaran daerah.
Padahal, hasil evaluasi Kemendagri pada tahun 2012 menyebutkan, 70 persen DOB yang terbentuk sepanjang 1999-2009 dinilai gagal mencapai tujuan pemekaran. Evaluasi Bappenas pada 2007 juga menunjukkan, mayoritas DOB gagal.
Bukan hanya itu, pemekaran juga terbukti menambah beban anggaran pemerintah pusat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 1999 total dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer ke daerah sebesar Rp 54,31 triliun. Sepuluh tahun berselang, setelah terbentuk 205 DOB, anggaran DAU melonjak tiga kali lipat hingga mencapai Rp 167 triliun.
”Desartada merupakan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembentukan empat DOB di tengah ketiadaan Desartada ini akan berimplikasi pada buruknya tata kelola pemerintah daerah,” ujar Ditha.
Berdasarkan Pasal 56 UU Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah pusat diamanatkan menyusun strategi penataan daerah yang dituangkan dalam Desartada. Desartada, di antaranya, memuat perkiraan jumlah ideal provinsi di Indonesia serta jumlah ideal kabupaten/kota di tiap-tiap provinsi. Aturan ini akan menjadi acuan untuk melakukan penataan, baik memekarkan maupun menggabungkan daerah otonom.
Pada 21 September 2022, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Desartada dibahas oleh Kementerian Dalam Negeri dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, RPP tentang Desartada sudah selesai diharmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2016.
Namun, rapat internal pemerintah melalui forum Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada 2 September 2016 memutuskan untuk melanjutkan kebijakan moratorium pemekaran daerah. Akibatnya, finalisasi penyusunan RPP tentang Desartada tertunda.
Kendati belum ada rencana mencabut moratorium, Tito memastikan Kemendagri akan mengkaji kembali Desartada. ”Kami akan membuat tim, Komisi II DPR juga mungkin perlu membuat tim kecil. Lalu, kita berdiskusi bersama. Kita lakukan kajian akademis, menggunakan anggaran Kemendagri pun kami siap. Meskipun implementasinya nanti kita tidak tahu, tapi paling tidak kita sudah mengupayakannya,” ucap Tito dalam rapat itu.
Rapat tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan, antara lain Komisi II meminta Mendagri menyusun kembali RPP tentang Penataan Daerah dan RPP tentang Desartada sebagai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pintu masuk dalam meninjau kembali kebijakan moratorium pembentukan DOB.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (tengah) didampingi Wakil Mendagri John Wempi Wetipo (kiri) dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Heddy Lugito mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Komisi Il dan Mendagri pun sepakat merumuskan secara bersama melalui kajian yang komprehensif terkait penataan daerah dan Desartada sampai desa/kelurahan.
Kompas telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan untuk dimintai keterangan terkait perkembangan pembahasan Desartada. Namun, hingga berita ini diterbitkan, Benni belum menjawab. Begitu pula dengan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung dan anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menilai, Desartada tak kunjung diterbitkan lantaran pemerintah mempertimbangkan banyak hal. Terkait dukungan keuangan, misalnya, pemerintah akan mempertimbangkan apakah akan membebani negara. Pasalnya, Desartada bersifat mengikat sehingga apabila sudah ditetapkan di dalamnya, pemerintah bakal sulit untuk menolak pemekaran.
”Selain itu, pemerintahan sekarang juga mau berakhir. Kalau diterbitkan dalam waktu dekat untuk periode waktu 10 tahun ke depan, misalnya, maka muncul pertanyaan ini untuk siapa? Sebab, pemerintahan baru yang pasti akan menjalankannya. Jadi, memang lebih baik Desartada ini diserahkan ke pemerintah baru pada 2024 mendatang,” ucap mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri ini.