Polemik soal strategi pemberantasan korupsi kembali mengemuka. Sebagian menganggap pencegahan lebih utama, ada pula pendapat pencegahan dan penindakan harus dijalankan bersamaan. Lalu, bagaimana solusinya?
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Riuh kembali wacana soal korupsi. Ini seperti memutar kaset lama. Kini, perdebatannya soal operasi tangkap tangan atau OTT yang kerap dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, OTT yang dilakukan KPK tak baik bagi negeri. Luhut berharap sisi pencegahan lebih dikedepankan untuk mencegah korupsi.
Sontak elite bangsa ribut soal bagaimana mengatasi korupsi di negeri ini. Wakil Presiden Ma’ruf Amin berbicara soal korupsi. Menko Polhukam Mahfud MD juga berbicara. Bagi Mahfud, sama pentingnya pencegahan dan OTT. Aktivis antikorupsi pun bersuara keras soal masifnya korupsi di negeri ini. Kemudian, juru bicara Kemenko Kemaritiman, Jodi Mahardi, meluruskan konteks pernyataan Luhut. ”Maksudnya kalau masih banyak operasi tangkap tangan berarti upaya pencegahan harus didorong lebih cepat,” kata Jodi, Kamis (22/12/2022).
Luhut meyakini sistem pemerintahan berbasis digital akan memutus rantai korupsi. ”Jika digitalisasi birokrasi bisa berjalan, akan mengurangi potensi terjadinya pelanggaran. OTT itu tidak bagus sebenarnya buat negeri ini, (seperti) jelek banget begitu,” kata Luhut dalam peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2023-2024 di Jakarta, Selasa (20/12).
Kontroversi pun terjadi. Pilihan strategi pemberantasan korupsi kembali mengemuka. Dalam masyarakat yang tidak tulus, pernyataan-pernyataan memang bisa disalahtafsiri.
Di tengah polemik soal cara memberantas korupsi, KPK terus bekerja. Lembaga antirasuah seperti bangun dari tidurnya setelah revisi UU KPK. Lembaga itu menangkap dua hakim agung, advokat, anggota DPRD, dan menggeledah kantor gubernur.
Soal baik dan tidaknya berita penangkapan pejabat karena korupsi, sebenarnya tergantung dari sisi mana mau dilihat. Pada satu sisi, penangkapan pejabat memperlihatkan begitu banyaknya korupsi di negeri ini. Gunnar Myrdal, ekonom Swedia peraih Nobel Ekonomi, menyebut folklor korupsi. Dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia (halaman 713), Myrdal melukiskan salah satu masalah utama dalam perang melawan korupsi di Asia Selatan adalah persepsi masyarakat. Gencarnya pemberitaan korupsi justru bisa menjadi bumerang dan bisa menciptakan sinisme. Masyarakat bisa cenderung menganggap korupsi sudah begitu merajalela, berakar dalam dan tak mungkin lagi diberantas.
Namun, pada sisi lain, gencarnya OTT menandakan bahwa korupsi memang terjadi di semua lini kehidupan meski pencegahan sudah dilakukan dan tidak ada jalan lain untuk menangkapnya. Munculnya residivis korupsi menandakan strategi pemberantasan korupsi tak bisa hanya mengandalkan aspek pencegahan dan integritas moral, tetapi juga penindakan secara keras terhadap para penjarah uang rakyat.
Perlawanan terhadap agenda perang melawan korupsi oleh kelompok kepentingan menunjukkan bahwa struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menyuburkan korupsi masih utuh
Aspek pencegahan sudah lama dilakukan. Pernah muncul wacana tersangka korupsi yang meninggal tak perlu disembahyangkan. Pernah muncul wacana Pakta Integritas Anti-Korupsi. Pernah muncul gerakan advokat antisuap, tetapi advokat itu malah bubar karena tidak laku. Klien cenderung membayar advokat memenangkan perkara, apa pun caranya. Semuanya tak mempan. Hukum telah menjadi industri. Keadilan telah menjadi barang dagangan. Digitalisasi bisa saja jadi solusi. Tapi tak hanya itu.
Sudah terlalu banyak kajian soal korupsi. Tesis Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014, yang merupakan revisi dari disertasinya di London School of Economy and Political Science, menyebutkan, perlawanan terhadap agenda perang melawan korupsi oleh kelompok kepentingan menunjukkan bahwa struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menyuburkan korupsi masih utuh. Salah satu sumber daya utama korupsi adalah eksistensi patronasi ekonomi berkelanjutan yang membantu tokoh konservatif melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang progresif.
Polemik yang muncul di akhir 2022 sebenarnya hanya memutar jarum jam sejarah bangsa ini. Ibarat kaset lama yang diputar ulang. Seorang jurnalis senior mengirim Tajuk Rencana harian Kompas yang ditulis 14 September 1965. Judulnya: ”Pentjolengan Ekonomi”. Saya kutip beberapa alinea dalam ejaan lama agar tampak lebih asli, ”Soal pentjolengan ekonomi kini ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, bahkan sudah pernah hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat bukanlah pembitjaraan lagi tapi tindakan konkrit: tangkap mereka, adili, hukum, gantung, tembak!”
Selanjutnya harian Kompas menulis, ”Bukti lainnja gejala dalam masjarakat ibukota, segolongan kecil jang mewah, makin mewah, sebagian besar jang miskin makin menderita. Kemewahan golongan kecil itu sebagian besar dari pentjolengan ekonomi.”
Tajuk itu ditulis tahun 1965. Lima puluh tujuh tahun lalu. Namun, tajuk itu terasa masih relevan dengan situasi kebangsaan saat ini.
Lalu, bagaimana solusinya? Mumpung ramai dengan omnibus law, jangan-jangan perlu dibuat omnibus law untuk melawan praktik korupsi di negeri. Perlu ada pembagian tugas antara KPK, Polri, dan Jaksa untuk memberantas korupsi, siapa yang akan fokus di bidang pencegahan dan siapa yang akan bergerak di bidang penindakan. Siapa yang akan mengawasi kabinet dan pemerintah pusat, siapa yang akan mengawasi pemerintahan provinsi. Dalam omnibus law itu juga mencakup UU Perampasan Aset dan UU Pembatasan Transaksi Tunai.
Namun, biarlah Natal dan Tahun Baru dirayakan dahulu. Biarlah isu korupsi menjadi bahasan partai politik di tahun 2023 dan 2024 karena korupsi itu memang memiskinkan, korupsi itu membusukkan semua sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.