Jalan pengadilan HAM ad hoc dikatakan telah gagal atau digagalkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Reformasi yang berumur 24 tahun belum bisa memberikan terang soal pelanggaran HAM masa lalu.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Jumat, 19 Agustus 2022, Amiruddin Al Rahab yang kala itu merupakan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berkunjung ke Kompas. Ia bersemangat menceritakan perkembangan penanganan kasus pelanggaran HAM Paniai, Papua, yang terjadi Desember 2014. Persidangan kasus itu segera digelar di Pengadilan HAM di Makassar, Sulawesi Selatan.
Bagi Amiruddin, kasus Paniai jadi momentum penegakan hukum. Spiral kekerasan terus terjadi. Ada warga Papua jadi korban. Ada warga sipil non-Papua jadi korban. Tapi banyak juga anggota TNI dan Polri yang jadi korban. ”Kalau (Pengadilan HAM) tidak digelar serius, orang akan kehilangan kepercayaan,” kata Amiruddin.
Kasus Paniai terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Rekaman Kompas menggambarkan, kasus Paniai berawal dari insiden sejumlah aparat dan pemuda di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, pada 2014. Bentrokan pecah. Aparat menembakkan senjatanya. Empat orang meninggal.
Persidangan dibuka. Ada harapan di sana. Jaksa mengajukan terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Namun, majelis hakim yang diketuai Sutisna Sawati, 8 Desember 2022, membebaskan Isak. ”Membebaskan terdakwa dari dakwaan. Mengembalikan harkat dan kehormatan,” kata Ketua Majelis Hakim Sutisna dalam sidang yang berjalan hampir tiga jam itu. Padahal, jaksa menuntut 10 tahun penjara.
Harapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di Paniai pun terkubur. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu masih jadi pekerjaan rumah bangsa ini. Eksperimen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur Pengadilan HAM ad hoc terbukti gagal! Tidak ada satu kasus pun yang bisa dibuktikan di pengadilan.
Kasus Tanjung Priok, 12 September 1984, digelar, tetapi pengadilan gagal mengungkap siapa yang bertanggung jawab. Kasus pelanggaran HAM Timor Timur kandas. Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 hanya bisa membuktikan seorang buruh melemparkan batu. Tragedi Trisakti dan Semanggi juga gagal mengungkap kebenaran dan menghadirkan keadilan.
Masa lalu selalu saja menggelayuti masa depan. Menghadapi tembok kokoh, Presiden Jokowi berikhtiar menyelesaikan sesuai dengan janji kampanye. Penyelesaian jalur pengadilan seakan berhadapan dengan tembok dengan kekuatan politik besar. Pembuktian di persidangan adalah tantangan tersendiri.
Saya berbicara dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej yang menulis disertasi soal pelanggaran HAM berat. Kesulitan yang dihadapi adalah pada pembuktian dan sedikitnya alat bukti yang tersedia untuk pembuktian. Mondar-mandirnya berkas perkara antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dipandang sebagai kesulitan pembuktian di persidangan, meskipun ada analisis yang mengatakan memang tak ada kemauan.
Jalan pengadilan HAM ad hoc dikatakan telah gagal atau digagalkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Reformasi yang berumur 24 tahun belum bisa memberikan terang soal pelanggaran HAM masa lalu. Langkah ini berbeda dengan Afrika Selatan yang punya tokoh Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu dan kemudian bisa menyelesaikan masalah masa lalu.
Presiden Jokowi mencari jalan lain. Ia membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melalui Keppres No 17/2022. Tim itu diketuai Makarim Wibisono, dimaksudkan untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data Komnas HAM hingga tahun 2020, merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarganya, serta mencari bagaimana mencegah peristiwa serupa tak terjadi lagi. Tim diberi tugas hingga 31 Desember 2022 dan bisa diperpanjang.
Model penyelesaian non-yudisial memang mengundang kritik. Ada pro dan ada pula yang kontra. Namun, realitas empirik menunjukkan penyelesaian melalui jalur yudisial gagal, apa pun alasannya, apa pun latar belakangnya. Jalan Jokowi kini menjadi harapan. Ketika bangsa ini gagal mendapatkan keduanya: langkah paling masuk akal adalah memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Ideal tentu tidak. Namun, masa lalu tak mungkin terus menggelayuti masa depan. Sayangnya, tim ini bekerja terlalu sunyi sehingga publik tak pernah tahu bagaimana perkembangannya. Publik menaruh harapan Tim Makarim menghasilkan dokumen seperti laporan Truth Reconciliation and Commission (TRC) di Afrika Selatan atau Nunca Mas yang dihasilkan Argentine National Commision on the Disappeared yang menyelidiki pelanggaran HAM di Argentina dalam rezim militer 1976-1983.
Jalan Indonesia boleh jadi mengikuti jalan Samuel Huntington. ”Boleh jadi langkah yang paling rendah tingkat ketidakpuasannya adalah: Jangan mengajukan ke pengadilan, jangan menghukum, jangan memaafkan, dan yang terpenting jangan melupakan.” Namun, akan lebih ideal dan lebih menghargai korban jika terduga pelaku sebaiknya duduk di samping dan sedikit-sedikit minggir.
Saya teringat esai Karlina Supelli berjudul ”Warisan Para Korban” di Kompas, 26 Juli 2003, ”Tak satu pun lenyap hanya karena menjadi masa lalu; kalender hanyalah pagar yang kita paksakan pada waktu; ingatan selalu menyelamatkan masa lalu yang digelapkan; adalah tugas para saksi untuk menghidupkan masa lalu yang belum selesai, untuk melahirkan masa depan.”
Semoga saja jalan Presiden Jokowi melalui Tim Makarim bisa mengungkap kebenaran masa lalu guna melahirkan masa depan.